Pernah dengar lagu-lagu berlirik “uang”?
Jessie J, artis ternama yang belakangan digandrungi anak muda, melantukan lagu
berjudul “Money Money Money”. Di Indonesia ada tokoh kontroversi Rhoma Irama,
yang melantunkan lagu berjudul “Uang”. Perempuan cantik Nicky Astria juga
memiliki lagu berjudul “Uang”.
Uang menjadi segala-galanya di
dalam sistem kapitalisme saat ini. Maman Suherman pernah mengungkap cara pintas
menjadi kaya melalui kongkalikong dengan wartawan. Intinya, sebara besar Anda
sediakan uang untuk wartawan. Mengikuti tulisan Bonnie Tryana dalam ruang laman
yang dibangunnya, Historia Online,
Michael Sarde, seorang profesor asal kampus elite Harvard University,
menjelaskan bahwa dengan uang Anda tidak perlu lagi mengantre di loket-loket
karcis, tidak perlu lagi mengantre pemeriksaan di rumah sakit (RS), tidak perlu
lagi mengantre pendaftaran di sekolah-sekolah. Semua itu dapat diatasi dengan
seberapa banyak Anda memberi uang.
Cobalah tengok niat ikhlasnya Jay
Ali Muhammad, yang juga bilang “Money Follows Fame” dalam tulisannya itu, pria
asal Kota Udang yang gemar menulis puisi dan mengkritik penulis puisi. Dia
pernah menulis begini:
Saya ingin punya buku banyak seperti perpustakaan pribadi Fadli Zon atau
Keith Richard. Koleksi yang baik dari penulis besar seperti Marx, Ibn Taimiyah,
Pramoedya Ananta Toer, bundel National Geographic, Kuntowijoyo, Imam Nawwi ada
seluruhnya. lengkap. Tapi itu semua butuh uang untuk membelinya bukan?
Seberapa kuat uang membunuh niat
manusiawi? Webber pernah mengutarakan, zaman modern dengan sistem kapitalisme
ini merupakan zaman yang paling rasional. Dia menjelaskan, kehidupan
pluralitas-universalitas ini. Kelompok A punya kemauan ini. Kelompok B punya
kemauan itu. Kelompok C punya kemauan ini itu. Apabila kemauan itu terealisasi,
sudah barang tentu resikonya harus bersaing, berebut, bahkan saling membunuh. Untuk
meniadakan persaingan “keras” itu, harus terbatasi lewat suatu medio. Itulah yang
digunakan manusia sekarang, uang.
Logikanya, kelompok yang menang
tadi akan “membunuh” kelompok lainnya. Tidak sedikit manusia yang mati
kelaparan akibat keserakahan manusia lainnya. Tidak sedikit manusia yang
berdarah-darah akibat kekejian manusia lainnya. Tidak sedikit pula orang berutang
di warung-warung makan akibat tingginya hasrat orang lainnya yang bersikap
hedonisme (over konsumption). Coba
tengok di warung-warung dekat pangkalan ojek, seberapa sedikit tabungan utang
di sana. Seperti cerita seorang wartawan koran berlogo kepala burung sekaligus
penyair asal Makassar Ichsan Amin, utang-utang di seputaran kantornya dianggap
sebagai dosa. Apabila Anda membayar utang, maka Anda terlepas dari dosa.
Jauh sebelum Eyang Adam Smith
mencetuskan ide liberalisme ekonomi, pola pertukaran melalui uang sudah ada. Sebelum
abad pertengahan, di Timur Tengah sudah menggunakan uang. Kemudian diperkuat
secara hegemonik lewat narasi akademiknya Eyang Adam Smith itu.
Turunan logika uang ialah saling
membunuh. Bukan sepenuhnya politisi yang salah apabila mereka menggunakan money
politic. Tidak sepenuhnya politikus itu salah apabila mereka bertindak
koruptif. Mbah Karl Marx tidak menuduh ketololan Adam Smith, melainkan kritisi
teori-teori kapitalisme. Menyangkal narasi-narasi liberalisme ekonomi.
Apabila kita menuduh orang-orang
kapitalis, maka kita menuduh orangtua mereka. Sebab, orangtua merekalah yang membentuk
kepribadian dan sistem berpikir sejak dini. Sejak kecil orangtua mendidik
anaknya melalui pemanjaan uang. Balitanya menangis, misalnya, lalu uang jadi
obat tangisan itu. Anak kecil yang minta ini minta itu, untuk mempermudah, acapkali
diberi uang oleh orangtuanya. Apabila anak-anak seperti itu telah dewasa, maka
daya semangat meraup uang (value) semakin besar. Berbeda halnya dengan
narasi-narasi orang-orang yang jarang diberi uang sejak kecil oleh orangtuanya.
Saat dewasa akan sulit meraup uang, dan lebih memilih pada hal-hal lainnya,
kesenangan rohaniah misalnya.
Gramsci pernah mengingatkan, uang dapat menempatkan pikiranmu menjadi budak.
uang bisa membunuhmu bila ia kau memasukkan ke dalam hatimu. Uang hanya sarana, maka jangan perlakukan ia lebih dari itu.
ReplyDeleteIndustri perbankan, sebagai instrumen kapitalisme, kemudian memang menjadikan uang sebagai benda koleksi untuk ditumpuk sebanyak-banyaknya, menjeratmu.