ARTIKEL PINTASAN
Showing posts with label wacana. Show all posts
Showing posts with label wacana. Show all posts

Tuesday, July 20, 2010

Media Informasi dan Pewacanaan dalam Masyarakat


Media Informasi dan Pewacanaan dalam Masyarakat



Oleh : Fredy Wansyah

Sebelum zaman kemerdekaan Indonesia media-media massa telah lahir. Media massa dijadikan sebagai media informasi oleh publik, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, maupun budaya.

Namun, sejak zaman sebelum kemerdekaan itu hingga saat ini media massa kita belum dapat dikatakan dalam keadaan baik. Padahal pembangunan suatu negara yang mencapai taraf kesejahteraan adalah, salah satunya, perbaikan informasi secara menyeluruh ke berbagai daerah.

Pada tahun 80-an pemerintahan rezim Soeharto pernah mencanangkan KMD (Koran Membangun Desa). Namun buruknya orientasi dari KMD tersebut, adalah modernisasi di desa-desa sebagai orientasi pembangunan, tidak dapat dibenarkan sesuai keadaan ekonomi maupun sosial pada saat itu. Penyuplaian koran ke desa-desa sebenarnya suatu langkah menyebarkan informasi secara menyeluruh di berbagai daerah, tetapi KMD tidak tepat karena orientasi tersebut dan mungkin dapat dikatakan gagal. Kegagalan ini dapat dibuktikan, misalnya di Cianjur Selatan, seperti yang dialami Penulis di tahun 2009, media massa cetak hanya ada seminggu sekali di suatu kecamatan kabupaten Cianjur.

Tidak beberapa lama sejak program pemerintah tersebut berjalan muncul pula media elektronik, yakni televisi. Media ini dijadikan sarana utama oleh banyak keluarga, yang dinilai lebih canggih dari media non elektronik, khususnya adalah media massa. Masa-masa transisi dari media non elektronik ke media elektronik, di akhir tahun 80-an dan 90-an, saluran televisi masih ditangani oleh pemerintah dengan satu saluran sentral, yakni TVRI.

Hadirnya media massa elektronik ini memperlihatkan prioritas dalam tradisi masyarakat Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa masyarakat Indonesia tidak sesuai dengan tradisi baca dan tulis. Efesiensi adalah faktor utamanya bila dibandingkan dengan tradisi dengar dan tutur. Tradisi baca dan tulis sejak zaman sebelum kemerdekaan di Indonesia pun tidak berkembang di masyarakat, sehingga hal ini mempengaruhi budaya masyarakat saat ini. Pun secara otomatis mempengaruhi tradisi penerimaan informasi saat ini, bahwa masyarakat lebih memilih media televisi. Padahal dengan tradisi baca dan tulis dalam pengembangan informasi akan berdampak pada daya intelektualitas yang didasari oleh penalaran. Seperti terlihat pada statistik di tahun 1993 (BPS), sebanyak 66 persen masyarakat kita memilih tontonan televisi sementara yang memilih baca koran/majalah hanya 22,25 persen.


Pewacanaan
Wacana-wacana yang hadir atau diproduksi oleh pelaku pertelivisian saat ini merupakan hal yang sangat bertendensi pada keuntungan. Segala bentuk wacana yang sedang hangat diharapkan dapat menjadi suatu komoditi yang menguntungkan. Akibatnya, wacana-wacana tidak lagi variatif sesuai kebutuhan masyarakat dan juga berpihak pada masyarakat luas.

Beberapa kasus telah terjadi diskriminasi sosial atas produksi wacana di televisi. Unsur-unsur kebahasaan yang sering kali terjadi luput dari telisik dalam "mengonsumsi" wacana tersebut. Misalnya, "Polisi ditembak oleh orang tak dikenal", "mahasiswa melakukan aksi anarkis", keduanya merupakan bentukan yang saling menyudutkan antara pelaku aktif dan pelaku pasif. Pada contoh pertama "polisi" seolah-olah mendapat serangan yang tidak seimbang, atau bahkan "polisi" dihadirkan sebagai sosok pahlawan. Hampir sama dengan bentuk contoh yang kedua, bahwa "mahasiswa" melakukan tindakan yang tidak wajar. Akibatnya, penghakiman oleh penerima pewacanaan tersebut akan "menghakimi" secara general (keseluruhan) mahasiswa di berbagai tempat. Dan, masih banyak bentuk-bentuk lainnya yang menyudutkan salah satu "pelaku" atas wacana yang dihadirkan. Selain itu pula, sorotan kamera sangat memengaruhi visual penonton. Sorotan tersebut dipengaruhi pula oleh otoritas kamerawan.

Selain unsur pewacanaan tersebut, sebagai penonton diharapkan aktif dan selektif dalam memilih dari variasi televisi atas pewacanaan yang diangkatnya. Saat ini beberapa media elektronik telah dikuasai sahamnya oleh politik elit sekaligus pelaku bisnis. Jadi, sangat wajar bila kemasan berita dalam mengakses suatu "fakta" dikemas dengan kemasan hiburan. Tiga fungsi utama pertelevisian adalah hiburan, informasi, dan pendidikan. Acara-acara televisi justru mengaburkan kemasan-kemasan pendidikan dan informasi demi meningkatkan daya penghiburannya.

Meski begitu, bukan berarti kita meng anggap bahwa sajian berita adalah hiburan. Sangat disayangkan bila salah satu media (cetak), seolah-olah dihadirkan sebagai "penandingan", menganggap sajian-sajian berita sama dengan hiburan. Kemungkinan lain, penandingan tersebut untuk mendobrak hegemoni pertelevisian (sebab dua bentuk media yang berbeda) dalam persaingan pasar. Dan, penonton yang aktif dan kritis adalah salah satu cara menghadapi (mengonsumsi) media tersebut. sebab, pewacanaan tidaklah dilihat atas dasar kemasannya saja, melainkan seberapa besara keberpihakannya kepada publik.

Peningkatan arus informasi dalam waktu belakangan ini justru diikuti meningkatnya pula perkembangan media-media. Mulai perkembangan dari bentuk akses hingga bentuk penyajiannya. Ada dua hal menghadapi perkembangan pertelevisian saat ini, yakni: (a). mengetahui pelaku serta konteksnya sesuai kepentingan. (b).asas produksinya.

Maka solusi yang terpenting adalah tidak mengonsumsi wacana atas satu media elektronik saja, melainkan non elektronik. Sebab, kepentingan-kepentingan publik saat ini telah bias karena adanya arus "meraup keuntungan" dan ideologi yang terselubung.***
Penulis adalah Mahasiswa Sastra Indonesia, Unpad.

dimuat di Harian Analisa Medan

Monday, May 3, 2010

MEWASPADAI WACANA DI MEDIA MASSA

media massa (foto: blogspot)


Oleh : Fredy Wansyah*
dimuat di Buletin Sadar


Wacana dalam perdebatan antar-partai –misalnya melalui perdebatan kasus Century-, wacana idealisasi hukum, bahkan terakhir wacana terorisme menjadi headline di berbagai media. Metode isu terhangat tidak terlepas dari model “industrialisasi wacana” (marketing-media). Chris Barker menyatakan dalam Cultural Studies, “Menurut model manipulatif, media dipandang sebagai cerminan dari masyarakat yang didominasi oleh kelas dan ideologi disebarkan secara sadar oleh mereka yang memegang kendali alokatif. Ini adalah akibat langsung dari konsentrasi kepemilikan media oleh orang-orang yang merupakan bagian dari kemapanan atau oleh menipulasi pemerintah dan tekanan informal.”


Penyeragaman wacana, tanpa otoritas konsumen dalam memilih, merupakan konsekuensi kapitalisasi informasi. Akibatnya, opini-opini dan paradigma yang dibangun, baik sadar maupun tidak sadar, menjadi seragam. Hal ini dapat terlihat jelas seperti headline-headline di media cetak yang memposisikan suatu wacana yang sama, misalnya terorisme. Bagitu pula dengan keseragaman “berita terkini” yang berskala per jam di media elektronik.


Ada dua landasan utama dalam “menghidupkan” media massa saat ini, yakni kepentingan ideologi dan kepentingan industri. Pada industri informasi, wacana yang dikomodifikasi menjadi komoditi bukan lagi suatu hal yang bertendensi kebutuhan masyarakat, melainkan menarik perhatian pasar. Sementara ideologi, seperti yang dinyatakan Chris Barker yang memandang ideologi dalam televisi, bahwa ideologi adalah hasil dari sikap-sikap dan praktik kerja rutin para staf.


Dalam tatanan ideologi, media massa sangat berperan penting khususnya pada perspektif kekuasaan. Contohnya Venezuela ketika masa-masa kudeta Hugo Chavez yang memperebutkan media massa demi pertarungan idealisasi kekuasaan, selain pada kebenaran yang mengacu ke arah perebutan kekuasaan. Refleksi atas penguasaan atau kapitalisasi arus informasi di Indonesia sudah sepatutnya dilakukan melalui bentuk-bentuk pertanyaan, “Siapakah pemilik perusahaan media A, perusahaan media B, dan seterusnya.”


Misalnya wacana kasus Century –perlahan-lahan wacana ini redup atas wacana terorisme- merepresentasikan berita yang telah menjalin asosiasi dari kelembagaan terkait, lembaga negara (produsen wacana) dengan lembaga industri informasi (produsen berita). Pilihan-pilihan kata dan argumentasi yang dihadirkan kepada masyarakat tidak akan jauh terlepas dari asosiasi tersebut. Sedangkan terorisme, wacana yang cukup meresahkan belakangan ini, diangkat melalui perspektif penguasa (asosiasi) karena berkenaan langsung sebagai obyek pemberitaan.


Secara sadar maupun tidak sadar, berkembangnya wacana terorisme akan menimbulkan dan membekas dalam pikiran masyarakat mengenai ‘teror.’ Dunia teror merupakan salah satu bentuk kekerasan. Sementara teroris dapat digolongkan menjadi dua bagian berdasarkan konteks sasarannya, yakni teror society dan teror negara. Teror society dilakukan masyarakat terhadap suatu kelompok masyarakat itu sendiri. Sedangkan teror negara merupakan teror yang dilakukan kelompok terhadap kenegaraan, yang cenderung mengusik kekuasaan.


Metode idealisasi atau pandangan yang menjadi bentuk ideologi direpresentasikan dalam bentuk kalimat-kalimat perspektif. Artinya, kalimat-kalimat yang disusun sedemikian rupa memposisikan diskriminasi suatu subyek berita. Metode inilah yang merekonstruksi masyarakat sebagai konsumen berita menjadi wacana dan opini, sehingga paradigma yang terbentuk menjadi sesuai bentukan-bentukan yang direpresentasikan dalam kalimat. Bila tidak memahami bentukan kalimat yang merepresentasikan suatu ideologi di dalamnya, akibat utamanya adalah konsumsi berita sesuai “arus berita.”


Lembaga-lembaga produsen berita diharapkan menggunakan kalimat-kalimat (kebahasaan) yang tidak mendiskreditkan suatu lembaga, instrumen, kelompok, ataupun individu. Karena hal ini tidak menyehatkan masyarakat dalam menerima suatu pemberitaan. Atau, pilihan menangani hal ini adalah memunculkan kritik wacana di media massa. Kritik ini bersifat obyektif dan seilmiah mungkin karena hubungannya langsung ke masyarakat. Pelaku kritik, yang dikhususkan mengkritik media massa, harus bersikap independen yang terjaga, tidak menjalin hubungan yang terikat dengan subyek pemberitaan.


* Penulis adalah Mahasiswa Sastra Indonesia Unpad Bandung, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.
** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Tuesday, January 12, 2010

Media dan Wacana "Bui Mewah"




Arus informasi , sejak penemuan mesin cetak oleh Gutenberg (1450), kini semakin meningkat seiring peningkatan metode dan kuantitas masyarakat yang menjadi sasaran komoditi. Belakangan, arus informasi itu justru tidak diimbangi dengan sikap kepentingan publik (masyarakat). Media (pers) sebagai wadah penghubung antara informasi dengan publik lebih memilih “nilai lebih” atau keuntungan, dan kepentingan institusional. Apakah para pelaku “informasi” sudah melakukan hal yang berkepentingan pada publik? Atau, malah tunduk pada pengusaha yang memiliki otoritas modal usaha? Saya yakin (saya pilih diksi “yakin” bukan berarti tanpa rujukan, karena saya melihat, memandang, dan mendengar) bahwa kita sebagai target pasar dalam bisnis informasi telah merasakan hal ini.
            Hari ini, 12 Januari 2009, salah satu media cetak memberitakan (bukan memberitai) dan mengangkat wacana baru atas wacan terdahulu. “Bui Mewah Artalyta” adalah judul editorial tersebut. Sebelumnya di ruang publik, seperti media internet, opini-opini mengenai wacana ini mengarah sesuatu hal yang tidak tepat dengan alasan penggiringan wacana, dari kasus Bank Century ke Rutan Mewah. Ada pula yang beropini “ini hanya pengalihan wacana menjelang 100 hari masa kerja SBY”.
            Pada sebuah kalimat di dalam pemberitaan ruang editorial tersebut dikatakan bahwa “Tentu saja Artalyta bukan orang pertama yang menikmati fasilitas mewah di penjara. Ada nama Edi Tansil, pengemplangan uang negara sebesar Rp1,3 Triliun, pun pernah menikmati fasilitas mewah di LP Cipinang sebelum kabur.” (Media Indonesia. No. 10560 Tahun XL. Hal I). Pemberitaan ini solah-olah “mengajak” pembacanya bersikap ironi atas kejadian ini. Sekilas, bagi pembaca pragmatis, bentuk kalimat seperti ini akan menimbulkan kemarahan kepada pelaku dan kreator “Bui Mewah”.
            Satu hal yang layak bagi pelaku media tersebut adalah motif pemberitaan. Sebab, seorang dosen Jurusan Sastra Indonesia Unpad dalam kuliah Analisis Wacana mengatakan “sesungguhnya teks tidak pernah steril”. Ada pelaku yang memiliki kepentingan, selain “nilai lebih” atas pemublikan wacana tersebut. Menurut pandangan saya, bukan tidak mungkin wacana “Bui Mewah” diungkap tuntas sejak masa Edi Tansil di penjara. Mengapa wacana ini diungkap lebih mendalam, malah dengan ruang yang lebih luas; lihat pemberitaan di Kompas.com, Temponteraktif, lintasberita.com, dan mungkin dengan hasil yang sangat banyak bila mencari di dunia maya melalui Google.com.

MEDIA BORJUIS SEDANG MENYETIR KITA!

Friday, December 11, 2009

TRANSFORMASI MEDIA DAN RUANG PUBLIK

TRANSFORMASI MEDIA DAN RUANG PUBLIK



Oleh Fredy Wansyah


Perkembangan media masa di Indonesia tidak terlepas dari peran-peran penjajah. Dari hal itulah perkembangan media terus bergulir sampai seperti saat ini. Masa kini media telah mengalami tranformasi. Sebelumnya media dipublikkan melalui percetakan, kini perkembangan teknologi terus mendobrak sistem percetakan tersebut dengan adanya internet.

Masuknya internet di Indonesia memberikan dampak besar terhadap sosial kultur sejak tahun 1990-an. Pada awalnya dampak tersebut belum menjadi sebuah fenomena yang menarik, sehingga daya tarik masyarakat untuk menggunakan internet belum begitu meluas. Namun, masuknya sistem network dalam globalisasi mempercepat daya tarik masyarakat. Hal ini terbukti, akhir tahun 2008 masyarakat Indonesia telah mencapai angka 25 juta dalam penggunaan internet. Fenomena menarik dan sangat dipengaruhi media baru ini, internet, adalah kasus Prita Mulyasari, dan kasus KPK-Kepolisian. Kedua kasus tersebut mendapatkan gerak moril dalam dunia maya. Pun keduanya mendapatkan dukungan besar dari para pengguna fesbuk –salah satu bagian dari internet yang digunakan sebagai jejaring sosial-.

Sejak berdirinya Indonesia, media dianggap berperan penting dalam proses perubahan sosial dan kultur, dan bahkan selalu dikaitkan dengan perilaku politik kekuasaan. Jepang pada masa kependudukannya di Indonesia secara intensif melakukan penguasaan media, begitu juga masa-masa Belanda –Balai Pustaka yang menjadi salah satu tonggak penerbitan sastra di Indonesia- progresivitas penguasaan dilakukan mulai dari mesin-mesin yang memproduksi media. Ironisnya, masyarakat kita saat ini belum menyadari fungsi dan perubahan media tersebut.

Para pakar pakar sosiolog menyatakan, sejak media televisi berdiri dan hadir di masyarakat telah muncul ‘korban’ dari keseragaman konsumsi wacana. Masyarakat yang ‘mengkonsumsi’ televisi merupakan suatu wujud pasif dalam relasinya. Hal inilah yang mengakibatkan penonton –oleh masyarakat yang ‘mengkonsumsi’- menjadi ‘korban’ karena tidak ada interaksi dua arah. Dan, ketimpangan ini pun ditutupi dengan metode televisi remote control atau dikenal di Indonesia dengan sebutan televisi berbayar. Metode tersebut sedikit membuka ruang komunikasi relasi pertelevisian dengan penontonnya. Namun, metode seperti itu lebih jauh dikembangkan di dunia internet, karena antar relasi yang berada di dalamnya dapat berkomunikasi dua arah meskipun tidak menghadirkan wujud kenyataan. Hal ketidaknyataan dalam wujud tersebutlah berpotensi memberikan ‘penyakit’ individu dalam kehidupan sosial.

Fenomena fesbuk –yang berpotensi besar karena keterlenaan imajinasi atas kehidupan nyata- merupakan salah satu potensi timbulnya ‘penyakit’ yang timbul dari bentuk media baru ini. Seharusnya fenomena ini dapat diefektifkan sesuai dengan tujuan individu, bukan pada penyeragaman fungsi dari wujud tersebut, jejaring sosial yang menelan ‘korban.’ Timbulnya ruang-ruang diskusi baru sebagai ruang publik yang membicarakan berbagai sektor adalah efek yang diharapkan muncul dalam situasi maya seperti ini. Bila seseorang menggunakan hanya sesuai penyeragaman, sebagai jejaring sosial yang berbentuk ilusi karena komunikasi sosial tanpa bentuk, wujud gestur, dan lainnya, maka masyarakat pun hanya mampu menjadi ‘korban’ selanjutnya dalam tranformasi media, yang diperankan oleh pelaku kapitalisasi media.

Ada beberapa hal yang perlu dicermati memandang tranformasi ini dan munculnya ruang publik baru, yakni membangun opini, dan kesepakatan publik. Dua hal ini jauh lebih unggul daripada media-media sebelum ruang maya. Akumulasi waktu telah terbukti lebih efisien dari fungsi media cetak, sementara komunikasi efektif berjalan pada ruang maya dibandingkan media elektronik (televisi, radio, kecuali internet). Opini dan kesepakatan merupakan bagian utama dalam memfungsikan fesbuk dari kasus Prita Mulyasari dan kasus ‘Cicak vs Buaya’.

Bila opini-opini dibentuk, dan kesepakatan publik dalam suatu situasi maka ruang publik telah fungsional. Kendala utamanya adalah biaya operasional. Namun, bila dibandingkan dengan fungsi dan efektifitas secara komparatif, jelas ruang maya merupakan suatu ruang publik unggul. Bahkan, beberapa wacana di televisi pun mulai melirik isu-isu atau opini di ruang maya untuk diangkat menjadi komoditi media tersebut. Seperti suatu wacana yang hadir dan membesar di ruang maya adalah kasus seorang Brimob, Evan, yang melakukan tindakan ‘aneh.’

Sangat memungkinkan bila opini-opini yang dibangun di ruang publik berkenaan dengan situasi politik. Belajar dari opini dan bahkan tandingan atas opini-opini politik oleh pelaku politik praktis telah terbukti sangat mampu mengeluarkan opini dari dunia maya menuju dunia nyata. Satu hal yang perlu diwaspadai dalam ruang maya sebagai ruang publik adalah virtualisasi (sebuah istilah yang digunakan sebuah korporat produsen komputer dalam mengembangkan game sebagai orientasi internet).


* Penulis aktif di Komunitas Sastra Pinggir, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.

Dikutip dari Buletin SADAR
 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes