ARTIKEL PINTASAN

Saturday, June 29, 2013

Partai Politik seperti Pengusaha McDonald




foto: blogspot(dot)com
Hiruk pikuk partai politik, perpindahan politisi partai dari partai ini ke partai itu, pembersihan citra partai, hingga agenda-agenda partai pada tahun 2013 ini semakin meningkat. Tak jarang pula kepentingan-kepentingan partai direalisasikan melalui medium-medium yang disalahgunakan fungsinya. Fakta ini wajar, sebab tahun 2014 adalah tahun final perebutan kekuasaan, yang konon dianggap bentuk paling demokrasi di dalam penentuan penguasa negara.
Tahun 2013 dijadikan sebagai tahun fetisisme –suatu daya tarik dengan melupakan subtansi atau isi- oleh partai politik. Mereka (partai politik) berdandan sedemikian rupa. Mereka mempercantik diri ke media massa. Mereka memoles daya tarik semaksimal mungkin demi menarik daya pikat dari masyarakat. Masyarakat yang terpedaya fetisitas menjadi lupa makna hakiki dan lupa “tugas” partai politik.
Mereka membutuhkan ruang untuk menyampaikan pesona mereka. Di sanalah peran media massa, sebagai salah satu instrumen perwujudan negara demokrasi, “membantu” pemunculan fetisitas partai politik –bila media massa tidak cerdas dan tidak menjaga independensi, media massa akan “dibeli” untuk pemunculan fetisitas partai politik. Media massa yang cerdas ialah media massa yang tidak ikut-ikutan arus fetisisme partai politik semata.
Selain itu, tahun 2013 juga dipenuhi pemilihan kepala daerah (by vote). Sebelumnya, tahun 2012, masyarakat DKI Jakarta melakukan pemilihan gubernur. Sedangkan tahun ini, berbagai daerah telah dan akan melakukan pemilihan kepala daerah, seperti Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Timur, Makassar, dan daerah kabupaten. Mereka memanfaatkan kondisi pemilihan daerah ini sebagai momentum konsolidasi massa.
Tokoh sosial pascamodern Ritzer mendeskripsikan konteks sosial pascamodern tidak sebatas pertumbuhan mesin-mesin kapitalistis, melainkan juga sebagai masyarakat yang berada pada kubangan budaya massa. Bukan lagi sekadar produksi lalu muncul transaksi jual beli. Lebih dari itu, ada unsur efisiensi, kalkulabilitas, prediktabilitas, dan kontrol. Keempat unsur inilah yang menyusun konsep McDonaldisasinya Ritzer, yang diambil dari fenomena makanan siap saji asal Amerika tersebut, McDonald.
Kini McDonalisasi memengaruhi berbagai aspek kehidupan. Salah satunya ialah aspek kehidupan bernegara. Politisi, sebagai penggerak partai politik, kini menjalan proses McDonalisasi di dalam pemilihan umum.
Pertama, indikasi yang terlihat ialah pengusuangan kepala daerah yang telah terkenal luas. Keterkenalan diusung partai politik demi efisiensi. Apabila tanpa keterkenalan, langkah pemenangan menjadi sulit dan mahal, karena harus ekstra pembiayaan dan ekstra kampanye-informatif. Prinsip utamanya berkonsepsi pada kebutuhan pasar. Sosok yang dianggap “dibutuhkan pasar”, dengan mengabaikan kualitas, dengan mudah diusung partai politik.
Kedua, terkait efisiensi, partai politik tidak mengusung calon berdasarkan kualitas kepemimpinan calon, baik dari sisi ideologi maupun sisi kecakapan memimpin. Kuantitas (kuantifikasi) dianggap melebihi kualitas. Partai politik lebih mengutamakan hitung-hitungan suara melalui keterkenalan. Satu model yang cukup dikenal dalam pencapaian target ini ialah penghitungan statistik. Mereka (seakan-akan) tidak bertanggung jawab terhadap kuliatas calon, (seakan-akan) tidak memerhatikan kesesuaian ideologi calon dengan ideologi partai, dan (seakan-akan) tidak peduli pada kemampuan penyejahteraan rakyat. Targetan partai politik hanya berdasarkan hitung-hitungan suara, misalnya, bagaimana mereka mampu meraih 50 persen suara dari 200 juta jiwa lebih penduduk Indonesia.
Ketiga, perubahan berkala terus ditunjukkan partai politik dalam mengusung calon. Fenomena yang sangat menarik dari keterprediksian ini ialah pengusungan seniman populis Roma Irama sebagai calon presiden 2014. Beberapa partai telah menyatakan ketertarikan terhadap pengusungan Roma. Seniman populis yang menjadi calon pemimpin seperti itulah langkah keterprediksian. Mereka lebih memilih seniman populis demi pencapaian efisiensi dan pencapaian kalkulabilitas.
Keempat, ialah kontrol massa. Selain media massa wujud jurnalistik, media massa berbasis teknologi juga menjadi alat pengontrol massa. Misalnnya, media sosial Twitter, Facebook, dan Youtube. Era teknologi digital ini telah mengarahkan perhatian publik ke ranah maya, sehingga mereka mengikuti langkah ke mana perhatian massa itu bergerak.
Dari uraian ini, mereka seakan menjual McDonal (makanan) ke masyarakat, tentunya dengan logika penambahan nilai dalam sirkulasi kapital (added value). Mereka akan mencari modal yang banyak agar mampu memproduksi banyak McDonal. Pertanyaannya selanjutnya yang sulit dipahami publik ialah dari mana asal modal “pengusaha McDonal” tersebut?

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes