ARTIKEL PINTASAN

Tuesday, May 27, 2014

Tentang Cinta


 
ilustrasi cinta (foto/lukisan: irene blogspot)
Tentang Cinta - Kawan, apakah kita bisa menyimpulkan tentang cinta untuk kemudian dijadikan pelajaran bagi orang lain yang (akan) menjalani cinta? Itu sulit, kawan! Berbeda orang berbeda pula cintanya. Berbeda tempat dan waktu berbeda pula kemasan cintanya. Pada pokoknya, cinta itu urusan psikologis personal. Pengelaman seseorang sudah barang tentu berbeda, yang kemudian pengalaman inilah yang membentuk bagaimana ia memahami dan dipahami cinta.
Kawan, apakah kita bisa memodifikasi tentang cinta agar kemudian menjadi kekuasaan? Itu sulit, kawan! Cinta tidak serupa ideologi, yang bisa diwacanakan dan dinarasikan untuk meraih kekuasaan. Cinta pula serupa sekumpulan teori pengalaman demi penguasaan atau membelenggu tubuh siapa yang kita cintai.
Tentang cinta, kita hanya bisa pahami ikhtisar dari pengalaman percintaan orang lain. Tapi itu bukan untuk kita terapkan mentah-mentah selayaknya pembacaan buku-buku tips dan trik yang sekarang berkembang di toko-toko buku. Ambillah ikhtisar kisah Layla Majnun. Ambillah ikhtisar pengalaman perempuan lihai Cleopatra. Ambillah ikhtisar cerita Shakespeare, Romeo dan Juliet. Ambillah ikhtisar pengalaman cerita Siti Nurbaya. Mungkin orang terdekat kita, ambillah ikhtisar pengalaman cinta orangtua.
Lalu bagaimana pandangan tentang cinta dari tokoh-tokoh intelektual? Ada beragam. Ada yang mengatakan bahwa cinta adalah memberi. Ada yang mengatakan bahwa cinta adalah sama berdiri sama tegak sama berjalan. Ada yang mengatakan bahwa cinta itu seperti kita merendahkan diri untuk mengangkat apa yang disebut cinta. Ada yang mengatakan bahwa cinta adalah kesakitan, yang artinya dengan merasa kesakitan maka di sanalah cinta itu muncul.
Toh ada saja perempuan yang tidak suka dengan sikap laki-laki yang tampak lemah. Si perempuan pun tak mungkin mencintainya. Toh ada saja perempuan yang tidak suka dengan sikap laki-laki yang bersikap tidak tenang. Si perempuan pun tak mungkin mencintainya. Toh ada saja laki-laki yang tidak suka dengan sikap perempuan yang gemar gosip. Si laki-laki pun tak mungkin mencintainya. Toh ada saja laki-laki yang tidak suka dengan perempuan perokok. Si laki-laki pun tak mungkin mencintainya. Begitulah sebagainya, selalu ada cara seseorang memandang lawan jenis kelaminnya.
Loh, apakah cinta hanya untuk lawan jenis kelamin? Tidak. Cinta bisa kita wujudkan kepada orang-orang terdekat, seperti keluarga, orangtua, bangsa, negara, agama, hingga Tuhan. Hanya saja sikap cinta kepada keluarga tentu berbeda dengan sikap cinta kepada bangsa. Hanya saja sikap cinta kepada orangtua berbeda dengan sikap cinta kepada agama. Kita perlu memandang dan memahami bagaimana, apa dan siapa yang kita cintai.
Lantas kenapa tentang cinta seolah-olah hanya untuk lawan jenis kelamin? Benar, kawan! Cinta kepada lawan jenis kelamin memang sangat terasa berbeda di diri kita. Cinta kepada lawan jenis kelamin itu memabukkan. Cinta kepada lawan jenis kelamin itu menggiurkan. Cinta kepada lawan jenis kelamin itu dinamis dan menggairahkan. Dinamis berarti didasari gejelok hasrat diri yang menggebu-gebu. Menggiurkan, berarti muncul kenyamanan diri. Munculnya di saat remaja, saat perubahan fase remaja ke dewasa, atau saat di awal kedewasaan, suatu fase yang monumental hingga akan terkenang. Apalagi cinta kepada lawan jenis itu sebagai titik awal menatap masa depan yang lain. Dari kesendirian menjadi kebersamaan hidup.
Hasrat? Dekat dengan libido? Berarti menyesatkan? Berarti agama melaknat dan perlu dijauhi? Berarti cinta sama saja dengan nafsu? Tentu tidak sedemikian buruknya dan tidak sedemikian dangkalnya pemahaman antara cinta, nafsu, dan agama. Benar memang bahwa cinta muncul karena ada gelora hasrat, seperti apa yang disinggung sebelumnya bahwa cinta merupakan urusan psikologi personal. Karena adanya hasrat, tak jarang memang orang berlebihan mengekspresikan cintanya lewat cara-cara intim atau ekspresi libidonial. Melakukan ekspresi libido (keintiman) atau tidak, toh tetap dapat dikatakan cinta. Karena itu, agama membatasi, secara moral, bahwa cinta sampai berlebih ke soal libido itu salah karena memunculkan keburukan psikologis dan biologis. Toh di dalam agama (Islam) tidak ada bunyi sepatah ayat atau hadis pun yang melarang cinta kepada lawan jenis kelamin. Cinta itu layak dan manusia selama itu berada pada batas-batas moral yang dianjurkan agama.
Bukannya agama, seperti Islam, melarang perwadahan cinta? Bukannya pacaran sebagai wadah cinta itu dilarang? Bukannya Islam itu sudah menganjurkan ta’aruf sebagai jalan menuju perbuatan mencintai lawan jenis kelamin? Bukannya semua orang yang pacaran itu melakukan perbuatan (ekspresi) libido? Ta’aruf dan pacaran pada hakikatnya sama saja, yang membedakan adalah bahasa dan konstruksi sosial terhadap pemaknaan konotatifnya. Tak ubahnya kata “Ummi” dan “Ibu”. Tak ubahnya kata “Khilafah” dan “Kepemimpinan”. Selama pacaran itu dijalankan di atas batasan moral keagamaan, pacaran itu tak jadi masalah. Toh pokok dari “pacaran” dan “ta’aruf” adalah mengenali hal-hal yang perlu dikenali, memahami hal-hal yang perlu dipahami di diri orang yang dicintai.
Tentang cinta, yang jelas, bentuk cinta itu memberi secara ikhlas dan mampu memahami kejiwaan, kawanku! Yang perlu digarisbawahi juga, semakin kau mencintai semakin kau harus kuat melupakan orang yang kau cintai.

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes