ARTIKEL PINTASAN

Thursday, April 3, 2014

Tiga Tokoh di Warung Kopi



 
ilustrasi (foto: blogspot) 
Tiga Tokoh di Warung Kopi - Menjelang sore, sebuah warung kopi kedatangan tiga tokoh. Tiap-tiap tokoh mengenakan ciri masing-masing di tubuhnya. Tokoh pertama ialah pemuka agama, mengenakan peci hitam dan kemeja koko. Tokoh kedua ialah politisi, mengenakan kemeja putih serta berpenampilan sangat rapi apabila dibandingkan tokoh pertama. Tokoh ketiga ialah ahli sejarah, mengenakan kaos dan celana jeans.
“Mbak, saya pesan kopi!” teriak si ahli sejarah kepada pemilik warung.
“Saya pesan teh manis, Mbak,” kata si politisi.
“Saya air putih saja ya, Mbak,” kata si pemuka agama.
Lima menit kemudian si pemilik warung datang membawa pesanan, teh manis, kopi, dan air putih. Sambil meletakkan pesanan ke hadapan tiap-tipa tokoh itu, si pemilik warung berceletuk, “Kok rasa-rasanya pesanannya mencirikan si pemesan yah.”
“Ah, Mbak ini,” kata si ahli sejarah.
“Gak usah dipanjanglebarin. Pesanan tinggal diminum, Mas,” kata si pemilik warung.
Si ahli sejarah mengikuti perintah si pemilik warung. Ia menenggak kopi, dengan cara menyeruput. Srutt... “Alhamdulillah,” ucap syukur si ahli sejarah.
“Meski Anda Ahli Sejarah, Anda ini tampaknya selalu bersyukur yah,” kata si pemuka agama.
“Alhamdulillah, saya selalu menerapkan model kesejarahan untuk melihat hal-hal kecil seperti ini, Pak. Air ini (sambil memegang gelas) datang dari dalam tanah. Lalu menjadi mata air. Lantas, air dimasak. Proses masak pun membutuhkan banyak materi, seperti api dan alat masaknya. Begitu pula kopi. Pohon kopi hidup dengan cara dirawat oleh petani kopi. Pohon-pohon kopi itu hidup dari alam, yang menghirup udara. Akhirnya, memahami kopi ini secara utuh satu kesatuan akan menempatkan sesuatu Yang Ilahi,” kata si ahli sejarah menjelaskan.
“Tapi apakah itu saja cukup?” tanya si politisi.
“Maksudnya?” si ahli sejarah justru balik bertanya.
“Rasa syukur saja tidak cukup. Kita harus berjuang di jalan Allah, jihad. Hayyaalalfala, kita menuju kemenangan,” kata si politisi menjelaskan.
“Dengan cara apa perjuangan itu?” tanya si pemuka agama.
“Berjalan melalui cara yang ada, berdemokrasi. Kita berada di sebuah partai. Lalu kita masuk ke sistem pemerintahan. Setelah di sistem pemerintahan, kita bisa memperjuangkan nilai-nilai ke-Islaman. Insyaallah. Politik itu kalau dirasa-rasa memang tidak terasa, tapi ketahuilah bahwa politik itu memengaruhi kehidupan kita, seperti kopi dan air yang ada di gelas kita ini (memegang gelas). Harga air di gelas ini terpengaruh oleh kebijakan politik. Kebijakan politik negara yang akhirnya memengaruhi ekonomi kita, sampai akhirnya berpengaruhlah menjadi harga air sekarang ini,” kata si politisi menjelaskan.
“Wahai politisi, caramu dan golonganmu memang tidak diharamkan oleh Allah SWT. Tapi bolehkah saya bertanya?” tanya di pemuka agama.
“Silakan, Ustaz,” jawab si politisi.
“Apakah kamu dan golonganmu selalu menyampaikan dan mengembalikan kebuntuan manusia pada Al-Quran dan Hadist?”
“Ya, tentu, Ustaz. Karena partai kami partai berbasis agama Islam,” jawab si politisi.
“Apakah kamu dan golonganmu memahami bahwa kamu dan golonganmu bertindak politis?” tanya si pemuka agama.
“Tidak, kami hanya bertindak semata-mata karena Allah SWT,” jawab si politisi.
“Kesadaran kamu tepat, karena begitulah pemahaman Tauhid secara keseluruhan,” kata si pemuka agama menjelaskan.
“Tapi begini, Ustaz. Kami berjuang karena Allah SWT, dan kami butuh wadah politik di kancah kenegaraan. Maka kami butuh partai, Ustaz. Begitu juga kita semua, membutuhkan partai sebagai alat perjuangan, Ustaz,” ucap si politisi.
“Jika kamu berdiri sebagai figur politik di depan ribuan massa umat Islam, mana yang kamu dahulukan, menjelaskan ahlaq yang baik sebagai bagian dari tasawuf serta menjabarkan keesaan Allah SWT atau menjelaskan perjuangan politik?” tanya si pemuka agama.
“Karena konteksnya itu politik, ya tentu saya akan menyampaikan suara politik, Ustaz,” jawab si politisi.
Si pemuka agama berdiam sejenak. Lalu menenggak air putih di depannya. Di sisi lain, si ahli sejarah mulai tampak bersuara.
“Begini, sahabatku. Jika kamu di depan seorang remaja yang kebingungan akan keesaan Allah, apa yang akan kamu jelaskan kepada remaja itu?” tanya si ahli sejarah.
“Saya akan jelaskan keesaan Allah, atas adanya alam semesta ini,” jawab si politisi.
“Kalau remaja tadi itu tidak sendiri, katakanlah ada ratusan remaja, apakah masih kamu bertindak sama, menjelaskan keesaan Allah?” tanya kembali si ahli sejarah.
“Insyaallah, ya,” jawab si politisi.
“Tolong jawab jujur, apakah kamu juga akan menjelaskan hanya Allah SWT semata?” tanya si ahli sejarah.
“Ya,” jawab si politisi.
“Berarti ada yang salah dalam pola pikir politik kamu dan golonganmu, wahai sahabatku. Dalam politik, ratusan massa adalah emas bagi suara partai, wahai sahabatku,” kata si ahli sejarah

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes