ilustrasi (foto: wordpress) |
Dalam pidatonya yang
digelar di Cikeas pada Kamis 15 Agustus (2012) kemarin, Presiden SBY
melontarkan kalimat orang yang suka
memainkan kebenaran itu sama saja suka memainkan Tuhan. Selain kerancuan
logika yang digunakan Pemimpin Indonesia itu, bahasanya juga rancu. Padahal,
kecerdasan seseorag itu dapat terlihat dari tata bahasanya, bahasa adalah
identitas.
Bahasa
bukan hanya identitas budaya, melainkan lebih dari batasan budaya itu. Bahasa
dapat menjadi identitas seseorang. Pun bahasa dapat menjadi media penilaian
atau menelisik bagaimana cara berpikir seseorang. Bahasa seseorang menjadi
identitas pribadinya.
Seseorang
yang sering menggunakan diksi-diksi kotor menandakan bahwa pikirannya dipenuhi
imaji (berpikir) kotor, sehingga dapat dinyatakan bahwa orang tersebut bersifat
emosional yang fluktuatif. Seseorang yang sering menggunakan diksi-diksi vulgar menandakan bahwa pikirannya dipenuhi imaji (berpikir) vulgar.
Seseorang
yang mengeluarkan bahasa dengan tata bahasa yang acak-acakan menandakan bahwa
cara berpikirnya masih acak-acakan. Contohnya ialah anak remaja yang sering
menggunakan bahasa slang atau bahasa alay, “aQ j3mpuT km eea” atau “ke siapa gw
kasih bukunya.”
Cobalah,
sekali lagi, perhatikan kalimat berikut orang
yang suka memainkan kebenaran itu sama saja suka memainkan Tuhan. Dalam
konteks berpidato, situasi resmi dan diakses publik luas (baik dalam negeri
maupun luar negeri), penutur kalimat ini sangat diragukan sistematika berpikir
dan logika berpikirnya –bagi seorang presiden, bisa saja pidatonya berasal dari
ajudannya. Logika berpikirnya, mengapa persoalan kebenaran yang ada pada manusia
itu “dipaksakan” kesetaraannya dengan kebenaran Tuhan? Perihal Tuhan itu
metafisis, berbeda dengan kebenaran yang ada di dalam tata negara yang dapat
ditelisik unsur kebenarannya secara obyektif atau dipersoalkan di dalam ranah
hukum kenegaraan.
Lalu,
coba tengok tata bahasa yang digunakan. Diksi yang digunakan ialah suka, orang yang suka. Permasalahan kebenaran itu disandingkan dengan
kegemaran, dan pelecehan terhadap Tuhan itu disandingkan dengan kegemaran pula.
Kalimat itu sepola dengan Tono suka memainkan
Tuti. Maksud atau kepetapan dari kalimat itu ialah orang yang sering memainkan kebenaran itu sama saja sering memainkan
Tuhan.
Selain
diksi suka yang tidak tepat tersebut, penggunaan kata memainkan pun tidak
tepat. Kata dasar me- kemudian diikuti
kata dasar (verba) yang diimbuhi –kan
bermakna “melakukan untuk orang lain.” Contohnya, melemparkan, memukulkan,
dsb. Bila maksud kalimat orang yang suka
memainkan kebenaran itu sama saja suka memainkan Tuhan ialah bermaksud
menunjuk atau mengarah pada orang yang berbuat atau subjek (dalam hal ini,
orang yang dituju ialah Antasari), jelaslah kalimat ini salah.
Jadi
jelaslah bahwa pidato yang berisi atau bermutu berasal dari orang yang bermutu
pula. Setiap kata yang kita lontarkan akan menjadi bahan telisik orang lain
dalam menelisik cara (sistematika) berpikir kita. Oleh karena itu, bersikap
cerdaslah dalam berbahasa, apalagi bila kita sebagai figur publik. Figur publik
yang cerdas akan memengaruhi publik menjadi cerdas pula, dan sebaliknya.
-Agustus, 2012-
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.