Opera Van Java (OVJ) |
Suatu
kali saat saya naik angkutan kota, saya bertemu dengan seorang anak kecil
(bersebelahan dengan ibunya) yang berusia sekitar 5 tahun menyanyikan lagu
tembang OVJ (Opera Van Java). Dengan santai anak kecil tersebut melantunkan
lirik “kite lagi kite lagi kite lagi kite lagi nongol di tivi.” Bahkan, anak
kecil tersebut tampak fasih melantunkan lirik-lirik lainnya. Melihat realitas
itu saya khawatir dengan kondisi anak-anak lainnya yang mungkin saja seperti
itu. Secara representatif, anak kecil tersebut sedang mengidentifikasikan
dirinya sebagai penonton aktif –inilah salah satu keberhasilan OVJ menempatkan
jam tayang di waktu sahur dan waktu malam keluarga di bulan ramadhan kemarin,
2011- OVJ hingga lagu tersebut mampu melekat di pikirannya, cerita komedi di
Trans7.
Saya sangat khawatir terhadap
realitas seperti itu. OVJ bukanlah komedi yang layak bagi anak-anak. Sebenarnya
tidak layak pula bagi kita semua, tanpa batas usia. Sebelum lebih jauh, saya
akan paparkan sedikit perihal sejarah komedi.
Sejak zaman Yunani kuno
bentuk-bentuk potensi drama komedi sudah muncul serta menjadi bagian seni
klasik pada masa itu. Dalam perkembangannya, komedi merupakan salah satu aliran
drama (pementasan) teater. Dalam studi-studi literatur kesastraan maupun studi
seni pertunjukan, komedi diposisikan setara dengan tragedi, romance, dll.
Pada zaman sebelum pesatnya
perkembangan kapitalisme yang mengomersilkan serta mengaburkan nila-nilai seni
tertentu, komedi dijadikan sebagai media kritik terhadap penguasa. Kisah
ceritanya diangkat dari kehidupan latar sosial menengah ke bawah. Kemudian
pementasannya disajikan dengan kelucuan-kelucuan (lawak) atas realitas sosial
yang dianggap tidak sesuai terhadap kehidupan masyarakat menengah ke bawah.
Saya sepakat dengan pemaparan Hikmat Budiman (dalam tulisannya “Komedi,
Kritik!”), bahwa komedi berurusan dengan karakter, kelas, dan kehidupan yang
inferior.
Dalam tulisan ini akan jadi panjang,
jadi saya tidak akan memberikan periode komedi, hanya saja komedi mulai dikenal
secara luas dan universal melalui Shakespeare. Shakespeare dikenal sebagai
pelaku seni drama yang mengusung bentuk komedi-tragedi. Sejak dikenalnya
Shakespeare itulah komedian pun mendapatkan perhatian luas, meskipun sebelumnya
komedi jelas sudah ada tetapi kurang mendapat perhatian secara universal.
Pergeseran tatanan budaya global
berdampak pada makna komedi itu sendiri. Kini komedi tidak lagi dianggap
sebagai media kritik suatu kelas tertentu, melainkan suatu komoditas yang
dikemas dalam nuansa budaya pop yang disajikan melalui saluran-saluran
televisi.
OVJ, yang tampil dengan ikon Sule,
Azis, Nunung, Andre, dan Parto hanyalah sajian yang lawak pop yang jauh dari
nilai-nilai lawak pada masa Shakespear, bahkan pra Shakespear. Tampilan OVJ
disajikan bersama dua orang sinden serta pemain gamelan. Konsep yang diadopsi
dari pentas pewayangan itu secara mengejutkan pula sempat memenangi Panasonic
Gobel Award.
Azis tampil dengan karakter gagapnya.
Sule tampil dengan tampilan (gaya/lifestyle) uniknya yang menurut saya bak icon preman. Parto tampil dengan
karakter seorang dalang. Nunung tampil dengan keibuannya dan logat bicara
kedaerahannya. Sementara itu, Andre tampil dengan karakter santai. Ketika
semuanya telah tampil kita tidak akan melihat semua biasa-biasa saja dalam
standar lawakan.
Ciri utama lawakan OVJ adalah pemukulan-pemukulan
yang menggunakan styrofoam, penjorokan
(dorongan), hingga pelecehan tubuh. Di layar kaca televisi biasanya muncul
penjelasan bahwa adegan pemukulan atau benturan tidak menggunakan benda yang
keras. “Properti terbuat dari bahan lunak dan tidak berbahaya,” begitu biasanya
kalimat penjelas, yang sesungguhnya sama saja kalimat itu dengan kalimat apologize (meminta maaf kepada
penonton).
Sering kali seorang pemain memukul
pemain lainnya dengan styrofoam sebagai
bahan lawak. Dari pemukulan tersebut, kemudian penonton pun tertawa melihat
kesedihan dan kepedihan yang dialami pemain “korban” tadi. Selain pemukulan
dengan styrofoam, pemain pun sering
didorong hingga jatuh ke tumpukan styrofoam.
Lalu, pada saat jatuh itulah penonton tertawa –berdasarkan pengamatan saya,
penonton di rumah cenderung terpancing tawanya melalui adanya ‘penonton
bentukan’ di dalam layar kaca atau di studio- hingga menganggap bahwa kekerasan
adalah lawak.
Pada episode yang bertajuk “Hantu Jalan
Tol” misalnya, 2 Februari 2012, Ramzy sebagai pemain bintang tamu, saat
melakukan adegan sembunyi, dijorok (didorong) oleh Andre. Spontan Ramzy pun
tergeletak dengan kondisi styrofoam
berantakan. Di sana posisi Ramzy selayaknya korban pun mendapatkan tawa dari
penonton yang ada di dalam studio, yang sudah pasti kebanyakan penonton di
rumah pun ikut tertawa. Apalagi para pemain yang ada di panggung, seperti
Parto, Azis, Sule, dan Nycta Gina Jengkelin yang menjadi titik sorot kamera
ikut tertawa. Adegan yang tergolong sebagai pemancing tawa penonton seperti ini
sudah biasa, dan seperti saya katakan tadi menjadi ciri, terjadi di OVJ show.
Pun model ini terjadi pada episode teranyar, “Seiring Sejalan Kisah Soes Plus”
(7 Maret 2012).
Lebih ironi lagi ialah pelecehan tubuh
yang dianggap buruk justru jadi pemancing lawak. Misalnya, pada episode yang
sama (“Hantu Jalan Tol”), pun seperti yang terjadi pada tiap episodenya,
pelecehan tubuh Nunung yang gemuk dan hidung Sule yang pesek itu dijadikan
bahan tawa atau pemancing tawa. Perlu kita ketahui, bahwa bahan tawa seperti
itu sama saja menertawakan “pihak” yang menciptakannya sebab orang yang
ditertawakan tidak memiliki kuasa untuk memperbaiki bentuk tubuhnya selayaknya
bentuk tubuh ideal di mata umum.
Dengan bentuk komedi seperti itu
penonton diajak, selayaknya adigum yang sudah umum, yakni “tertawa di atas
penderitaan orang lain”. Saya kadang merasa tidak nyaman melihat adegan-adegan
seperti itu, karena hal itu akan berpengaruh terhadap pembentukan mental empati
secara enviromentalisme. Tontonan yang dilakukan berulang-ulang akan
memengaruhi kepribadian, dan juga berpengaruh terhadap bagaimana kita
menghadapi manusia-manusia ‘korban’ di dalam kehidupan nyata. Sadar atau tidak,
kita sebagai penonton telah terkonstruksi terhadap cara memandang seorang
‘korban’. Kita diajak menertawakan korban.
Skinner, salah satu tokoh psikologi
berpengaruh dalam kajian-kajian sosial, memaparkan bahwa kepribadian seseorang
itu dibentuk oleh lingkungan. Kondisi masyarakatnya, kondisi agama, kondisi
sekolah, kondisi sosial politik, dan termasuk kondisi budaya pop yang terwujud
dalam sajian televisi. Kondisi-kondisi yang disebut Skinner dengan “enviromentalism”.
Kondisi-kondisi itu akan memengaruhi perubahan seseorang, serta berpengaruh
terhadap pembentukan karakter seseorang. Termasuk dalam membentuk
potensi-potensi kekerasan di dalam diri.
Dari pola enviromentalisme kita akan
paham bahwa kekerasan dapat dibentuk oleh kondisi apa yang ada di
lingkungannya. Erich Fromm memaparkan, kekerasan ada pada tiap manusia.
Bentuknya berupa agresi (serangan) terhadap orang lain. Agresi dan narsis
adalah dua unsur kekerasan manusia. Keduanya berpotensi merusak relasi antar manusia
(istilah ala kapitalis sekarang:
merugikan orang lain).
Begitu pula halnya adegan-adegan di
dalam OVJ tadi, secara tidak sadar kita menyaksikan bentuk-bentuk kekerasan
yang dikemas dalam wujud lawak. Pemukulan yang menggunakan styrofoam merupakan wujud agresifitas. Pelecehan tubuh merupakan
wujud narsisme. Itu artinya, keduanya adalah bentuk kekerasan yang sedang
dipertontonkan kepada publik yang berdampak pada karakter penontonnya. Menonton
secara terus-menerus atau berulang-ulang akan memengaruhi sikap di dalam
kehidupan nyata dan memengaruhi bertambahnya potensi kekerasan di dalam diri.
Artinya, bila kita menertawakan bentuk kekerasan dan “korbannya”, maka kita
akan bersikap tanpa nilai-nilai manusiawi dan empati terhadap korban-korban
dalam kehidupan nyata seperti korban kecelakaan, korban kekerasan, dan korban
pelecehan tubuh.
Setelah memaparkan sedikit uraian
mengenai ‘perjalanan’ komedi di atas, tidaklah salah kalau kita tidak
membiasakan menyaksikan bentuk acara OVJ yang penyajiannya menghadirkan
‘penonton arahan’ atau ‘penonton bentukan’ demi memancing daya tawa penonton di
rumah. Bila kita melihat suatu adegan –menurut pandangan saya, secara umum
tayangan OVJ dibantu oleh penonton bentukan tadi untuk membantu adegan lawak
hingga penonton merasa adegan tersebut layak ditertawakan- yang tidak lucu,
kita akan bisa ikut tertawa karena terbawa (influence)
penonton di studio (dalam layar kaca televisi). Alasan utamanya, seperti yang
telah saya singgung di atas mengenai pengaruhnya terhadap kepribadian, ialah
dehumanisasi (istilah yang sering digunakan untuk memaknai perusakan
nilai-nilai kemanusiawian). Kebiasaan-kebiasaan menonton komedi seperti OVJ ini
justru tidak memberikan kesegaran bagi diri dengan cara tertawa yang puas,
melainkan tertawa di atas penderitaan orang lain, seperti sebuah kejahatan yang
kita saksikan dan justru kita menertawakan kejahatan tersebut.
Oleh karena itu, lebih baik membuat
lawakan-lawakan sendiri di dalam rumah terhadap anggota keluarga, kepada sesama
teman, maupun tetangga sesuai selera humor masing-masing tanpa tedeng aling-aling menyebarkan atau
menanam unsur kekerasan. Membuat lawak sendiri sesuai versi kelucuan kita
masing-masing jelas lebih segar dan tidak ada influence untuk tertawa dari penonton bayaran. Atau, lebih baik
lagi kita mengembalikan nilai-nilai lawakan pada zaman klasik yang berorientasi
pada penyindiran kepada penguasa, yang sifatnya jauh lebih kritis sebagai
masyarakat demokratis.
*awalnya tulisan ini tersiar dengan judul "OVJ dan Nilai-Nilai Kemanusiaan"
Siril aja lu..
ReplyDeleteMau gimana kek.. yg penting ga ngerugiin..
Kalo mau lu bikin post fage soal koruptor..
Jgn suka nyari kesalahan orang lain.
Dan jangan suka merasa diri sendiri paling benar.
Harap untuk instrospeksi diri gan.
Sudah benarkah Anda..??
Thanks