foto: blogspot(dot)com |
Hiruk pikuk partai politik, perpindahan
politisi partai dari partai ini ke partai itu, pembersihan citra partai, hingga
agenda-agenda partai pada tahun 2013 ini semakin meningkat. Tak jarang pula kepentingan-kepentingan
partai direalisasikan melalui medium-medium yang disalahgunakan fungsinya.
Fakta ini wajar, sebab tahun 2014 adalah tahun final perebutan kekuasaan, yang
konon dianggap bentuk paling demokrasi di dalam penentuan penguasa negara.
Tahun 2013 dijadikan sebagai tahun
fetisisme –suatu daya tarik dengan melupakan subtansi atau isi- oleh partai
politik. Mereka (partai politik) berdandan sedemikian rupa. Mereka mempercantik
diri ke media massa. Mereka memoles daya tarik semaksimal mungkin demi menarik
daya pikat dari masyarakat. Masyarakat yang terpedaya fetisitas menjadi lupa
makna hakiki dan lupa “tugas” partai politik.
Mereka membutuhkan ruang untuk
menyampaikan pesona mereka. Di sanalah peran media massa, sebagai salah satu
instrumen perwujudan negara demokrasi, “membantu” pemunculan fetisitas partai
politik –bila media massa tidak cerdas dan tidak menjaga independensi, media
massa akan “dibeli” untuk pemunculan fetisitas partai politik. Media massa yang
cerdas ialah media massa yang tidak ikut-ikutan arus fetisisme partai politik
semata.
Selain itu, tahun 2013 juga dipenuhi
pemilihan kepala daerah (by vote).
Sebelumnya, tahun 2012, masyarakat DKI Jakarta melakukan pemilihan gubernur.
Sedangkan tahun ini, berbagai daerah telah dan akan melakukan pemilihan kepala
daerah, seperti Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Timur, Makassar, dan daerah
kabupaten. Mereka memanfaatkan kondisi pemilihan daerah ini sebagai momentum
konsolidasi massa.
Tokoh sosial pascamodern Ritzer
mendeskripsikan konteks sosial pascamodern tidak sebatas pertumbuhan
mesin-mesin kapitalistis, melainkan juga sebagai masyarakat yang berada pada
kubangan budaya massa. Bukan lagi sekadar produksi lalu muncul transaksi jual
beli. Lebih dari itu, ada unsur efisiensi, kalkulabilitas, prediktabilitas, dan
kontrol. Keempat unsur inilah yang menyusun konsep McDonaldisasinya Ritzer,
yang diambil dari fenomena makanan siap saji asal Amerika tersebut, McDonald.
Kini McDonalisasi memengaruhi berbagai
aspek kehidupan. Salah satunya ialah aspek kehidupan bernegara. Politisi,
sebagai penggerak partai politik, kini menjalan proses McDonalisasi di dalam
pemilihan umum.
Pertama,
indikasi yang terlihat ialah pengusuangan kepala daerah yang telah terkenal
luas. Keterkenalan diusung partai politik demi efisiensi. Apabila tanpa
keterkenalan, langkah pemenangan menjadi sulit dan mahal, karena harus ekstra
pembiayaan dan ekstra kampanye-informatif. Prinsip utamanya berkonsepsi pada
kebutuhan pasar. Sosok yang dianggap “dibutuhkan pasar”, dengan mengabaikan
kualitas, dengan mudah diusung partai politik.
Kedua,
terkait efisiensi, partai politik tidak mengusung calon berdasarkan kualitas
kepemimpinan calon, baik dari sisi ideologi maupun sisi kecakapan memimpin.
Kuantitas (kuantifikasi) dianggap melebihi kualitas. Partai politik lebih
mengutamakan hitung-hitungan suara melalui keterkenalan. Satu model yang cukup
dikenal dalam pencapaian target ini ialah penghitungan statistik. Mereka
(seakan-akan) tidak bertanggung jawab terhadap kuliatas calon, (seakan-akan)
tidak memerhatikan kesesuaian ideologi calon dengan ideologi partai, dan
(seakan-akan) tidak peduli pada kemampuan penyejahteraan rakyat. Targetan
partai politik hanya berdasarkan hitung-hitungan suara, misalnya, bagaimana
mereka mampu meraih 50 persen suara dari 200 juta jiwa lebih penduduk
Indonesia.
Ketiga,
perubahan berkala terus ditunjukkan partai politik dalam mengusung calon.
Fenomena yang sangat menarik dari keterprediksian ini ialah pengusungan seniman
populis Roma Irama sebagai calon presiden 2014. Beberapa partai telah
menyatakan ketertarikan terhadap pengusungan Roma. Seniman populis yang menjadi
calon pemimpin seperti itulah langkah keterprediksian. Mereka lebih memilih
seniman populis demi pencapaian efisiensi dan pencapaian kalkulabilitas.
Keempat,
ialah kontrol massa. Selain media massa wujud jurnalistik, media massa berbasis
teknologi juga menjadi alat pengontrol massa. Misalnnya, media sosial Twitter,
Facebook, dan Youtube. Era teknologi digital ini telah mengarahkan perhatian
publik ke ranah maya, sehingga mereka mengikuti langkah ke mana perhatian massa
itu bergerak.
Dari uraian ini, mereka seakan menjual
McDonal (makanan) ke masyarakat, tentunya dengan logika penambahan nilai dalam
sirkulasi kapital (added value).
Mereka akan mencari modal yang banyak agar mampu memproduksi banyak McDonal.
Pertanyaannya selanjutnya yang sulit dipahami publik ialah dari mana asal modal
“pengusaha McDonal” tersebut?
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.