ARTIKEL PINTASAN

Friday, December 11, 2009

TRANSFORMASI MEDIA DAN RUANG PUBLIK

TRANSFORMASI MEDIA DAN RUANG PUBLIK



Oleh Fredy Wansyah


Perkembangan media masa di Indonesia tidak terlepas dari peran-peran penjajah. Dari hal itulah perkembangan media terus bergulir sampai seperti saat ini. Masa kini media telah mengalami tranformasi. Sebelumnya media dipublikkan melalui percetakan, kini perkembangan teknologi terus mendobrak sistem percetakan tersebut dengan adanya internet.

Masuknya internet di Indonesia memberikan dampak besar terhadap sosial kultur sejak tahun 1990-an. Pada awalnya dampak tersebut belum menjadi sebuah fenomena yang menarik, sehingga daya tarik masyarakat untuk menggunakan internet belum begitu meluas. Namun, masuknya sistem network dalam globalisasi mempercepat daya tarik masyarakat. Hal ini terbukti, akhir tahun 2008 masyarakat Indonesia telah mencapai angka 25 juta dalam penggunaan internet. Fenomena menarik dan sangat dipengaruhi media baru ini, internet, adalah kasus Prita Mulyasari, dan kasus KPK-Kepolisian. Kedua kasus tersebut mendapatkan gerak moril dalam dunia maya. Pun keduanya mendapatkan dukungan besar dari para pengguna fesbuk –salah satu bagian dari internet yang digunakan sebagai jejaring sosial-.

Sejak berdirinya Indonesia, media dianggap berperan penting dalam proses perubahan sosial dan kultur, dan bahkan selalu dikaitkan dengan perilaku politik kekuasaan. Jepang pada masa kependudukannya di Indonesia secara intensif melakukan penguasaan media, begitu juga masa-masa Belanda –Balai Pustaka yang menjadi salah satu tonggak penerbitan sastra di Indonesia- progresivitas penguasaan dilakukan mulai dari mesin-mesin yang memproduksi media. Ironisnya, masyarakat kita saat ini belum menyadari fungsi dan perubahan media tersebut.

Para pakar pakar sosiolog menyatakan, sejak media televisi berdiri dan hadir di masyarakat telah muncul ‘korban’ dari keseragaman konsumsi wacana. Masyarakat yang ‘mengkonsumsi’ televisi merupakan suatu wujud pasif dalam relasinya. Hal inilah yang mengakibatkan penonton –oleh masyarakat yang ‘mengkonsumsi’- menjadi ‘korban’ karena tidak ada interaksi dua arah. Dan, ketimpangan ini pun ditutupi dengan metode televisi remote control atau dikenal di Indonesia dengan sebutan televisi berbayar. Metode tersebut sedikit membuka ruang komunikasi relasi pertelevisian dengan penontonnya. Namun, metode seperti itu lebih jauh dikembangkan di dunia internet, karena antar relasi yang berada di dalamnya dapat berkomunikasi dua arah meskipun tidak menghadirkan wujud kenyataan. Hal ketidaknyataan dalam wujud tersebutlah berpotensi memberikan ‘penyakit’ individu dalam kehidupan sosial.

Fenomena fesbuk –yang berpotensi besar karena keterlenaan imajinasi atas kehidupan nyata- merupakan salah satu potensi timbulnya ‘penyakit’ yang timbul dari bentuk media baru ini. Seharusnya fenomena ini dapat diefektifkan sesuai dengan tujuan individu, bukan pada penyeragaman fungsi dari wujud tersebut, jejaring sosial yang menelan ‘korban.’ Timbulnya ruang-ruang diskusi baru sebagai ruang publik yang membicarakan berbagai sektor adalah efek yang diharapkan muncul dalam situasi maya seperti ini. Bila seseorang menggunakan hanya sesuai penyeragaman, sebagai jejaring sosial yang berbentuk ilusi karena komunikasi sosial tanpa bentuk, wujud gestur, dan lainnya, maka masyarakat pun hanya mampu menjadi ‘korban’ selanjutnya dalam tranformasi media, yang diperankan oleh pelaku kapitalisasi media.

Ada beberapa hal yang perlu dicermati memandang tranformasi ini dan munculnya ruang publik baru, yakni membangun opini, dan kesepakatan publik. Dua hal ini jauh lebih unggul daripada media-media sebelum ruang maya. Akumulasi waktu telah terbukti lebih efisien dari fungsi media cetak, sementara komunikasi efektif berjalan pada ruang maya dibandingkan media elektronik (televisi, radio, kecuali internet). Opini dan kesepakatan merupakan bagian utama dalam memfungsikan fesbuk dari kasus Prita Mulyasari dan kasus ‘Cicak vs Buaya’.

Bila opini-opini dibentuk, dan kesepakatan publik dalam suatu situasi maka ruang publik telah fungsional. Kendala utamanya adalah biaya operasional. Namun, bila dibandingkan dengan fungsi dan efektifitas secara komparatif, jelas ruang maya merupakan suatu ruang publik unggul. Bahkan, beberapa wacana di televisi pun mulai melirik isu-isu atau opini di ruang maya untuk diangkat menjadi komoditi media tersebut. Seperti suatu wacana yang hadir dan membesar di ruang maya adalah kasus seorang Brimob, Evan, yang melakukan tindakan ‘aneh.’

Sangat memungkinkan bila opini-opini yang dibangun di ruang publik berkenaan dengan situasi politik. Belajar dari opini dan bahkan tandingan atas opini-opini politik oleh pelaku politik praktis telah terbukti sangat mampu mengeluarkan opini dari dunia maya menuju dunia nyata. Satu hal yang perlu diwaspadai dalam ruang maya sebagai ruang publik adalah virtualisasi (sebuah istilah yang digunakan sebuah korporat produsen komputer dalam mengembangkan game sebagai orientasi internet).


* Penulis aktif di Komunitas Sastra Pinggir, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.

Dikutip dari Buletin SADAR

Share this:

2 comments :

  1. Wang, tulisanmu berat-berat sungguh. Tapi aku menikmatinya.

    ReplyDelete
  2. hmm...
    selamat menikmati, Kika.
    dan, makasih udah singgah di Blogku ini.

    ReplyDelete

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes