Tiga Tokoh di Warung Kopi - Menjelang
sore, sebuah warung kopi kedatangan tiga tokoh. Tiap-tiap tokoh mengenakan ciri
masing-masing di tubuhnya. Tokoh pertama ialah pemuka
agama, mengenakan peci hitam dan kemeja koko. Tokoh kedua ialah politisi,
mengenakan kemeja putih serta berpenampilan sangat rapi apabila dibandingkan
tokoh pertama. Tokoh ketiga ialah ahli sejarah, mengenakan kaos dan celana
jeans.
“Mbak,
saya pesan kopi!” teriak si ahli sejarah kepada pemilik warung.
“Saya
pesan teh manis, Mbak,” kata si politisi.
“Saya
air putih saja ya, Mbak,” kata si pemuka agama.
Lima
menit kemudian si pemilik warung datang membawa pesanan, teh manis, kopi, dan
air putih. Sambil meletakkan pesanan ke hadapan tiap-tipa tokoh itu, si pemilik
warung berceletuk, “Kok rasa-rasanya pesanannya mencirikan si pemesan yah.”
“Ah,
Mbak ini,” kata si ahli sejarah.
“Gak
usah dipanjanglebarin. Pesanan tinggal diminum, Mas,” kata si pemilik warung.
Si
ahli sejarah mengikuti perintah si pemilik warung. Ia menenggak kopi, dengan
cara menyeruput. Srutt... “Alhamdulillah,” ucap syukur si ahli sejarah.
“Meski
Anda Ahli Sejarah, Anda ini tampaknya selalu bersyukur yah,” kata si pemuka
agama.
“Alhamdulillah,
saya selalu menerapkan model kesejarahan untuk melihat hal-hal kecil seperti
ini, Pak. Air ini (sambil memegang gelas) datang dari dalam tanah. Lalu menjadi
mata air. Lantas, air dimasak. Proses masak pun membutuhkan banyak materi,
seperti api dan alat masaknya. Begitu pula kopi. Pohon kopi hidup dengan cara
dirawat oleh petani kopi. Pohon-pohon kopi itu hidup dari alam, yang menghirup
udara. Akhirnya, memahami kopi ini secara utuh satu kesatuan akan menempatkan
sesuatu Yang Ilahi,” kata si ahli sejarah menjelaskan.
“Tapi
apakah itu saja cukup?” tanya si politisi.
“Maksudnya?”
si ahli sejarah justru balik bertanya.
“Rasa
syukur saja tidak cukup. Kita harus berjuang di jalan Allah, jihad. Hayyaalalfala, kita menuju kemenangan,”
kata si politisi menjelaskan.
“Dengan
cara apa perjuangan itu?” tanya si pemuka agama.
“Berjalan
melalui cara yang ada, berdemokrasi. Kita berada di sebuah partai. Lalu kita
masuk ke sistem pemerintahan. Setelah di sistem pemerintahan, kita bisa
memperjuangkan nilai-nilai ke-Islaman. Insyaallah. Politik itu kalau
dirasa-rasa memang tidak terasa, tapi ketahuilah bahwa politik itu memengaruhi
kehidupan kita, seperti kopi dan air yang ada di gelas kita ini (memegang
gelas). Harga air di gelas ini terpengaruh oleh kebijakan politik. Kebijakan
politik negara yang akhirnya memengaruhi ekonomi kita, sampai akhirnya
berpengaruhlah menjadi harga air sekarang ini,” kata si politisi menjelaskan.
“Wahai
politisi, caramu dan golonganmu memang tidak diharamkan oleh Allah SWT. Tapi
bolehkah saya bertanya?” tanya di pemuka agama.
“Silakan,
Ustaz,” jawab si politisi.
“Apakah
kamu dan golonganmu selalu menyampaikan dan mengembalikan kebuntuan manusia
pada Al-Quran dan Hadist?”
“Ya,
tentu, Ustaz. Karena partai kami partai berbasis agama Islam,” jawab si
politisi.
“Apakah
kamu dan golonganmu memahami bahwa kamu dan golonganmu bertindak politis?”
tanya si pemuka agama.
“Tidak,
kami hanya bertindak semata-mata karena Allah SWT,” jawab si politisi.
“Kesadaran
kamu tepat, karena begitulah pemahaman Tauhid secara keseluruhan,” kata si
pemuka agama menjelaskan.
“Tapi
begini, Ustaz. Kami berjuang karena Allah SWT, dan kami butuh wadah politik di
kancah kenegaraan. Maka kami butuh partai, Ustaz. Begitu juga kita semua,
membutuhkan partai sebagai alat perjuangan, Ustaz,” ucap si politisi.
“Jika
kamu berdiri sebagai figur politik di depan ribuan massa umat Islam, mana yang
kamu dahulukan, menjelaskan ahlaq yang baik sebagai bagian dari tasawuf serta
menjabarkan keesaan Allah SWT atau menjelaskan perjuangan politik?” tanya si
pemuka agama.
“Karena
konteksnya itu politik, ya tentu saya akan menyampaikan suara politik, Ustaz,”
jawab si politisi.
Si
pemuka agama berdiam sejenak. Lalu menenggak air putih di depannya. Di sisi
lain, si ahli sejarah mulai tampak bersuara.
“Begini,
sahabatku. Jika kamu di depan seorang remaja yang kebingungan akan keesaan
Allah, apa yang akan kamu jelaskan kepada remaja itu?” tanya si ahli sejarah.
“Saya
akan jelaskan keesaan Allah, atas adanya alam semesta ini,” jawab si politisi.
“Kalau
remaja tadi itu tidak sendiri, katakanlah ada ratusan remaja, apakah masih kamu
bertindak sama, menjelaskan keesaan Allah?” tanya kembali si ahli sejarah.
“Insyaallah,
ya,” jawab si politisi.
“Tolong
jawab jujur, apakah kamu juga akan menjelaskan hanya Allah SWT semata?” tanya
si ahli sejarah.
“Ya,”
jawab si politisi.
“Berarti
ada yang salah dalam pola pikir politik kamu dan golonganmu, wahai sahabatku.
Dalam politik, ratusan massa adalah emas bagi suara partai, wahai sahabatku,”
kata si ahli sejarah
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.