ARTIKEL PINTASAN

Monday, January 4, 2010

Pencederaan Kebebasan dalam Demokrasi

Pencederaan Kebebasan dalam Demokrasi



Pelarangan Peredaran Lima Buku

Sejak berdirinya negara Indonesia, yang seara konstitusi ditandai dengan proklamasi pada tahun 1945, fenomena-fenomen pengekalan kekuasaan selalu saja terjadi. Diperkirakan, metode seperti ini efektif demi memberangus potensi-potensi keamanan dan stabilitas suatu kekuasaan.

Pada masa kolonialisme Belanda, Balai Pustaka dibentuk untuk melakukan kontrol atas peredaran buku-buku di masyarakat. Sehingga, buku-buku yang diterbitkan harus mendapatkan kesesuaian perspektif penguasa. Bila hal itu tidak diikuti, konsekuensinya adalah pelarangan peredaran.

Sikap-sikap otoritarian tersebut terus terjadi hingga kini, sesuai kekuasaan penguasanya. Ketika Soekarno berkuasa, pelarangan atas karya-karya beberapa kelompok terjadi karena ketidaksesuaian paham. Kemudian diikuti rezim soeharto, yang sangat jelas mengindikasikan kekuasaan otoriter, buku-buku yang berhaluan kiri dilarang karena karena perbedaan paham. Salah satu tokoh penulis yang menjadi korban pada masa itu adalah Pramoedya Ananta Toer. Bahkan metode pemberangusan buku terus saja terjadi hingga masa orde baru berkuasa. Setelah runtuhnya masa orde baru kemudian buku-buku yang dianggap penguasa pada masanya beredar kembali.

Pasca reformasi pun pelarangan peredaran buku masih saja terus terjadi. Beberapa hari yang lalu Kejagung melarang peredaran lima buku: 1.Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto (John Rosa). 2.Suara Gereja Bagi Umat Tertindas Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Harus Diakhiri (Cocratez Sofyan Yoman). 3.Lekra Tak Pernah Membakar Buku Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 (Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan). 4.Enam Jalan Menuju Tuhan (Darmawan MM). 5.Mengungkap Misteri Keberagaman Agama (Drs. H. Syahrudin Ahmad). Kelima buku ini dianggap bertentangan dengan beberapa kontitusi negara, seperti UUD 1945, dan Pancasila. Selain itu, Kejagung melarang karena dipandang dapat mengganggu keamanan negara.

Dalih pelarang tersebut sangat ambigu. Beberapa jenis pelanggaran tidak diuraikan secara jelas, sebab kontitusi tersebut pun menjamin kebebasan setiap warga negara. Hanya dengan dalih dapat mengganggu keamanan negara tanpa bentuk yang nyata atau bukti sejarah, dan bahkan penguraian wacana yang ada di dalam buku yang dilarang seharusnya disebarluaskan ke publik sebagai pembenaran pelarangan.

Beberapa konsekuensi atas pelarangan peredaran buku di zaman internetisasi adalah penghakiman oleh masyarakat luas. Artinya, masyarakat dapat melihat sendiri dan menilai kebenaran atas dalih politis atau dalih bentuk apolitis?

Di sisi lain, atas sikap Kejagung tersebut justru akan semakin memberikan rasa penasaran masyarakat terhadap buku yang dilarang. Akibatnya masyarakat semakin besar rasa keinginan memiliki buku tersebut. Di berbagai media akan membiarakan atau mengangkat wacana pelarangan buku dan bahkan stabilitas keamanan negara, yang secara tidak sadar memciptakan ruang informasi buku terbaru tanpa mengikuti sikap Kejagung.



Pelarangan Balibo Five

Setelah film “2012”, yang dinilai akan berdampak pada psikologis seseorang, kini film “Balibo Five” yang mendapat kecaman berupa tidak lulus sensor oleh LSF (Lembaga Sensor Film). Berbeda dari film “2012” –kontroversi dilakukan oleh masyarakat itu sendiri- yang mendapatkan izin tayang di Indonesia meskipun kontroversial, film “Balibo Five” justru mendapatkan tekanan dari kelembagaan perfilman di Indonesia. Keduanya dinilai kontroversial karena memiliki dampak serius, khususnya bagi film “Balibo Five”. Namun, kontroversial tersebut justru informatif terhadap masyarakat yang dilarang, Indonesia, karena keingintahuan masyarakat tersebut.

Sejarah perfilman di Indonesia telah dimulai babak penyensoran ketika penjajah (Belanda) memberlakukan kekuatan atau hak otoritas kelembagaan sesuai wewenangnya dalam menjalankan tugas yang bernilai politis. Pada masa itu, 1925, Belanda membentuk sebuah lembaga perfilman dengan tujuan menyensor film-film yang mengganggu stabilitas kekuasaan. Orde Baru pun mendirikan kelembagaan perfilman, BSF (Badan Sensor Film).

Ketika masa itu dinamika penyensoran bernuansa politis, sehingga film-film yang akan beredar di masyarakat harus mendapat izin dari lembaga terkait. Seharusnya pertimbangan-pertimbangan film yang layak atau tidak layak beredar harus memiliki standarisasi yang sesuai konteks. Artinya, bahan-bahan utama standarisasi penyensoran harus disesuaikan dengan konteks sosial-budaya, bukan mengutamakan kepentingan politik. Lalu, dalam penyensoran film “Balibo Five” memunculkan pertanyaan “Apakah penyensoran ini (Balibo Five) merupakan nuansa yang bernilai politis?”

“Balibo Five” hanya sebuah karya fiksi, suatu bentuk yang masih dipertanyakan otentitas materinya. Tetapi, tanpa klarifikasi yang bersifat otentik, secara kelembagaan film ini dilarang. Seharusnya pelarangan film ini dikonter dengan wacana yang terkandung di dalamnya sesuai fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya.



Jadi, wajarkah kita mengatasnamakan demokratisasi atas pelarangan tersebut? Bahkan, saat tulisan ini dibuat, George Aditjondro seorang penulis “Gurita Cikeas” dicekal oleh pemerintah. Pelarangan semakin genjar dilakukan, mengindikasikan adanya kemiripan dengan strategi kepemimpinan masa lalu negeri ini, masa Soeharto.

Kemungkinan yang harus dilakukan masyarakat, dan juga penulis ataupun sineas-film adalah mempertimbangkan media alternatif dalam penyebaran karya. Sejak adanya mesin cetak oleh Gutenberg, media percetakan terus berkembang dan mediasi berbagai karya maupun propaganda terus bergulir. Namun, media cetak bukan media alternatif di era digital ini, melainkan media digital berteknologi tinggi; internet.

Pemanfaatan ruang atau media internet sebagai media alternatif atas suatu pelarangan merupakan jalan pintas yang sangat efektif. Saat ini internet hampir menjadi suatu kebutuhan dalam kehidupan manusia, sehingga barang canggih tersebut sangat besar kemungkinan untuk menargetkan sasaran (pengecualian dalam kondisi ekonomi) tepat sesuai dengan yang diinginkan. Kebebasan di ruang internet merupakan salah satu kebebasan yang sulit dibatasi, berbagai hal dapat dilakukan sesuai batasan komputer, yang kadang pada dunia nyata tidak dapat dilakukan.

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes