![]() |
ilustrasi toleransi (foto: blogspot) |
Di
masa awal perantauan, tahun 2006, dari Pematang Siantar ke Bandung, penulis menghadapi
banyak pertanyaan. Begitu menginjakkan tanah di Bandung, rekan-rekan acapkali
bertanya seputar identitas keagamaan penulis. “Agama apa, Mas?” atau “Agamanya
Islam atau Kristen, Bang?”
Pertanyaan
seperti itu muncul di awal-awal perkenalan. Berbeda dengan pertanyaan identitas
bila hidup di Sumatera Utara (Sumut). Yang terlontar ialah ihwal identitas suku.
“Marga apa, Lae?”
Tentu
kedua bentuk pertanyaan tersebut menunjukkan karakter masyarakatnya. Masyarakat
Sumut mengedepankan identitas kesukuan. Sementara masyarakat Bandung
mengedepankan identitas keagamaan. Begitulah karakter masyarakat Sumut menjaga
relasi sosialnya.
Terkait
bahasan di atas, ketika penulis membaca opini “Patung Budha di Tanjungbalai
Jadikan Destinasi Wisata” di Analisa
pada 10 Oktober lalu, seolah karakter masyarakat Sumut telah pudar. Latar
munculnya tulisan tersebut mengarahkan penulis pada simpulan bahwa karakter
masyarakat Sumut tampaknya telah berubah. Tidak ada lagi relasi sosial yang
mengedepankan suku.
Sumut,
secara dominan, dihuni masyarakat suku Batak. Selain itu memang terdapat
Melayu, China, Jawa, Minang, dan sebagainya. Karena mendominasi, tentu Batak
menghegemoni (pola pikir) masyarakat Sumut (meminjam teori Gramschi, relasi
dominasi dan hegemoni). Dengan begitu, pola kekerabatan Batak dapat menjadi
acuan khusus untuk memahami masyarakat Sumut umumnya.
Bagi
Batak, marga sangat menentukan cara relasi antarindividu. Dalam buku Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak
Toba, fungsi marga dipahami sebagai asal keturunan atau sabutuha. Hal ini terimplementasi saat
orang Batak mengenali sesamanya. Marga menjadi identitas diri. Individu semarga
dianggap dekat kekerabatannya.
Acapkali
marga juga dipandang untuk memahami cara berpikir seseorang. Seseorang bermarga
X, misalnya, identik dengan orang lain bermarga X lainnya. Kedua orang disetara
melalui identifikasi marga yang sama.
Seiring
perkembangan zaman, marga tak semata penentu pengidentifikasi sabutuha. Masyarakat Batak modern juga
memanfaatkan marga untuk bekal ekonomi. Seakan nepotisme memang, namun fakta
ini tak bisa dipungkiri.
Di
sisi lain, identifikasi keagamaan di Bandung sesungguhnya tak jauh berbeda
dengan marga. Agama menentukan relasi sosialnya. Individu yang seagama dianggap
“satu kerabat”.
Yang
perlu ditekankan, meski tidak mengutamakan identifikasi agama, bukan berarti
masyarakat Sumut seperti itu tidak berlandasakan agama. Bukan berarti pula
agama dinomorduakan. Langkah semacam ini sesungguhnya demi menjaga keharmonisan
antarindividu (relasi). Lebih baik lagi, apabila hal itu didasari keyakinan
akan perintah keagamaan untuk menjaga hubungan sesama lebih baik.
Kembali
pada persoalan patung Budha, sesungguhnya gaya identifikasi berdasarkan agama
tidak menunjukkan karakter masyarakat Sumut. Sentimentil keagamaan akibat
pendirian patung Budha meruntuhkan karakter identitas adat istiadat.
Sesungguhnya, karakter seperti itu mampu menaungi keberadaan masyarakat agama
lain di tengah konteks kehidupan beragama yang ekstrim, sehingga toleransi
beragama terjaga.
Pertanyaannya,
apakah keutuhan berpikir masyarakat Sumut di Tanjungbalai telah punah?
Tampaknya, toleransi beragama di Tanjungbalai perlu dipupuk melalui keutuhan
hidup masyarakat Sumut.
Akhir
ulasan, penulis ingin mengingatkan pernyataan guru bangsa yang dikenal pejuang
toleransi, Abdurahman Wahid (Gus Dur). “Kalau sebenar-benarnya seseorang
beriman kepada Tuhan, tentu tidak akan membenci seseorang karena perbedaan
agamanya,” demikian mantan Presiden RI itu menggagas kehidupan bertoleransi.
NB: Hanya semacam pengantar ihwal toleransi di Sumut, dan terkait latar merebaknya sentimen keagamaan di Tanjungbalai, Sumut.
NB: Hanya semacam pengantar ihwal toleransi di Sumut, dan terkait latar merebaknya sentimen keagamaan di Tanjungbalai, Sumut.
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.