ARTIKEL PINTASAN

Saturday, July 27, 2013

OVJ dan Aspek Kekerasan




Opera Van Java (OVJ)
Suatu kali saat saya naik angkutan kota, saya bertemu dengan seorang anak kecil (bersebelahan dengan ibunya) yang berusia sekitar 5 tahun menyanyikan lagu tembang OVJ (Opera Van Java). Dengan santai anak kecil tersebut melantunkan lirik “kite lagi kite lagi kite lagi kite lagi nongol di tivi.” Bahkan, anak kecil tersebut tampak fasih melantunkan lirik-lirik lainnya. Melihat realitas itu saya khawatir dengan kondisi anak-anak lainnya yang mungkin saja seperti itu. Secara representatif, anak kecil tersebut sedang mengidentifikasikan dirinya sebagai penonton aktif –inilah salah satu keberhasilan OVJ menempatkan jam tayang di waktu sahur dan waktu malam keluarga di bulan ramadhan kemarin, 2011- OVJ hingga lagu tersebut mampu melekat di pikirannya, cerita komedi di Trans7.
            Saya sangat khawatir terhadap realitas seperti itu. OVJ bukanlah komedi yang layak bagi anak-anak. Sebenarnya tidak layak pula bagi kita semua, tanpa batas usia. Sebelum lebih jauh, saya akan paparkan sedikit perihal sejarah komedi.
            Sejak zaman Yunani kuno bentuk-bentuk potensi drama komedi sudah muncul serta menjadi bagian seni klasik pada masa itu. Dalam perkembangannya, komedi merupakan salah satu aliran drama (pementasan) teater. Dalam studi-studi literatur kesastraan maupun studi seni pertunjukan, komedi diposisikan setara dengan tragedi, romance, dll.
            Pada zaman sebelum pesatnya perkembangan kapitalisme yang mengomersilkan serta mengaburkan nila-nilai seni tertentu, komedi dijadikan sebagai media kritik terhadap penguasa. Kisah ceritanya diangkat dari kehidupan latar sosial menengah ke bawah. Kemudian pementasannya disajikan dengan kelucuan-kelucuan (lawak) atas realitas sosial yang dianggap tidak sesuai terhadap kehidupan masyarakat menengah ke bawah. Saya sepakat dengan pemaparan Hikmat Budiman (dalam tulisannya “Komedi, Kritik!”), bahwa komedi berurusan dengan karakter, kelas, dan kehidupan yang inferior.
            Dalam tulisan ini akan jadi panjang, jadi saya tidak akan memberikan periode komedi, hanya saja komedi mulai dikenal secara luas dan universal melalui Shakespeare. Shakespeare dikenal sebagai pelaku seni drama yang mengusung bentuk komedi-tragedi. Sejak dikenalnya Shakespeare itulah komedian pun mendapatkan perhatian luas, meskipun sebelumnya komedi jelas sudah ada tetapi kurang mendapat perhatian secara universal.
            Pergeseran tatanan budaya global berdampak pada makna komedi itu sendiri. Kini komedi tidak lagi dianggap sebagai media kritik suatu kelas tertentu, melainkan suatu komoditas yang dikemas dalam nuansa budaya pop yang disajikan melalui saluran-saluran televisi.
            OVJ, yang tampil dengan ikon Sule, Azis, Nunung, Andre, dan Parto hanyalah sajian yang lawak pop yang jauh dari nilai-nilai lawak pada masa Shakespear, bahkan pra Shakespear. Tampilan OVJ disajikan bersama dua orang sinden serta pemain gamelan. Konsep yang diadopsi dari pentas pewayangan itu secara mengejutkan pula sempat memenangi Panasonic Gobel Award.
Azis tampil dengan karakter gagapnya. Sule tampil dengan tampilan (gaya/lifestyle) uniknya yang menurut saya bak icon preman. Parto tampil dengan karakter seorang dalang. Nunung tampil dengan keibuannya dan logat bicara kedaerahannya. Sementara itu, Andre tampil dengan karakter santai. Ketika semuanya telah tampil kita tidak akan melihat semua biasa-biasa saja dalam standar lawakan.
            Ciri utama lawakan OVJ adalah pemukulan-pemukulan yang menggunakan styrofoam, penjorokan (dorongan), hingga pelecehan tubuh. Di layar kaca televisi biasanya muncul penjelasan bahwa adegan pemukulan atau benturan tidak menggunakan benda yang keras. “Properti terbuat dari bahan lunak dan tidak berbahaya,” begitu biasanya kalimat penjelas, yang sesungguhnya sama saja kalimat itu dengan kalimat apologize (meminta maaf kepada penonton).
Sering kali seorang pemain memukul pemain lainnya dengan styrofoam sebagai bahan lawak. Dari pemukulan tersebut, kemudian penonton pun tertawa melihat kesedihan dan kepedihan yang dialami pemain “korban” tadi. Selain pemukulan dengan styrofoam, pemain pun sering didorong hingga jatuh ke tumpukan styrofoam. Lalu, pada saat jatuh itulah penonton tertawa –berdasarkan pengamatan saya, penonton di rumah cenderung terpancing tawanya melalui adanya ‘penonton bentukan’ di dalam layar kaca atau di studio- hingga menganggap bahwa kekerasan adalah lawak.
Pada episode yang bertajuk “Hantu Jalan Tol” misalnya, 2 Februari 2012, Ramzy sebagai pemain bintang tamu, saat melakukan adegan sembunyi, dijorok (didorong) oleh Andre. Spontan Ramzy pun tergeletak dengan kondisi styrofoam berantakan. Di sana posisi Ramzy selayaknya korban pun mendapatkan tawa dari penonton yang ada di dalam studio, yang sudah pasti kebanyakan penonton di rumah pun ikut tertawa. Apalagi para pemain yang ada di panggung, seperti Parto, Azis, Sule, dan Nycta Gina Jengkelin yang menjadi titik sorot kamera ikut tertawa. Adegan yang tergolong sebagai pemancing tawa penonton seperti ini sudah biasa, dan seperti saya katakan tadi menjadi ciri, terjadi di OVJ show. Pun model ini terjadi pada episode teranyar, “Seiring Sejalan Kisah Soes Plus” (7 Maret 2012).
Lebih ironi lagi ialah pelecehan tubuh yang dianggap buruk justru jadi pemancing lawak. Misalnya, pada episode yang sama (“Hantu Jalan Tol”), pun seperti yang terjadi pada tiap episodenya, pelecehan tubuh Nunung yang gemuk dan hidung Sule yang pesek itu dijadikan bahan tawa atau pemancing tawa. Perlu kita ketahui, bahwa bahan tawa seperti itu sama saja menertawakan “pihak” yang menciptakannya sebab orang yang ditertawakan tidak memiliki kuasa untuk memperbaiki bentuk tubuhnya selayaknya bentuk tubuh ideal di mata umum.
            Dengan bentuk komedi seperti itu penonton diajak, selayaknya adigum yang sudah umum, yakni “tertawa di atas penderitaan orang lain”. Saya kadang merasa tidak nyaman melihat adegan-adegan seperti itu, karena hal itu akan berpengaruh terhadap pembentukan mental empati secara enviromentalisme. Tontonan yang dilakukan berulang-ulang akan memengaruhi kepribadian, dan juga berpengaruh terhadap bagaimana kita menghadapi manusia-manusia ‘korban’ di dalam kehidupan nyata. Sadar atau tidak, kita sebagai penonton telah terkonstruksi terhadap cara memandang seorang ‘korban’. Kita diajak menertawakan korban.
            Skinner, salah satu tokoh psikologi berpengaruh dalam kajian-kajian sosial, memaparkan bahwa kepribadian seseorang itu dibentuk oleh lingkungan. Kondisi masyarakatnya, kondisi agama, kondisi sekolah, kondisi sosial politik, dan termasuk kondisi budaya pop yang terwujud dalam sajian televisi. Kondisi-kondisi yang disebut Skinner dengan “enviromentalism”. Kondisi-kondisi itu akan memengaruhi perubahan seseorang, serta berpengaruh terhadap pembentukan karakter seseorang. Termasuk dalam membentuk potensi-potensi kekerasan di dalam diri.
            Dari pola enviromentalisme kita akan paham bahwa kekerasan dapat dibentuk oleh kondisi apa yang ada di lingkungannya. Erich Fromm memaparkan, kekerasan ada pada tiap manusia. Bentuknya berupa agresi (serangan) terhadap orang lain. Agresi dan narsis adalah dua unsur kekerasan manusia. Keduanya berpotensi merusak relasi antar manusia (istilah ala kapitalis sekarang: merugikan orang lain).
            Begitu pula halnya adegan-adegan di dalam OVJ tadi, secara tidak sadar kita menyaksikan bentuk-bentuk kekerasan yang dikemas dalam wujud lawak. Pemukulan yang menggunakan styrofoam merupakan wujud agresifitas. Pelecehan tubuh merupakan wujud narsisme. Itu artinya, keduanya adalah bentuk kekerasan yang sedang dipertontonkan kepada publik yang berdampak pada karakter penontonnya. Menonton secara terus-menerus atau berulang-ulang akan memengaruhi sikap di dalam kehidupan nyata dan memengaruhi bertambahnya potensi kekerasan di dalam diri. Artinya, bila kita menertawakan bentuk kekerasan dan “korbannya”, maka kita akan bersikap tanpa nilai-nilai manusiawi dan empati terhadap korban-korban dalam kehidupan nyata seperti korban kecelakaan, korban kekerasan, dan korban pelecehan tubuh.
            Setelah memaparkan sedikit uraian mengenai ‘perjalanan’ komedi di atas, tidaklah salah kalau kita tidak membiasakan menyaksikan bentuk acara OVJ yang penyajiannya menghadirkan ‘penonton arahan’ atau ‘penonton bentukan’ demi memancing daya tawa penonton di rumah. Bila kita melihat suatu adegan –menurut pandangan saya, secara umum tayangan OVJ dibantu oleh penonton bentukan tadi untuk membantu adegan lawak hingga penonton merasa adegan tersebut layak ditertawakan- yang tidak lucu, kita akan bisa ikut tertawa karena terbawa (influence) penonton di studio (dalam layar kaca televisi). Alasan utamanya, seperti yang telah saya singgung di atas mengenai pengaruhnya terhadap kepribadian, ialah dehumanisasi (istilah yang sering digunakan untuk memaknai perusakan nilai-nilai kemanusiawian). Kebiasaan-kebiasaan menonton komedi seperti OVJ ini justru tidak memberikan kesegaran bagi diri dengan cara tertawa yang puas, melainkan tertawa di atas penderitaan orang lain, seperti sebuah kejahatan yang kita saksikan dan justru kita menertawakan kejahatan tersebut.

            Oleh karena itu, lebih baik membuat lawakan-lawakan sendiri di dalam rumah terhadap anggota keluarga, kepada sesama teman, maupun tetangga sesuai selera humor masing-masing tanpa tedeng aling-aling menyebarkan atau menanam unsur kekerasan. Membuat lawak sendiri sesuai versi kelucuan kita masing-masing jelas lebih segar dan tidak ada influence untuk tertawa dari penonton bayaran. Atau, lebih baik lagi kita mengembalikan nilai-nilai lawakan pada zaman klasik yang berorientasi pada penyindiran kepada penguasa, yang sifatnya jauh lebih kritis sebagai masyarakat demokratis.



*awalnya tulisan ini tersiar dengan judul "OVJ dan Nilai-Nilai Kemanusiaan"

Share this:

1 comment :

  1. Siril aja lu..
    Mau gimana kek.. yg penting ga ngerugiin..
    Kalo mau lu bikin post fage soal koruptor..
    Jgn suka nyari kesalahan orang lain.
    Dan jangan suka merasa diri sendiri paling benar.
    Harap untuk instrospeksi diri gan.
    Sudah benarkah Anda..??
    Thanks

    ReplyDelete

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes