ARTIKEL PINTASAN

Saturday, July 6, 2013

Fenomena Psikopat Sosial-Politik





psikopat (foto: beritabuzz.blogspot.com)
Psikopat. Lu Xun dalam karyanya, Catatan Harian Orang Gila, menyinggung persoalan kegilaan. Sesungguhnya siapa yang gila? Mereka yang lebih mengancam kehidupan orang banyak atau mereka yang ada di pinggir jalanan dengan pakaian lusuh? Kira-kira begitu makna kegilaan yang ada di dalam karya tersebut. Selain Lu Xun, Nikolay Gogol juga bercerita orang gila dalam karyanya yang berjudul Catatan Orang Gila. Di kisahkan dalam cerita itu bahwa seorang laki-laki mengalami gangguan jiwa karena patah hati hingga frustasi.
Kedua cerita di atas mari kita jadikan potret sementara. Potret kehidupan sosial kita yang ternyata semakin gila ini. Sondang Hutagalung, satu contoh dari puncak kegilaan sosial, telah berani membakar dirinya di depan Istana Negara pada Rabu (7/12) lalu. Sondang Hutagalung bukanlah salah satu masyarakat yang tidak berpendidikan, bukan pula tergolong masyarakat yang buruk ekonominya. Ia adalah salah satu masyarakat yang kehidupan ekonominya tergolong di atas buruk.
Sondang dinyatakan meninggal pada Sabtu sore. Luka bakar yang diderita cukup parah, sehingga nyawanya sulit tertolong. Kematian Sondang kita maknai bahwa pembakaran diri yang dilakukannya sendiri itu berdampak pada kematian.
Perlu kita amati dalam kasus yang menjadi fenomena sosial ini. Pertama, konteks tempat terjadinya pembakaran diri. Kedua, konteks sosial-politik. Ketiga, siapakah sosok Sondang?
Berkenaan konteks tempat, Sondang memilih di depan Istana Negara untuk melakukan pembakaran diri. Tempat yang menjadi pusat aktivitas orang nomor satu, strategis bagi pelaku demo, salah satu pusat keramaian di Jakarta Pusat, dan langganan pewarta/wartawan dalam mencari berita. Dengan begitu, fenomena itu akan cepat sampai ke publik. Cepat pula meluas ke berbagai wilayah.
Konteks sosial-politik saat ini sedang mengalami berbagai gejolak. Ricuh korupsi yang tidak kunjung selesai, kemiskinan semakin meluas, IPM (Indeks Pembangunan Manusia) Indonesia yang buruk, pergeseran budaya, dan tujuan bangsa tidak jelas. Itulah beberapa tekanan sosial-politik yang berdampak pada tiap-tiap individu. Ada semacam paradoks dalam sosial-politik kita saat ini. Misalnya, dinyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perkembangan, tetapi IPM Indonesia mengalami penurunan seperti dilansir United Nations Development Programme (UNDP) baru-baru ini (11/11). Korupsi akan diperangi, tetapi faktanya kasus korupsi yang merugikan negara sampai triliyunan pun tidak kunjung selesai. Dampaknya pun terjadi pada Sondang, seorang aktivis, yang mampu memberikan daya “gempur” atas tekanan sosial-politik saat ini.
Sosok Sondang adalah sama seperti masyarakat lainnya. Hidup di tengah tekanan sosial-politik. Pergolakan politik praktis tidak memberikan upaya untuk mengurangi tekanan, justru semakin memperburuk suasana. Sondang merupakan salah satu mahasiswa, sedang menjalani masa-masa akhir kuliah, yang mengalami dampak buruk situasi sosial, dampak buruk politik, dan dampak buruk ekonomi. Imbasnya riil baginya adalah biaya kuliah dan biaya hidup. Sondang mau tidak mau harus mengikuti percepatan tradisi yang tingkat konsumsi masyarakat kita semakin tinggi, sehingga efek ekonomis akan sangat terasa. Sondang jelas tidak sendiri, sebab kubangan ekonomi seperti itu pun dialami indivdu-individu lainnya. Hidup di dalam percepatan ekonomi kapitalis serta menandakan adanya masyarakat konsumtif. Seperti pernyataan Baudrillard (Masyarakat Konsumsi), bahwa konsumsi adalah perilaku aktif dan kolektif juga suatu paksaan dan suatu moral. Kondisi lingkungan tersebut berpotensi memberikan imaji-imaji solutif, seakan-akan tiada cara lain keluar dari kubangan, sehingga pilihan lain adalah merealisasikan imajinya.
Dalam situasi seperti itulah fenomena pembakaran diri ini menyiratkan adanya individu lain yang mengalami tekanan-tekanan sosial-politik. Sondang hanya satu di antara lainnya. Mungkin akan muncul Sondang-Sondang lainnya, yang berani merealisasi imaji solutifnya di depan umum (publik). Publik pun akan menilai bahwa itu gila.
Kembali pada awal paparan, jika situasi seperti Sondang ini, siapakah yang sesungguhnya mengalami kegilaan? Kegilaan jiwa itu psikopat. Kondisi pribadinya berpotensi merusak (destruktif) dan mengganggu kehidupan orang banyak. Oleh karena itu, Sondang bukan orang yang merusak dan mengganggu kehidupan orang banyak, melainkan sebagai salah satu korban. Sondang tidak frustasi, tetapi frustasi itu ada di luar Sondang.
Dengan demikian, memaknai kematian Sondang bukan semata dari apa yang telah dilakukan dengan mengorbankan nyawa tapi ada kefrustasian di luar Sondang yang perlu kita pahami.

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes