sampul majalah Ulumul Qur'an (foto: lsafpress.blogspot.com) |
Ulumul Qur’an - Sebuah buku yang
tebal dan mencerahkan sehingga tak akan pernah mudah jenuh membacanya. Begitu
banyak ulsan-ulasan cendikiawan muslim. Beragam persoalan dan pemahaman
diangkat menjadi topik ulasan para cendikiawan muslim. Namun, di dalamnya juga
terdapat ulasan-ulasan dari kaum nonmuslim, yang mengurai
pandangannya perihal teologi. Semua tersaji melalui tulisan-tulisan artikel
yang cukup ketat, seakan ilmiah nan populis.
Saya dapat
memahami berbagai wacana ke-Islaman dan teologis secara umum maupun spesifik
(ke-Islaman). Mulai dari tafsir, tauhid, fiqih, sosial-kultural, sejarah,
hingga politik (bukan pengertian politik artian sempit). Begitulah majalah Ulumul Qur’an tersaji.
Memahami
namanya, Ulumul Qur’an, mengandung
pesan bahwa majalah yang cukup dikenal di era 90-an ini dikemas sebagai ruang
ilmu dan diskursus penunjang dalam memahami Al-quran. Istilah “ulumul” berasal
dari kata “ilm(i)”, yang berarti mamahami. “Ulumul” merupakan bentuk jamak dari
“ilm(i)”, sehingga “ulumul” diartikan sebagai “ilmu-ilmu”.
Sebelum lebih
jauh mengurai tentang isi, saya mencoba menelusuri penamaannya. Setelah saya
buka-buka lembar demi lembar, saya temui di salah satu bagian kolom surat
pembaca. Pembaca memprotes penamaan Ulumul
Qur’an. Berikut kutipan kritik nama Ulumul
Qur’an tersebut.
Kami membaca Ulumul Qur’an Nomor 3 Vol. IV Tahun
1993. Di dalamnya kami dapatkan tulisan seorang Orientalis Yahudi: R William
Liddle dan suplemen tentang Universitas Satya Wacana serta tulisan Victor
Tanja, dosen Sekolah Tinggi Theologi Jakarta. Ulumul Qur’an juga memuat
wawancara dengan Romo Dick.
Karena jurnal tersebut milik Anda, maka adalah hak
Anda untuk memuat tulisan siapa saja, seorang marxis-kafir sekalipun. Tetapi
yang kami persoalkan adalah nama jurnal Anda menggunakan kata Al-quran.
Al-quran adalah nama kitab suci umat Islam sedunia. Sungguh mati ketika kami
membulak-balik jurnal Ulumul Qur’an. Kami jadi mengibaratkannya seperti pastur
atau pendeta Kristen yang ceramah di depan pengajian orang Islam di dalam
Masjid. Bagi Anda, barangkali boleh-boleh saja. Tapi hati nurani kami berkata:
“Apa tidak ada tempat lain? Kenapa tidak di aula saja?” Atau, rubah dulu masjid
Anda menjadi gedung pertemuan.
(Dikirim oleh KH A Kholil Ridwan. Kutipan ini terpajang di kolom Surat
Pembaca).
M. Quraish
Shihab, salah seorang Dewan Redaksi Ulumul Qur’an, menjawab pandangan Kholil
Ridwan. Berikut nukilan jawab Quraish Shihab, yang saya nukil beberapa jawaban
yang penting.
Ada yang beranggapan bahwa Ulumul Qur’an itu adalah
ilmu-ilmu yang bisa menunjang pemahaman kandungan Al-quran. Lantas dibatasi
bahwa ilmu itu adalah ilmu bahasa, ilmu-ilmu agama dan sebagainya. Betapapun,
saya tidak melihat bahwa sesungguhnya penggunaan nama Ulumul Qur’an untuk majalah
adalah sesuatu yang terlarang. Apalagi kalau kita berpendapat begini: Al-quran
itu berbicara tentang berbagai hal. Bahkan Al-quran menguraikan
pandangan-pandangan orang-orang yang tidak percaya kepadanya, sehingga kalau
Al-quran saja begitu, apalagi majalah yang namanya Ulumul Qur’an.
...
Ada sebuah kitab tafsir Iqra’ karangan Dr. Ayyad.
Dia katakan begini, saya sungguh banyak mendapat inspirasi dalam memahami
Al-quran setelah saya berkunjung ke Piramid. Dia mencontohkan, waktu dia
membahas ayat Kalla lanasfa ‘am bi al-nasiah. Nasiah itu artinya ubun-ubun.
Saya tidak tahu mengapa Al-quran berkata demikian, “akan diseret ubun-ubun”.
Melalui Piramid, dia mendapat penjelasan bahwa pada zaman dahulu, ubun-ubun itu
merupakan tempat yang terhormat. Dari sinilah dia dapat memahami ayat tersebut.
Jadi kalau seandainya di Ulumul Qur’an diuraikan mengenai Piramid, itu bisa
menunjang penafsiran terhadap ayat. Saya melihat tulisan yang ada di Ulumul
Qur’an semuanya bisa menunjang pemahaman kita mengenal Al-quran.
Jadi kesimpulannya, yang dinamakan Ulumul Qur’an
adalah semua ilmu yang dapat menunjang pemahaman dan bukti kebenaran Al-Quran.
Beragam
pandangan dan beragam sisi memahami suatu sejarah ke-Islaman (beserta umatnya,
sebagai sosial). Bagi saya ini menjadi semacam gelas yang beragam ketika saya
akan minum. Tergantung pada kebutuhan (kehausan) dan kemampuan, gelas mana yang
akan kita gunakan. Pemahaman sejarah akan berguna dalam kontekstualisasi teks,
sehingga saya tidak akan mati oleh teks. Sayalah yang harus “menghidupkan” teks
itu, memaknai.
Salah satunya
tafsir kata alamin (dalam kalimat Rabb al-alamin). Diuraikan, bahwa di
dalam tulisan tersebut, ada dua kemungkinan makna. Pertama, alamin berarti mahluk
Tuhan yang berakal (manusia dan jin). Kedua, alamin berarti alam semesta. Di
dalam artikel Menafsir Kembali Kosmologi Al-Quran, ditulis oleh Sirajuddin Jar,
menjaskan bahwa alamin itu merujuk pada manusia dan jin. Sementara alam semesta
(langit dan bumi) tertulis melalui “al-samawat
wa al-ardh wa ma baynahuma”.
Ulumul Qur’an menghadirkan wacana-wacana. Tentu wacana-wacana itu
pun terbatas. Pada dasarnya Ulumul Qur’an
adalah sebuah majalah, yang memiliki keterbatasan ruang. Tidak melulu dapat
dibahas secara panjang lebar. Setidaknya, Ulumul
Qur’an, yang hadir melalui ratusan halaman setiap terbitannya, selalu
memberi khazanah keilmuan dan membantu memahami isi Al-quran itu sendiri.
Namun, kabarnya
terbaru apakah Ulumul Qur’an masih
terbit atau tidak, saya tidak tahu. Ulumul
Qur’an yang saya jelaskan di sini ialah Ulumul
Qur’an bundelan dari beberapa kali terbitan. Tetapi saya beruntung bisa
menemui Ulumul Qur’an bundelan ini,
setidaknya memberi kesempatan saya untuk mengaktualisasi dan memahami lebih
jauh perihal ke-Islaman.
majalah ini terbit lagi tahun lalu, nggak tahu apakah masih berlanjut...yang sepintas saya lihat saat di Gramedia, isinya lebih ringan (untuk tidak mengatakan jelek) dibanding dulu.
ReplyDeleteYang ngelola masih orang lama gak yakira-kira, Bang? Nanti aku coba tengok-tengok dah di toko buku.
ReplyDelete