ARTIKEL PINTASAN

Tuesday, April 3, 2012

Jenah

Jenah

Hamparan padi nan luas, hijau, dan irigasi lancar. Baru saja gerombolan Nica (Netherland Indies Civil Administration) –pemerintahan sipil orang Belanda- barang sebentar mengobrak-abrik kawasan Bekasi. Di Bekasi Nica sempat ‘duduk’, meski tak terhitung lama selayaknya tragedi-tragedi yang di kawasan lainnya seperti Bandung (Bandung Lautan Api). Prajurit Beruang Merah mampu mengeluarkan orang-orang Nica itu. Bekasi pun jadi kondusif. Lebih tepatnya, kondusif yang berupa masa transisi. Paling tidak, situasi kondusifnya mampu membuat warga Bekasi mengurusi kembali sawah-sawahnya. Menjadi sawah yang terurus.

Di sanalah, situasi Bekasi yang baru kondusif tadi, Pramoedya Anata Toer mulai meletakkan dasar ceritanya. Bermula dari sawah bersama bapaknya, Jenah melewati persawahan sehabis membantu bapaknya mengolah sawah. “Pastilah panen yang akan datang boleh diharapkan hasilnya dan hidup kita tidak kalangkabut seperti beberapa bulan yang lalu,” begitulah pikiran Jenah.

Jenah dihadirkan tanpa deskripsi kecantikan. Tidak ada deskripsi –apalagi narasi- tentang warna kulitnya. Tidak ada deskripsi pancaindera secara detail yang dimetaforkan seperti entah apa saja untuk dapat menggambarkan keindahan. Bukan seperti kecantikan yang mudah kita pahami saat ini yang berasal dari deskripsi media-media publik (iklan, televisi, radio, dsb).

Kecantikan di media itu ditunjukkan dengan warna kulit putih, mata lentik, pinggul tidak lebar, langsing, dan lemah lembut –kita mungkin bertanya, sesungguhnya apa relasi kecantikan bagi kepuasan (laki-laki)- yang salah satunya diasosiasikan terhadap kepuasan seks. Kecantikan di media-media massa kini cuma seonggok pornografi kecantikan1. Artinya, dengan pendeskripsian umum agar memunculkan definisi kecantikan, kepuasan seakan-akan dapat didefinisikan secara universal. Padahal, pendefinisian kecantikan hanyalah bersifat aporia.

Jenah hanyalah gadis kampung, yang bisa dikatakan, penurut pada orang tuanya. Penurut di sini bukan berarti Jenah seakan-akan menjadi individu yang tersubordinatkan, tidak mampu berbuat apa-apa, atau tidak berani berbicara. Tidak ada bentuk-bentuk perlawanan, termasuk dalam batinnya.

Batalyon Beruang Merah –melawan penjajah- hadir di tengah-tengah kampung Jenah, yang telah berjasa menjadi pahlawan, melindungi, dan menghargai penduduk kampung. Para pengusir penjajah itu dikagumi Jenah, kagum yang berpotensi jadi cinta, selayaknya gadis-gadis kampung lainnya, bukan karena tampangnya yang tampan, melainkan karena pahlawan-pahlawan itu digambarkan mampu melindungi bangsanya dari kemungkinan-kemungkinan buruk maupun kemungkinan-kemungkinan kejahatan sosial (konteks waktu itu ialah penjajah). Mereka jatuh hati bukan karena rupa, kekayaan atau ancaman senjata, melainkan karena mereka itu boleh disebut pahlawan kebangsaan sejati, begitu paparan Pram dalam narasinya. Sesungguhnya itu pun akan berlaku bagi diri mereka, melindungi mereka dari kemungkinan-kemungkinan kejahatan sosial sehingga akan merasa aman dan nyaman.

Para pahlawan dari Beruang Merah pun singgah ke rumah Jenah. Semakin dekatlah harapan Jenah, dengan kekagumannya, untuk lebih leluasa memerhatikan pahlawan dari Beruang Merah. Di saat ayahnya memerintahkan untuk menyuguhkan segelas air kepada prajurit, Jenah sesungguhnya bangga. Bangga karena mampu memberi air, dan mampu bertatap dengan dekat. Ia gadis, hanya gadis Bekasi, gadis kampung belaka. Gadis Bekasi cinta pada prajurit dari Batalyon Beruang Merah, begitulah narasi Pram. Meski pada akhirnya, Jenah tidak ditunjukkan mampu menyatakan perasaan kagum maupun cinta itu.

Setidaknya Pram, dalam cerpen “Gadis Bekasi” ini, dengan tokoh utama Jenah, tidak membentuk tokoh yang pseudoseksual2 atau tokoh yang fanatik kecantikan dalam berbagai ceritanya. Apalagi menjadikan pseudoseksual sebagai estetika cerita. Dapatlah dipahami, bahwa Pram bukanlah sosok penulis karya sastra yang senang memperkosa tokohnya melalui penggambaran-kecantikan, sebab ada hal yang lebih penting dan lebih estetis dalam penceritaan baginya.

(tulisan ini kontribusi untuk majalah elektronik Narodnik #2)

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes