ilustrasi (foto: blogspot) |
Jokowi sebagai McDonalidisasi Politik - Jokowi Widodo (Jokowi)
adalah seorang pemimpin daerah, Ibukota Jakarta. Tentu semua banya kita yang
tahu perihal jabatan Jokowi ini. Ia merupakan kader Partai Demokrasi Perjuangan
Indonesia (PDIP), yang memulai kepemimpinan daerah dari Solo sebagai Wali Kota.
Selanjutnya, ia melakoni jabatan seorang pemimpin DKI Jakarta berkat kerja sama
PDIP dengan Partai Gerinda.
Karena kader
partai oposisi ini mampu menduduki daerah strategis, Ibukota Jakarta, namanya
melejit begitu cepat. Banyak survei menyatakan Jokowi sebagai unggulan utama.
Saking banyaknya, mungkin kita dapat menelusuri satu per satu hasil survei
tiap-tiap lembaga survei, entah itu lembaga survei independen maupun
nonindependen. Apa pun hasil survei tersebut, patut dipandang bahwa Jokowi
merupakan figur politik. Karena itulah ia disertakan dalam berbagai sumber
politik.
Apa pun yang
disampaikan Jokowi, itu adalah cara komunikasi politik. Apa pun yang ia
perbuat, itu adalah perbuatan politis. Tak ayal pengamat politik menilai fenomena
Jokowi sebagai suatu pencitraan politik.
Dalam kerangka
politik era liberalisasi, keterbukaan berbagai dimensi, saat ini patut pula
kita melihat fenomena Jokowi dan PDIP sebagai suatu pola pembentukan calon
presiden. Pola ini sama halnya dengan pola populisme komoditas. Berbagai
komoditas saat ini hanyalah pepesan kosong. Komoditas lebih mengutamakan
keterkenalan di tengah-tengah kehidupan masyarakat ketimbang isi. Seleksi bukan
lagi berdasarkan kualitas, melainkan berdasarkan kuantitas.
Gejala tersebut
samahalnya dengan junkfood atau fastfood. Prinsip utamanya ialah keterkenalan
serta keinginan massa. Ritzer menyebut hal ini sebagai McDonalization
(McDonaldisasi), yang mengambil fenomena Mc Donald sebagai objek pengamatan.
Ritzer memandang
empat aspek McDonaldisasi. Apabila keempat aspek ini telah terpenuhi, maka
keterkenalan dan ketergantungan branding
akan tercapai. Keempat unsur tersebut ialah keterkenalan, kuantifikasi, prediktabilitas,
dan pengendalian (controlling).
Pertama,
keterkenalan. Langkah keterkenalan dilakukan melalui kepemehaman kondisi sosial
(pemataan sosial). Setelah langkah memahami kondisi sosial itu dilakukan, figur
yang tepat pun dimunculkan berkali-kali melalui berbagai upaya. Di antaranya
pengoptimalan media massa sebagai media mainstream hingga media-media
alternatif seperti media sosial internet.
Selanjutnya,
kedua, kuantifikasi. Kuantifikasi lebih utama dibandingkan kuantitas. Bahkan,
kuantitas seakan “musuh”, karena terkait keterkenalan. Figur akan muncul ke
banyak tempat agar memunculkan sosoknya. Tidak penting seperti apa kualitas dan
efektivitas kedatangan figur itu ke suatu lokasi. Utamanya, bagaimana figur
mampu mendatangai dan mendekati masyarakat secara bertubi-tubi. Karena itu,
wajah bila sebagian orang meragukan blusukan
Jokowi.
Ketiga,
prediktabilitas. Dalam aspek ini, Ritzer memandang penjualan komoditas terus
didorong guna mendapatkan keuntungan. Pola ekonomi saat ini memaksa untuk
mencari keuntungan. Varian-varian komoditas suatu merek (brand) terus
diciptakan demi mengikuti selera perubahan pasar. Demikian halnya dengan figur
politik, cara-cara pendekatan terus dilakukan ke masyarakat demi menjaga
stabilitas branding. Dalam hal ini, wajar pula bila banyak yang mempresiksikan
bahwa ke depannya akan banyak tindakan-tindakan fenomenal Jokowi.
Akhir pandangan,
saya sepakat pada pernyataan pengamat politik bahwa kultus Jokowi berpotensi
pada keterjebakan. Komoditas yang cepat melejit akan cepat pula lenyap. Ibarat
makanan fastfood, cepat disajikan cepat pula kita muak. Enak dipandang, tetapi
tak cukup baik kandungan gizinya. Politik dan komoditas industri dalam era
postmodern sama saja.
Komoditas yang begitu luas keterkenalannya
hanyalah bentuk pepesan kosong. Bila suatu komoditas berkualitas tinggi,
mengapa perlu proses branding? Kita
perlu mengingat sisi filosifi bahwa gula akan selalu dicari semut.
(dimuat di Harian Pelita)
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.