psikopat (foto: beritabuzz.blogspot.com) |
Psikopat.
Lu Xun dalam karyanya, Catatan Harian Orang Gila, menyinggung persoalan
kegilaan. Sesungguhnya siapa yang gila? Mereka yang lebih mengancam kehidupan orang
banyak atau mereka yang ada di pinggir jalanan dengan pakaian lusuh? Kira-kira
begitu makna kegilaan yang ada di dalam karya tersebut. Selain Lu Xun, Nikolay
Gogol juga bercerita orang gila dalam karyanya yang berjudul Catatan Orang
Gila. Di kisahkan dalam cerita itu bahwa seorang laki-laki mengalami gangguan
jiwa karena patah hati hingga frustasi.
Kedua cerita di atas
mari kita jadikan potret sementara. Potret kehidupan sosial kita yang ternyata
semakin gila ini. Sondang Hutagalung, satu contoh dari puncak kegilaan sosial,
telah berani membakar dirinya di depan Istana Negara pada Rabu (7/12) lalu.
Sondang Hutagalung bukanlah salah satu masyarakat yang tidak berpendidikan,
bukan pula tergolong masyarakat yang buruk ekonominya. Ia adalah salah satu
masyarakat yang kehidupan ekonominya tergolong di atas buruk.
Sondang dinyatakan
meninggal pada Sabtu sore. Luka bakar yang diderita cukup parah, sehingga
nyawanya sulit tertolong. Kematian Sondang kita maknai bahwa pembakaran diri
yang dilakukannya sendiri itu berdampak pada kematian.
Perlu kita amati dalam kasus
yang menjadi fenomena sosial ini. Pertama,
konteks tempat terjadinya pembakaran diri. Kedua,
konteks sosial-politik. Ketiga,
siapakah sosok Sondang?
Berkenaan konteks
tempat, Sondang memilih di depan Istana Negara untuk melakukan pembakaran diri.
Tempat yang menjadi pusat aktivitas orang nomor satu, strategis bagi pelaku
demo, salah satu pusat keramaian di Jakarta Pusat, dan langganan
pewarta/wartawan dalam mencari berita. Dengan begitu, fenomena itu akan cepat
sampai ke publik. Cepat pula meluas ke berbagai wilayah.
Konteks sosial-politik
saat ini sedang mengalami berbagai gejolak. Ricuh korupsi yang tidak kunjung
selesai, kemiskinan semakin meluas, IPM (Indeks Pembangunan Manusia) Indonesia
yang buruk, pergeseran budaya, dan tujuan bangsa tidak jelas. Itulah beberapa
tekanan sosial-politik yang berdampak pada tiap-tiap individu. Ada semacam
paradoks dalam sosial-politik kita saat ini. Misalnya, dinyatakan bahwa
pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perkembangan, tetapi IPM Indonesia
mengalami penurunan seperti dilansir United Nations Development Programme
(UNDP) baru-baru ini (11/11). Korupsi akan diperangi, tetapi faktanya kasus
korupsi yang merugikan negara sampai triliyunan pun tidak kunjung selesai.
Dampaknya pun terjadi pada Sondang, seorang aktivis, yang mampu memberikan daya
“gempur” atas tekanan sosial-politik saat ini.
Sosok Sondang adalah
sama seperti masyarakat lainnya. Hidup di tengah tekanan sosial-politik.
Pergolakan politik praktis tidak memberikan upaya untuk mengurangi tekanan, justru
semakin memperburuk suasana. Sondang merupakan salah satu mahasiswa, sedang
menjalani masa-masa akhir kuliah, yang mengalami dampak buruk situasi sosial,
dampak buruk politik, dan dampak buruk ekonomi. Imbasnya riil baginya adalah
biaya kuliah dan biaya hidup. Sondang mau tidak mau harus mengikuti percepatan
tradisi yang tingkat konsumsi masyarakat kita semakin tinggi, sehingga efek
ekonomis akan sangat terasa. Sondang jelas tidak sendiri, sebab kubangan ekonomi seperti itu pun dialami
indivdu-individu lainnya. Hidup di dalam percepatan ekonomi kapitalis serta
menandakan adanya masyarakat konsumtif. Seperti pernyataan Baudrillard (Masyarakat Konsumsi), bahwa konsumsi
adalah perilaku aktif dan kolektif juga suatu paksaan dan suatu moral. Kondisi
lingkungan tersebut berpotensi memberikan imaji-imaji solutif, seakan-akan
tiada cara lain keluar dari kubangan,
sehingga pilihan lain adalah merealisasikan imajinya.
Dalam situasi seperti
itulah fenomena pembakaran diri ini menyiratkan adanya individu lain yang mengalami
tekanan-tekanan sosial-politik. Sondang hanya satu di antara lainnya. Mungkin
akan muncul Sondang-Sondang lainnya, yang berani merealisasi imaji solutifnya
di depan umum (publik). Publik pun akan menilai bahwa itu gila.
Kembali pada awal
paparan, jika situasi seperti Sondang ini, siapakah yang sesungguhnya mengalami
kegilaan? Kegilaan jiwa itu psikopat. Kondisi pribadinya berpotensi merusak
(destruktif) dan mengganggu kehidupan orang banyak. Oleh karena itu, Sondang
bukan orang yang merusak dan mengganggu kehidupan orang banyak, melainkan
sebagai salah satu korban. Sondang tidak frustasi, tetapi frustasi itu ada di
luar Sondang.
Dengan demikian,
memaknai kematian Sondang bukan semata dari apa yang telah dilakukan dengan
mengorbankan nyawa tapi ada kefrustasian di luar Sondang yang perlu kita
pahami.
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.