ARTIKEL PINTASAN

Saturday, June 21, 2014

Mengkritisi Pembangunan Infrastruktur Sumut




ilustrasi: Bandara Kualanamu (Foto: Blogspot)
Mengkritisi Pembangunan Infrastruktur Sumut - Masyarakat Sumatera Utara (Sumut) merasa cukup bangga atas keberadaan Bandara Internasional Kualanamu. Bandara yang baru diresmikan ini seolah menjadi ikon bandara berkelas di Tanah Air, seperti Bandara Ngurah Ray dan Bandara Makaasar. Selain kebangga prestis bandara berkelas, Bandara Kualanamu merupakan awal pintu gerbang memasuki era keterbukaan akses global guna mengembangkan perekonomian Sumatera Utara.
Fakta tersebut harus diiringi sikap kritis jika masyarakat Sumatera Utara tidak ingin terjebak pada krisis multisektor. Di kemudian hari, paling tidak, bila diprediksi, dalam kurun waktu 20 sampai 50 tahun mendatang, Sumatera Utara akan mengalami krisis kultural dan krisis ekonomi (seperti inflasi daerah).
Bandara memang membuka jalur transportasi antardaerah, bahkan internasional. Keterhubungan dengan negara-negara tetangga, negara-negara berkembang lainnya, negara-negara maju, serta daerah-daerah maju bisa melakukan perjalanan dengan mudah. Perpindahan antarpenduduk semakin meningkat, penduduk asli Sumatera Utara ke luar daerah (kota) dan penduduk luar daerah ke dalam daerah (kota).
Pembukaan bandara bertaraf internasional, sebagai sarana pendukung taraf internasional, diikuti dengan pembangunan infrastruktur lainnya. Pembangunan jalan raya, baik tol maupun nontol, merupakan prioritas pembangunan setelah pembangunan bandara guna mendukung keterhubungan (transportasi) ke bandara. Pembangunan jalan raya utama tidak akan efektif tanpa pembangunan atau pemugaran jalan raya pendukung lainnya. Artinya, jalan raya pendukung pun harus segera dibangun. Moda transportasi lainnya juga mengikuti, seperti Kereta Api.
Pembangunan infrastruktur yang demikian masif itu berpotensi mendatangkan aliran uang ke Sumatera Utara. Datangnya aliran dana akan menyebabkan tingginya perputaran nilai ekonomi di Sumatera Utara, sehingga akibat-akibat lainnya pun akan mengiringi pula. Di antaranya, lapangan kerja berpotensi terbuka lebar. Dengan demikian garis kemiskinan mungkin berkurang.
Lapangan kerja, garis kemiskinan, dan pendapatan masyarakat menjadi indikator kesejahteraan masyarakat, yang tentu sifatnya politis karena kerap digunakan oleh politisi sebagai batas keberhasilan dalam memimpin. Tanpa memerhatikan perkembangan dimensi kebudayaan, maka cita-cita pembangunan Bandara Kualanamu tidak lebih demikian, yakni kesejahteraan.
Terbukanya jalur seperti Bandara Kualanamu di tengah-tengah era kebebasan ekonomi, di antaranya kebebasan perdagangan ASEAN 2015, merupakan awal keterbukaan mobilitas masyarakat asing. Melalui kemasan berwisata maupun investasi, mobilitas masyarakat asing di Sumatera Utara akan semakin meningkat. Peningkatan bisa mencapai dua kali lipat dari tahun-tahun sebelumnya (2010, 2012, dan 2012).
Tingginya mobilitas masyarakat asing tentu menyebabkan interaksi antarbudaya di Sumatera Utara semakin tinggi. Dengan demikian, nilai-nilai kebudayaan berpotensi bergeser atau berubah secara drastis. Memang dalam catatan sejarah masyarakat Sumatera Utara menyiratkan bahwa masyarakat Sumatera Utara merupakan masyarakat yang sulit ditaklukkan serta sulit dipengaruhi. Namun, zaman telah berubah, di bawah dominasi uang nilai-nilai prinsipil sekali  pun dapat goyah. Di sinilah celah keterbukaan masyarakat, dominasi akan menjadi hegemoni yang kuat.
Investor yang masuk ke Sumatera Utara, baik lokal maupun internasional, adalah sosok yang memiliki nilai kuasa lebih dibandingkan masyarakat asli. Mereka memiliki otoritas individual yang tinggi akibat hak kepemilikan modal. Investor lebih leluasa dalam penentuan kebijakan dan kesepakatan untuk menentukan kemungkinan-kemungkinan mendatang karena mereka mengedepankan kepentingan ekonomi.
Secara lingkaran ekonomi modern, nilai modal lebih mahal harganya ketimbang nilai tenaga maupun ketersediaan alam. Tanah satu hektare tidak mampu mendatangkan nilai lebih tanpa adanya alat-alat pengolahan, seperti bibit, mesin-mesin, dan sebagainya. Pemodal memiliki hak prerogatif yang lebih dibandingkan penyedia jasa maupun penyedia lahan, sehingga penentuan nilai lebih (added value) akan lebih menguntungkan pemodal.
Masyarakat asing sebagai ordinat masyarakat keterbukaan ini jauh lebih diuntungkan dibandingkan masyarakat asli. Secara ekonomi dan kultural masyarakat Sumatera Utara berada di bawah bayang-bayang. Dengan demikian, cara terbaik setelah pembangunan insfrastruktur ini rampung, yakni kesadaran masyarakat. Pembentukan kesadaran masyarakat Sumatera Utara adalah tugas berbagai elemen masyarakat Sumatera Utara, mulai dari pemangku adat, pemuka agama, pemodal lokal (pengusaha) Sumatera Utara, dan pemerintah itu sendiri.

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes