ARTIKEL PINTASAN

Sunday, February 1, 2009

Sebuah Cerpen Absurd dalam Kategori


Sebuah Cerpen Absurd dalam Kategori
(sebuah novel karya A.A. Navis, Robohnya Surau Kami)

Novel sangat bertendensius, begitu juga dengan karya-karya sastra lainnya. Kecenderungan tersebut memberikan arahan dan pengkategorian yang jelas. Misalnya saja sebuah karya Helvi T. Rossa, karya-karya yang dilahirkan olehnya memiliki kecenderungan kearah islami. Dalam strukturnya karya-karya pun memperlihatkan dengaan adanya peranan tokoh sebagai muslimin ataupun muslimah. Begitu pula dengan karya-karya besar Pramoedya, beliau mengatakan bahwa karya-karyanya merupakan ‘anaknya’ sendiri, dalam pengkategorian Realisme Sosialis. Kategori tersebut merupakan hasil teori dirinya, Pramoedya Ananta Toer, yang mengatakan bahwa salah satu unsur realisme sosialis adalah pencitraan revolusioner.
Pertanyaannya dari hal ini adalah apakah fungsi pengkategorian tersebut? Pengkategorian tidak akan jauh bertentangan dengan penamaan suatu benda ataupun konsep. Artinya, dari kedua hal itu ada sifat-sifat yang arbitrer. Namun, ke-arbitrer-an tersebut dalam perspektif dunia modern tidak mutlak, ada etika-etika yang harus diikuti. Misalnya dalam penamaan sebuah konsep terhadap ‘tuhan’ yang dapat terlihat manusia tidak dapat berterima jika diberi nama tuhan, sebab dalam konsepan Tuhan adalah sesuatu yang tidak dapat terlihat. Ada beberapa hal fungsi pengkategorian tersebut. Pertama, memudahkan dalam menganalisa. Kedua, dapat membuat pengelompokan dengan karya-karya lainnya. Ketiga, mengetahui pencitraan di dalamnya. Dan, mengetahui ideologi.
Berbeda halnya dengan sebuah cerpen Robohnya Suarau Kami oleh A. A. Navis. Penulis memberikan ‘resep’ baru dalam eksperimennya. Secara structural, penulis memadukan penokohan dengan konsep Tuhan. Dua bentuk yang berbeda, namun dapat disatukan dalam cerpen tersebut. Tuhan adalah konsepan manusia yang tidak terlihat, sedangakan manusia adalah konsepan dalam konsep itu sendiri yang dapat terlihat.
Pada karya-karya sufi, konsep Tuhan yang diakui determinasi tetap digunakan, yakni Tuhan yang kuasa, Tuhan yang tidak dapat berbicara dengan mahluknya, dan Tuhan yang maha adil. Berbeda dengan karya A. A. Navis Robohnya Surau Kami, sangat bertolak belakang dari hal tersebut. Seperti kutipan berikut.
Alangkah tercengangnya Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti lagi dengan keadaan dirinya, karena semua orang-orang yang dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendiri.
Kutipan tersebut memperlihatkan tidak adanya keadilan dan bahan pertimbangan oleh Tuhan atas apa yang telah dilakukan oleh Haji Saleh. Dari kisah di atas, penulis seakan memberitahukan kepada manusia bahwa Tuhan tidak hanya menginginkan puji-puji yang berlebihan. Cerpen ini melawan atas aturan-aturan kaum sufistik. Bahwa Tuhan adalah Maha Benar, Maha Kasih. Namun, apakah ada Maha Kasih dalam cerpen tersebut? Ada beberapa tokoh yang melakukan perlawan terhadap kebijakan Tuhan. Dari hal tersebut, belum bersikap adil dan jujur. Seperti kutipan berikut.
“Kalau Tuhan tidak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?”
“Kita protes, kita resolusikan”
“Apa kita revolusi juga?”
“Itu tergantung pada keadaan” Kata Haji Saleh “Yang penting sekarang, mari kita berdemonstrasi menghadap Tuhan”
Ada aksi maka ada reaksi. Seperti itu tokoh-tokoh dalam cerpen tersebut. Melakukan perlawanan atas tindakan Tuhan, yang menurut mereka merupakan tindakan yang salah dan tidak adil. Tetapi, disinilah gaya eksperimen penulis. Penulis memasukkan penokohan Tuhan dengan menyentuh tokoh-tokoh manusia. Komunikasi antara Tuhan dan manusia pun terjadi, padahal hal tersebut tidak berterima oleh manusia beragama.
Penulis menggunakan logika berpikir dalam karya tersebut. Seperti apa yang diungkap oleh filsuf logika, Hegel, yakni sesuatu yang real adalah rasional dan sesuatu yang rasional adalah real. Artinya, kontraksi manusia dengan Tuhan secara structural tersebut merupakan kerangka berpikir manusia yang rasional. Namun, dalam pelbagai duniawi hal tersebut jelas tidak rasional. Karena hubungan latar juga sangat diperlukan dan sangat berkaitan, dalam hal ini. Perspektif duniawi, Tuhan tidak akan pernah terlihat oleh manusia di dunia. Kajian filsafat pun, metafisika, mengutarakan bahwa Tuhan berada di luar logika manusia. Disinilah keberanian penulis melakukan cara berpikir yang ekstrim. Penulis melawan aturan-aturan metafisika tersebut. Dan, sebuah seni yang bernilai tinggi. Karena seni adalah sesuatu yang berbeda dari yang telah ada, semakin berbeda maka semakin indah seni itu.
Dari uraian di atas, dimasukkannya secara struktur atas penokohan Tuhan belum dapat ditemukan sebuah kategori yang tepat untuk karya sastra prosa ini. Pada sebuah diskusi pun saya mencoba melontarkan hal ini pada pemateri dan peserta, tetapi respon yang diberikan tidak menjawab sama sekali terhadap pertanyaan.
Jika menggunakan pengkategorian fiksi Robert Stanton, pengkategorian atas cerpen ini juga belum dapat terjawab. Ada tiga belas kategori yang dipaparkan oleh Robert Stanton dalam bukunya Teori Fiksi. Romantisme, Gotik, Naturalisme, Proletarian, Dedaktis, Alegori, dan sebagainya, merupakan kelas-kelas kategori yang sama sekali tidak menyinggung atas penokohan Tuhan. Beberapa hal yang menjadi tolak ukur pengkategorian adalah penokohan Tuhan, kontraksi Tuhan dengan manusia, dan perlawanan manusia terhadap kebijakan Tuhan.

Share this:

5 comments :

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes