ARTIKEL PINTASAN

Friday, October 31, 2014

Terpikat Mahakarya Nusantara

rempah-rempah (foto: blogspot)
Bangga Hasil Bumi Nusantara
Wajahnya keriput, kusut, bak kain yang lekang kering karena sinar matahari.Kulitnya menyiratkan usianya yang sudah mengerut. Matanya memandang tajam seperti membelah setiap apa yang ia lihat. Tajamnya pandangan itu tak setajam apabila ia menghisap dalam-dalam asap rokoknya. Ya, sesekali ia menghisap asap rokok di tangannya. Saat itu pula matanya menjadi sangat tajam.
Sambil menghisap, ia berkisah pengalaman ia merokok semasa kecil dahulu. Ia berujar bahwa aktivitas merokok telah ia lakoni sejak ia duduk dibangku Sekolah Dasar. Ia tahu betapa nikmatnya rokok itu karena ia sering melihat kakeknya merokok. Begitu pula orangtuanya.
“Rokoknya ya rokok kretek gini (sambil menunjukkan rokok yang ia pegang). Aku itu kalau ngerokok ya kuat. Ngopi juga ya kuat. Udah sahabat toh rokok sama kopi,” kata dia, beberapa waktu lalu, Oktober 2014.
Ia juga mengisahkan pengalamannya selama merokok. Selama merokok, ia mengaku, tak ada kendala berarti. “Gak pernah sakit dada atau apa namanya itu yang sakit-sakit di dada gitu,” kata dia berkisah.
Begitulah pengalaman laki-laki beranak tiga itu. Orang sekitar di rumahnya sering memanggil dengan sebutan “Pak Bagio”. Dia pekerja lepas, kuli pasir di Sungai Kaliopak, Piyungan, Yogyakarta. Pendapatannya selama seminggu tak menentu, tergantung banyaknya pasir dan kesediaan tengkulak pasir membeli pasir yang telah diangkut Pak Bagio. Pendapatannya kisaran Rp150.000 sampai dengan Rp75.000 per minggu. Meski tak menentu dan terbilang kecil, Pak Bagio selalu rutin membeli rokok kretek.

Daya Pikat
Pak Bagio adalah satu di antara 260 juta jiwa orang Indonesia yang bangga terhadap harta di Tanah Air. Harta ini bukan harta emas. Harta ini bukan harta karun yang tertimbun ribuan tahun lalu. Inilah harta sumber daya alam yang melimpah di Bumi Pertiwi, rempah-rempah. Salah satu jenisnya ialah cengkeh, yang diolah menjadi kretek, sebelum akhirnya menjadi rokok seperti apa yang dihisap Pak Bagio.
Bukan berlebihan pula apa yang dilakukan Pak Bagio dapat dikatakan sebagai sikap bangga anak bangsa terhadap ketersediaan alam di Bumi Pertiwi. Berbagai macam sumber daya alam yang ada di Nusantara begitu menakjubkan. Alamnya asri, dilintasi garis khatulistiwa, dan terdiri atas dua musim, panas dan hujan. Garis lintas dan garis bujurnya menempatkan pula Nusantara sebagai kawasan kepulauan, yang terdiri atas ribuan pulau. Dengan kondisi alam seperti itu, tersebarlah berbagai macam rempah-rempah, yang tumbuh subur, di Nusantara sejak zaman dahulu kala.
Menurut sejarawan JJ Rizal, penjajahan di Nusantara karena keterpikatan kolonial terhadap rempah-rempah. “Indonesia itu justru memiliki mahakarya yang menghasilkan mahakarya lain. Mahakarya Indonesia yang membuat Nusantara dikenal di mata dunia adalah rempah-rempah,” kata pendiri Komunitas Bambu (Kobam) itu dalam suatu kesempatan.
Misi utama kedatangan para kolonial ke Nusantara ialah eksploitasi alam. Melalui cara politisasi kedudukan, kolonial berusaha menguasai hasil bum rempah-rempah. Rempah-rempah adalah obat. Rempah-rempah adalah stimulan. Rempah-rempah adalah rasa. Obat untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Hal ini telah dilakukan sejak ribuan tahun sebelum masehi.
Sejak ribuan tahun sebelum masehi, rempah-rempah telah dimanfaatkan masyarakat dunia. Di Sumeria, 5.000 tahun sebelum masehi, rempah-rempah digunakan sebagai ramuan obat. Di China, pada masa Dinasti Han, rempah-rempah digunakan untuk obat herbal. Di Mesir, pada masa Firaun, rempah-rempah juga digunakan untuk mengatasi persoalan kesehatan.
Karena itulah rempah-rempah selalu menjadi incaran bangsa-bangsa yang menginginkan kenikmatan duniawi. Selain bermanfaat sebagai obat-obatan, penyedap rasa, dan pengawet bahan makanan primer, kolonial Eropa memanfaatkan rempah-rempah untuk meningkatkan gairah seksual, karena pada masa itu mereka menganggap seksual merupakan kenikmatan duniawi yang patut dicari. Sampailah bangsa-bangsa di Eropa, seperti Portugis, Inggris, dan Belanda berlabuh ke Nusantara untum mencari lada, jahe, kayu manis, dan pala. Rempah-rempah ini, bagi mereka, mampu menyamarkan rasa pahit dan asin makanan serta mampu memicu gairah.

Citarasa Mahakarya Cengkeh
Cengkeh hanyalah satu di antara sekian puluh jenis hasil rempah yang dieksploitasi kolonial. Cengkeh mampu diolah menjadi berbagai jenis ramuan, di antaranya obat-obatan.
Di Nusantara, semula cengkeh digunakan sebagai pengobatan. Masyarakat di daratan Pulau Jawa menggunakan cengkeh untuk mengobati penyakit seperti batuk. Namun, seiring perkembangannya, gemah rempah mahakarya Indonesia ini berkembang menjadi ramuan sepesial yang kini merebak di Tanah Air, yakni rokok kretek. Begitulah Pak Bagio yang sadar atas kekayaan alam Tanah Air.
Kretek awalnya ditemukan saat seorang warga di Kudus dalam kondisi batuk.  Awalnya adalah seorang Jamhari yang terserang batuk. Kemudian ia mencoba meramu cengkeh dengan tembakau dengan cara dihirup. Ajaibnya batuknya sembuh dan kemudian dari mulut ke mulut. lambat laun kretek menjadi salah satu produk khas yang diminati oleh orang-orang. Kini, cengkeh menjadi salah satu ramuan dari sekian banyak rempah yang berlimpah di Tanah Air. Mungkin layaklah kita bangga.

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes