ARTIKEL PINTASAN

Friday, February 14, 2014

Jokowi sebagai McDonalidisasi Politik





ilustrasi (foto: blogspot)
Jokowi sebagai McDonalidisasi Politik - Jokowi Widodo (Jokowi) adalah seorang pemimpin daerah, Ibukota Jakarta. Tentu semua banya kita yang tahu perihal jabatan Jokowi ini. Ia merupakan kader Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDIP), yang memulai kepemimpinan daerah dari Solo sebagai Wali Kota. Selanjutnya, ia melakoni jabatan seorang pemimpin DKI Jakarta berkat kerja sama PDIP dengan Partai Gerinda.
Karena kader partai oposisi ini mampu menduduki daerah strategis, Ibukota Jakarta, namanya melejit begitu cepat. Banyak survei menyatakan Jokowi sebagai unggulan utama. Saking banyaknya, mungkin kita dapat menelusuri satu per satu hasil survei tiap-tiap lembaga survei, entah itu lembaga survei independen maupun nonindependen. Apa pun hasil survei tersebut, patut dipandang bahwa Jokowi merupakan figur politik. Karena itulah ia disertakan dalam berbagai sumber politik.
Apa pun yang disampaikan Jokowi, itu adalah cara komunikasi politik. Apa pun yang ia perbuat, itu adalah perbuatan politis. Tak ayal pengamat politik menilai fenomena Jokowi sebagai suatu pencitraan politik.
Dalam kerangka politik era liberalisasi, keterbukaan berbagai dimensi, saat ini patut pula kita melihat fenomena Jokowi dan PDIP sebagai suatu pola pembentukan calon presiden. Pola ini sama halnya dengan pola populisme komoditas. Berbagai komoditas saat ini hanyalah pepesan kosong. Komoditas lebih mengutamakan keterkenalan di tengah-tengah kehidupan masyarakat ketimbang isi. Seleksi bukan lagi berdasarkan kualitas, melainkan berdasarkan kuantitas.
Gejala tersebut samahalnya dengan junkfood atau fastfood. Prinsip utamanya ialah keterkenalan serta keinginan massa. Ritzer menyebut hal ini sebagai McDonalization (McDonaldisasi), yang mengambil fenomena Mc Donald sebagai objek pengamatan.
Ritzer memandang empat aspek McDonaldisasi. Apabila keempat aspek ini telah terpenuhi, maka keterkenalan dan ketergantungan branding akan tercapai. Keempat unsur tersebut ialah keterkenalan, kuantifikasi, prediktabilitas, dan pengendalian (controlling).
Pertama, keterkenalan. Langkah keterkenalan dilakukan melalui kepemehaman kondisi sosial (pemataan sosial). Setelah langkah memahami kondisi sosial itu dilakukan, figur yang tepat pun dimunculkan berkali-kali melalui berbagai upaya. Di antaranya pengoptimalan media massa sebagai media mainstream hingga media-media alternatif seperti media sosial internet.
Selanjutnya, kedua, kuantifikasi. Kuantifikasi lebih utama dibandingkan kuantitas. Bahkan, kuantitas seakan “musuh”, karena terkait keterkenalan. Figur akan muncul ke banyak tempat agar memunculkan sosoknya. Tidak penting seperti apa kualitas dan efektivitas kedatangan figur itu ke suatu lokasi. Utamanya, bagaimana figur mampu mendatangai dan mendekati masyarakat secara bertubi-tubi. Karena itu, wajah bila sebagian orang meragukan blusukan Jokowi.
Ketiga, prediktabilitas. Dalam aspek ini, Ritzer memandang penjualan komoditas terus didorong guna mendapatkan keuntungan. Pola ekonomi saat ini memaksa untuk mencari keuntungan. Varian-varian komoditas suatu merek (brand) terus diciptakan demi mengikuti selera perubahan pasar. Demikian halnya dengan figur politik, cara-cara pendekatan terus dilakukan ke masyarakat demi menjaga stabilitas branding. Dalam hal ini, wajar pula bila banyak yang mempresiksikan bahwa ke depannya akan banyak tindakan-tindakan fenomenal Jokowi.
Akhir pandangan, saya sepakat pada pernyataan pengamat politik bahwa kultus Jokowi berpotensi pada keterjebakan. Komoditas yang cepat melejit akan cepat pula lenyap. Ibarat makanan fastfood, cepat disajikan cepat pula kita muak. Enak dipandang, tetapi tak cukup baik kandungan gizinya. Politik dan komoditas industri dalam era postmodern sama saja.
Komoditas yang begitu luas keterkenalannya hanyalah bentuk pepesan kosong. Bila suatu komoditas berkualitas tinggi, mengapa perlu proses branding? Kita perlu mengingat sisi filosifi bahwa gula akan selalu dicari semut.

(dimuat di Harian Pelita)

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes