![]() |
rempah-rempah (foto: blogspot) |
Bangga
Hasil Bumi Nusantara
Wajahnya keriput, kusut, bak kain yang
lekang kering karena sinar matahari.Kulitnya menyiratkan usianya yang sudah
mengerut. Matanya memandang tajam seperti membelah setiap apa yang ia lihat. Tajamnya
pandangan itu tak setajam apabila ia menghisap dalam-dalam asap rokoknya. Ya,
sesekali ia menghisap asap rokok di tangannya. Saat itu pula matanya menjadi
sangat tajam.
Sambil menghisap, ia berkisah pengalaman
ia merokok semasa kecil dahulu. Ia berujar bahwa aktivitas merokok telah ia
lakoni sejak ia duduk dibangku Sekolah Dasar. Ia tahu betapa nikmatnya rokok
itu karena ia sering melihat kakeknya merokok. Begitu pula orangtuanya.
“Rokoknya ya rokok kretek gini (sambil
menunjukkan rokok yang ia pegang). Aku itu kalau ngerokok ya kuat. Ngopi juga
ya kuat. Udah sahabat toh rokok sama kopi,” kata dia, beberapa waktu lalu,
Oktober 2014.
Ia juga mengisahkan pengalamannya selama
merokok. Selama merokok, ia mengaku, tak ada kendala berarti. “Gak pernah sakit
dada atau apa namanya itu yang sakit-sakit di dada gitu,” kata dia berkisah.
Begitulah pengalaman laki-laki beranak
tiga itu. Orang sekitar di rumahnya sering memanggil dengan sebutan “Pak
Bagio”. Dia pekerja lepas, kuli pasir di Sungai Kaliopak, Piyungan, Yogyakarta.
Pendapatannya selama seminggu tak menentu, tergantung banyaknya pasir dan
kesediaan tengkulak pasir membeli pasir yang telah diangkut Pak Bagio.
Pendapatannya kisaran Rp150.000 sampai dengan Rp75.000 per minggu. Meski tak
menentu dan terbilang kecil, Pak Bagio selalu rutin membeli rokok kretek.
Daya
Pikat
Pak Bagio adalah satu di antara 260 juta
jiwa orang Indonesia yang bangga terhadap harta di Tanah Air. Harta ini bukan
harta emas. Harta ini bukan harta karun yang tertimbun ribuan tahun lalu.
Inilah harta sumber daya alam yang melimpah di Bumi Pertiwi, rempah-rempah.
Salah satu jenisnya ialah cengkeh, yang diolah menjadi kretek, sebelum akhirnya
menjadi rokok seperti apa yang dihisap Pak Bagio.
Bukan berlebihan pula apa yang dilakukan
Pak Bagio dapat dikatakan sebagai sikap bangga anak bangsa terhadap
ketersediaan alam di Bumi Pertiwi. Berbagai macam sumber daya alam yang ada di
Nusantara begitu menakjubkan. Alamnya asri, dilintasi garis khatulistiwa, dan
terdiri atas dua musim, panas dan hujan. Garis lintas dan garis bujurnya
menempatkan pula Nusantara sebagai kawasan kepulauan, yang terdiri atas ribuan
pulau. Dengan kondisi alam seperti itu, tersebarlah berbagai macam
rempah-rempah, yang tumbuh subur, di Nusantara sejak zaman dahulu kala.
Menurut sejarawan JJ Rizal, penjajahan
di Nusantara karena keterpikatan kolonial terhadap rempah-rempah. “Indonesia
itu justru memiliki mahakarya yang menghasilkan mahakarya lain. Mahakarya
Indonesia yang membuat Nusantara dikenal di mata dunia adalah rempah-rempah,”
kata pendiri Komunitas Bambu (Kobam) itu dalam suatu kesempatan.
Misi utama kedatangan para kolonial ke
Nusantara ialah eksploitasi alam. Melalui cara politisasi kedudukan, kolonial
berusaha menguasai hasil bum rempah-rempah. Rempah-rempah adalah obat.
Rempah-rempah adalah stimulan. Rempah-rempah adalah rasa. Obat untuk
menyembuhkan berbagai penyakit. Hal ini telah dilakukan sejak ribuan tahun
sebelum masehi.
Sejak ribuan tahun sebelum masehi,
rempah-rempah telah dimanfaatkan masyarakat dunia. Di Sumeria, 5.000 tahun
sebelum masehi, rempah-rempah digunakan sebagai ramuan obat. Di China, pada
masa Dinasti Han, rempah-rempah digunakan untuk obat herbal. Di Mesir, pada
masa Firaun, rempah-rempah juga digunakan untuk mengatasi persoalan kesehatan.
Karena itulah rempah-rempah selalu
menjadi incaran bangsa-bangsa yang menginginkan kenikmatan duniawi. Selain
bermanfaat sebagai obat-obatan, penyedap rasa, dan pengawet bahan makanan
primer, kolonial Eropa memanfaatkan rempah-rempah untuk meningkatkan gairah
seksual, karena pada masa itu mereka menganggap seksual merupakan kenikmatan
duniawi yang patut dicari. Sampailah bangsa-bangsa di Eropa, seperti Portugis,
Inggris, dan Belanda berlabuh ke Nusantara untum mencari lada, jahe, kayu
manis, dan pala. Rempah-rempah ini, bagi mereka, mampu menyamarkan rasa pahit
dan asin makanan serta mampu memicu gairah.
Citarasa
Mahakarya Cengkeh
Cengkeh hanyalah satu di antara sekian
puluh jenis hasil rempah yang dieksploitasi kolonial. Cengkeh mampu diolah
menjadi berbagai jenis ramuan, di antaranya obat-obatan.
Di Nusantara, semula cengkeh digunakan
sebagai pengobatan. Masyarakat di daratan Pulau Jawa menggunakan cengkeh untuk
mengobati penyakit seperti batuk. Namun, seiring perkembangannya, gemah rempah mahakarya
Indonesia ini berkembang menjadi ramuan sepesial yang kini merebak di Tanah
Air, yakni rokok kretek. Begitulah Pak Bagio yang sadar atas kekayaan alam Tanah Air.
Kretek awalnya ditemukan saat seorang
warga di Kudus dalam kondisi batuk. Awalnya adalah seorang Jamhari yang terserang
batuk. Kemudian ia mencoba meramu cengkeh dengan tembakau dengan cara dihirup.
Ajaibnya batuknya sembuh dan kemudian dari mulut ke mulut. lambat laun kretek
menjadi salah satu produk khas yang diminati oleh orang-orang. Kini, cengkeh menjadi salah satu ramuan
dari sekian banyak rempah yang berlimpah di Tanah Air. Mungkin layaklah kita
bangga.
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.