ARTIKEL PINTASAN

Thursday, November 19, 2015

Mudji Sutrisno: Kita Bukan Father Land, tapi Ibu Pertiwi

Mudji Sutrisno (Foto: blogspot Kabar Nusa)
Di sela-sela acara Borobudur Writers and Cultural Festival 2015, 12 November kemarin, saya berkesempatan wawancara Romo Mudji Sutrisno untuk kepentingan bahan berita di tempat saya bekerja, Merahputih.com. Selaku budayawan sekaligus salah satu pendukung BWCF, Romo Mudji layak untuk diwawancara.
Tapi, dari sekian banyaknya bahan rekaman, setelah ditranskrip, saya pilah-pilih bahan mana yang relevan maupun layak sesuai "warna" pemeritaan Merahputih.com. Nah, akhirnya jadinya beberapa berita saja. Saya kira, banyaknya bahan yang sudah ditranskrip baik dan berguna juga bila dipajang di blog pribadi.
Hm, beginilah transkrip yang sudah saya ketik dari rekaman wawancara Romo Mudji di Yogyakarta, 12 November 2015.




Apakah ini (Borobudur Writers and Cultural Festival 2015) sejalan dengan nawacita?

Ini sebenarnya mau mengongkretkan bahwa selama ini jalan yang kita tempuh hanya jalan politik saja. Jalan politik contohnya, semua DPR ini berantem semuanya kan. Politik itu memecah kita. Sana kawan, sini lawan. itu jalan politik. Kalau politik tanpa moralitas jadinya kayak sekarang ini. Kemudian, ditempuhlah pembangunan ekonomi, jalannya Soeharto dengan segala macamnya. Kita lupa bahwa selama 32 tahun itu kita direduksi menghargai Anda semuanya dengan duit, duit, duit. Materi, materi, dan materi. Maka, jalan kebudayaan adalah jalan yang menghidupi tiap orang dengan harkatnya. Dan tiap orang bisa memaknai dan menamai hidupnya. Itu sama-sama membentuk yang sebenarnya nusantara ini sudah kultural sekali. Hanya ketika 17 Agustus 45 itu menjadi politik kan. Tapi awalnya itu kultural sekali. Coba, gak mungkin kita bisa hidup bersama dengan kekayaan perbedaan kalau kita berantam terus kan. Tapi ada teposeliro. Ada yang dirumuskan waktu zaman sunyinya Bung Karno di Pulau Ende itu waktu dia dibuang no body itu, tahun 34 38 dia merumuskan itu. Pancasila itu ketuhanan. Bayangkan, dahsyat sekali jalan renungannya. Soekarno yang bukan agitator yang di Jakarta semuanya, dia perenung. Dia menyiapkan pancasila itu dengan ketuhanan yang berkebudayaan dan berbudipekerti serta saling hormat menghormati. Kenapa begitu? Karena ketika sunyi itu, dia ketemu orang-orang lain agama, yang rakyat biasa. Dan Soekarno sebagai manusia biasa, dan ketemu juga dengan para misionaris di sana yang belajar semuanya sampai akhirnya dia menyebut, kemarin waktu Taufiq Kiemas kemarin memperingatinya, itu adalah di bawah pohon sukun itu. Jadi ini adalah jalan kebudayaan yang sebenarnya tiap orang kita itu mengalami keasingannya ketika mereka sehari-hari mencari makan makna hidup semuanya, tukang becak kerja keras semua. Lalu dihabiskan oleh apa? Oleh para koruptor itu loh. Mereka kan semua habis juga itu.



Lalu revolusi mental itu sudah jalan atau belum?

Sebenarnya nawacita itu adalah perwujudan dari jalan kebudayaan yang kita perjuangkan. Kita sudah melaksanakan hampir empat tahun ini. Laku budaya itu. Tetapi nawacita ini sebenarnya menjadi ukuran, apakah jalan kita menuju peradaban atau kembali ke zaman kebiadaban. Apakah jalan kita menuju peradaban mengorangkan orang beda agama beda suku atau kita memperalat mereka untuk kepentingan kita untuk tujuan hidup kita sendiri. Nah kalau jalan kita masih begitu kayak sekarang ini, nawacita harus menjadi semacam pengukur, harus jadi semacam pandu, maka dalam Indonesia Raya kan jelas sekali, pandu ibuku. Kita semua saling memandu. Orang mengalami krisis, tidak mau percaya kanan kiri semuanya. Lalu tidak saling memandu. Padahal kalau kita kembali ke jalan kebudaya coba kita saling memandu kan.Coba lihat, semua kekerasan terjadi ketika semua ekses materialistis sekali. Ketika hidup ini kita perkecil dengan alat kamu bisa menguntungkan saya atau tidak. Nah itu, jadi kamapnye revolusi mental itu jangan sloganistis. Kalau hanya slogan akan parah.
Kalau kita belajar situs-situs kita akan mensyukuri. Gunung merapi misalnya, setiap kali memuntahkan api, yang kita sebut negatif dengan bencana, tapi sebenarnya ini menjadi kekuatan kita, yang kuat sekali. 



Di tengah masifnya globalisasi, lantas seperti apa wujud konkret jalan kebudayaan itu?

Anda bertanya seperti ini berarti Anda sedang menjalankan jalan kebudayaan. Ini Anda tidak seperti orang-orang lainnya semuanya. Hayat menghayati hidup, begitu saja. Banyak yang tidak bertanya, di balik semua itu ada apa. Kita hanya hidup di permukaan saja. Hanya hidup tidak pernah keheningan. Kehidupannya habis di putar oleh waktu. waktu untuk apa? Ya times is money. Lalu bisa happy. Orang tidak pernah menyediakan dirinya untuk berhenti sejenak, untuk mengunyah pengalaman hidupnya menjadi berharga. Lembu dan sapi aja setelah dia makan berhenti kok. Masa orang lebih rendah dari itu. Jadi yang lebih penting itu bukan banyaknya pengalaman, tapi mengolah pengalaman. Lantas memaknainya hubungan dengan Sang Pencipta.



Apakah menurut Romo terkait Gunung, terkait mitologi, apakah ini sudah jauh ditinggalkan masyarakat saat ini, sehingga begitu pentingnya tema ini diangkat (di BWCF 2015)? 

Nah, pola pikir Anda ini jangan memberikan bahwa Anda anak zamannya yang tidak pernah diajari atau dibawa pendidikan yang namanya penyedaran diri. Penyadaran itu apa? Artinya ketika kita di atas gunung, dengan seluruh bencana yang ada, kita selalu menganggap itu bencana, yang merugikan, padahal kita tidak pernah lihat betapa gununga merapi itu memberi kesuburan sampai kita makan yang bagus sekali kan. Kita tidak pernah lihat bahwa air, laut, segala macam itu, dengan seluruh Tanah Air ini. Kita baru memaki-maki setelah para cukong mengambil semua dari tanah kekayaannya dan air semua, hingga kita semua tidak punya tanah dan air. Dan hanya di Indonesia kita punya tanah dan air. Ibu Pertiwi itu. Kita bukan father land, tapi ibu pertiwi. 




Wujud kemanusiaan apa yang sebaiknya dilakukan politikus-politikus saat ini?

Mereka ini tidak tahu bahwa mereka pernah dipilih. Saya pernah jadi anggota KPU. Tahun 2000 sampai 2003, itu supaya saya mengatur partai politik. Politik memang harus dilakukan untuk membuat kesejahteraan. Mereka lupa ini anggota DPR ini bahwa mereka kita pilih. Sekarang mereka menjadi tuan-tuan masa melupakan rakyatnya. Nanti jangan pilih lagi mereka itu. Kalau pemilihan mereka membutuhkan kita, menaiki kepala kita, setelah menaiki kepala kita sampai ke atas lalu ditendang ke luar semuanya. Nah ini politik semacam ini, coba bayangkan. Seharusnya bagaimana seorang tokoh dari DPR mau ngomong memberi penernungan mengenai hari pahlawan dan semacamnya. Sekarang orang lihat, contohnya mana? Itu terbalik semua kan. Dan di situ dibutuhkan gerak-gerak kebudyaaan seperti ini, yang mereka bertemu penyairnya, penulisnya, pemuda, dan mereka yang terus tanpa kata secara sunyi itu menghidupkan terus. Karena kebudayaan yang kita hidupkan adalah pro life culture. Life culture. Jadi kebudayaan yang membela kehidupan. Sementara yang berantem terus itu adalah dead culture. Yang mematikan itu sendiri.
Kalau Anda tidak bisa membantu, untuk Jokowi dan kita semua yang mau melakukan jalan peradaban ini, tolong jangan menganggu. Kalau tidak bisa membantu, ojo ngerusui. Dan tolong yang kedua, wujudkan nawacita sebagai barometer untuk perjalanan peradaban ini, sehingga permainan kekusaaan segala macam yang akan mencelakakan kita tiada lagi.

Share this:

1 comment :

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes