ARTIKEL PINTASAN

Thursday, June 27, 2013

Bahasa sebagai Identitas Pribadi

ilustrasi (foto: wordpress)
Dalam pidatonya yang digelar di Cikeas pada Kamis 15 Agustus (2012) kemarin, Presiden SBY melontarkan kalimat orang yang suka memainkan kebenaran itu sama saja suka memainkan Tuhan. Selain kerancuan logika yang digunakan Pemimpin Indonesia itu, bahasanya juga rancu. Padahal, kecerdasan seseorag itu dapat terlihat dari tata bahasanya, bahasa adalah identitas.
           Bahasa bukan hanya identitas budaya, melainkan lebih dari batasan budaya itu. Bahasa dapat menjadi identitas seseorang. Pun bahasa dapat menjadi media penilaian atau menelisik bagaimana cara berpikir seseorang. Bahasa seseorang menjadi identitas pribadinya.
            Seseorang yang sering menggunakan diksi-diksi kotor menandakan bahwa pikirannya dipenuhi imaji (berpikir) kotor, sehingga dapat dinyatakan bahwa orang tersebut bersifat emosional yang fluktuatif. Seseorang yang sering menggunakan diksi-diksi vulgar menandakan bahwa pikirannya dipenuhi imaji (berpikir) vulgar.
            Seseorang yang mengeluarkan bahasa dengan tata bahasa yang acak-acakan menandakan bahwa cara berpikirnya masih acak-acakan. Contohnya ialah anak remaja yang sering menggunakan bahasa slang atau bahasa alay, “aQ j3mpuT km eea” atau “ke siapa gw kasih bukunya.”
            Cobalah, sekali lagi, perhatikan kalimat berikut orang yang suka memainkan kebenaran itu sama saja suka memainkan Tuhan. Dalam konteks berpidato, situasi resmi dan diakses publik luas (baik dalam negeri maupun luar negeri), penutur kalimat ini sangat diragukan sistematika berpikir dan logika berpikirnya –bagi seorang presiden, bisa saja pidatonya berasal dari ajudannya. Logika berpikirnya, mengapa persoalan kebenaran yang ada pada manusia itu “dipaksakan” kesetaraannya dengan kebenaran Tuhan? Perihal Tuhan itu metafisis, berbeda dengan kebenaran yang ada di dalam tata negara yang dapat ditelisik unsur kebenarannya secara obyektif atau dipersoalkan di dalam ranah hukum kenegaraan.
            Lalu, coba tengok tata bahasa yang digunakan. Diksi yang digunakan ialah suka, orang yang suka. Permasalahan kebenaran itu disandingkan dengan kegemaran, dan pelecehan terhadap Tuhan itu disandingkan dengan kegemaran pula. Kalimat itu sepola dengan Tono suka memainkan Tuti. Maksud atau kepetapan dari kalimat itu ialah orang yang sering memainkan kebenaran itu sama saja sering memainkan Tuhan.
            Selain diksi suka yang tidak tepat tersebut, penggunaan kata memainkan pun tidak tepat. Kata dasar me- kemudian diikuti kata dasar (verba) yang diimbuhi –kan bermakna “melakukan untuk orang lain.” Contohnya, melemparkan, memukulkan, dsb. Bila maksud kalimat orang yang suka memainkan kebenaran itu sama saja suka memainkan Tuhan ialah bermaksud menunjuk atau mengarah pada orang yang berbuat atau subjek (dalam hal ini, orang yang dituju ialah Antasari), jelaslah kalimat ini salah.

            Jadi jelaslah bahwa pidato yang berisi atau bermutu berasal dari orang yang bermutu pula. Setiap kata yang kita lontarkan akan menjadi bahan telisik orang lain dalam menelisik cara (sistematika) berpikir kita. Oleh karena itu, bersikap cerdaslah dalam berbahasa, apalagi bila kita sebagai figur publik. Figur publik yang cerdas akan memengaruhi publik menjadi cerdas pula, dan sebaliknya.

-Agustus, 2012-

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes