ARTIKEL PINTASAN

Tuesday, July 16, 2013

Sepak Bola: Budaya Massa




salah satu stadion penyelenggaraan Euro 2012 (Foto: Blogspot)


Senin pagi, sepak bola sejadag Eropa baru usai dilaksanakan. Sepak bola akbar Piala Eropa atau biasa disebut Euro, yang hampir serupa dengan kemeriahan sepak bola Piala Dunia, belakangan ini berdampak pada kerihan di berbagai tempat. Di kafe-kafe ada gelaran nonton bareng. Di titik-titik keramaian mengadakan nonton bareng. Bahkan, di desa-desa juga mengadakan nonton bareng.
Dalam momen itu, penulis saya menemukan dua fakta yang jadi contoh di dalam tulisan ini. Pertama, fakta di lingkungan kerja. Kedua, fakta sebuh media massa.
Suatu ketika, usai laga bigmacth Italia lawan Spanyol, seorang OB di kantor mengeluh, “Duh, ngantuk banget.” Saya menyambut, “Itulah, akibat diperbudak bola.” Lalu dia sambut, “Pertandingan seru, Mas.” Saya sambut lagi, “Buat apa maksain diri. Toh kalau tidak nonton kita tidak mati. Kan bisa nonton ulangannya, atau nonton di kanal TV online, percuma itu bertebaran video-video buatan anak IT.” Dia pun menegaskan, beda feel bila nonton tidak tepat pada waktunya. Selain itu, tidak ada passion dukungan kalau menonton ulangan itu.
Saat saya melihat situs online Huffington Post, diberitai bahwa seorang warga Cina, Jiau Siaoxhan, meninggal karena selalu bergadang demi menonton siaran langsung Euro 2012. Diduga kuat, bahwa Jiau mengalami penurunan daya tahan tubuh, dan kondisi daya tahan tubuh itu tidak dia sadari sehingga akhirnya ia meninggal.
 //
Sepak bola merupakan jenis olahraga terbanyak penontonnya. Dengan stadion-stadion nan gagah dan megah. Penontonnya mencapai ribuan, bahkan puluhan ribu. Sorak-sorai penonton itulah yang memberi dampak nyata bagi peranan psikologi sosial. Investasi sebagai aset dalam ruang lingkup sepak bola pun siap diberi berapa pun jumlahnya, karena dampak keuntungan ekonomi yang menggiurkan. Artinya, di sini tumpuannya ialah added value (keuntungan ekonomi).
Subjek yang belum menjadi penonton aktif akan terbawa sekumpulan subjek dominan tadi akibat riuh dan kemegahan sajian sepak bola. Begitulah dua contoh di atas, seorang OB dan Jiau, ingin memasuki atau melibatkan diri sebagai penonton aktif.
Padahal, di dalam arus dominan tadi, penonton sepak bola, OB dan Jiau hanya jadi konsumen. Tanpa disadari, dengan menonton, berarti keduanya memosisikan diri sebagai konsumen. Konsumen tidak tahu-menahu tentang motivasi pengadaan olahraga terakbar di dunia itu. Konsumen hanya tahu mengenai cara menikmati.
Sepakbola itu disajikan melalui media-media. Peran media memberi kontribusi penyebaran. Selain sebagai media untuk memengaruhi, media pun layak disetarakan dengan distribusi. Media, baik visual maupun nonvisual, dengan intensif memengaruhi pikiran masyarakat.
//

Dari 250 Juta manusia di Indonesia ini, kalau waktunya tersita untuk nonton bola di tengah malam, apa jadinya bangsa ini? Katakanlah seperlimanya menonton bola. 250/5 juta, itu artinya 50 juta manusia di Indonesia menghabiskan waktunya untuk bola saja. Mari kita compare antara pemain-pemain bola dan pertandingan itu dengan diri kita. Pemain sehat, sedangkan kita kurang tidur, yang artinya akan berdampak pada trombosit kita. Instrumen Euro 2012 dan pemain bola di sana mendapatkan uang, baik itu dari tiket, penjualan pernak-pernik (komoditas), iklan, maupun hak siar (bayangkan bila tiap-tiap negara dari separuh keseluruhan negara di dunia ini membeli hak siar), sedangkan kita tersita waktu tanpa menghasilkan apa-apa, kecuali kenikmatan semu.
Sadarkah kita bahwa memaksa diri untuk menonton bola Euro itu sama halnya seperti memaksa diri untuk membirukan mata kita, memirangkan rambut kita, memancungkan hidung kita, meninggikan badan kita, dan lain-lain. Padahal, geografis kita berbeda. Iklim kita berbeda. Semestinya kita istirahat, tetapi kita justru tidak memanfaatkan waktu istirahat kita. Ketidaksadaran itu dampak dari wujud hegemoni. Hegemoni, dalam ruang budaya, bekerja secara tidak sadar.
Jadi, pada situasi seperti itu kita mesti cerdik mengidentifikasi kondisi diri kita sendiri dan mengidentifikasi kebutuhan diri sendiri. Apabila tidak, maka kita hanya jadi diri mereka.


-Mei 2012-

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes