ARTIKEL PINTASAN

Tuesday, April 3, 2012

Mengungkap Keberanian Melalui Dialog Filsuf


Mengungkap Keberanian Melalui Dialog Filsuf



Judul Buku : Mari Berbincang Bersama Platon: Keberanian (Lakhes)

Judul Asli Yunani: Platon


Penerjemah : A. Setyo Wibowo
Penerbit : iPublishing

Cetakan Pertama: September 2011
Tebal : 220 halaman

Mungkin pernyataan berikut tidak asing lagi bagi kita. “Takutlah pada takut itu sendiri” dan “ketakutan hanya membunuh potensi di dalam diri.” Sudah tidak asing bagi kita karena keduanya, selain berasal dari tokoh yang cukup dikenal luas, merupakan tema yang sepele tetapi akan selalu aktual dari masa ke masa.

Kita bisa lihat bagaimana seseorang tidak akan jadi apa-apa dengan rasa ketakutannya. Pembunuh tidak akan jadi seorang pembunuh bila tanpa keberanian. Seorang suami tidak akan berselingkuh tanpa ada


Tidak salah bila A. Setyo Wibowo menganggap tema keberanian (harus) diangkat ke dalam sebuah buku yang diterjemahkannya dari percakapan Platon yang ditunjukkan melalui figur Nikeas dan Lakhes. Meski di satu sisi, tema keberanian, merupakan tema yang sepele dibandingkan dengan tema-tema penting lainnya seperti kekerasan, keadilan, kesejahteraan, dan sebagainya. Bahkan, tidak hanya kesepeleannya, kini tema keberanian telah kehilangan ‘sakralitas’ karena dibentuk secara populis melalui bentuk-bentuk motivasi (oleh motivator) seperti di layar-layar televisi kita.
keberanian. Sondang Hutagalung tidak akan membakar diri di depan Istana Negara tanpa keberanian. Nazaruddin tidak akan mampu membongkar korupsi keroyokan yang dilakukannya tanpa ada keberanian. Begitulah keberanian selalu ada bagi siapa saja yang ingin menggunakannya di mana saja dan kapan saja.

Buku yang berjudul Mari Berbincang Bersama Platon: Keberanian (Lakhes) bukan tentang keberanian yang secara kognitif saat ini dipahami sebagai unsur motivasi seperti apa yang diuraikan oleh motivator-motivator pop saat ini. Kita tidak akan menemui apa itu motivasi, tidak menemui apa itu manusia baik, dan sebagainya. Buku ini diterjemahkan oleh Setyo dari teks dialog yang berjudul Platon. Namun, proses penerjemahnnya dilakukan oleh Setyo tidak berasal dari teks aslinya, Yunani, melainkan dari teks yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sehingga memungkinkan adanya ‘miss-link’ dalam aspek budaya, seperti persoalan penerjemahan pada umumnya. Proses penerjemahan bukan semata proses menerjemahkan teks atau bukan semata menerjemahkan bahasa, melainkan juga sebagai linguistic hospitality (meminjam istilah Alois A. Nugroho) yang kompleks. Setyo memaparkan hal itu seperti berikut: Penulis mengikuti terjemahan yang sudah dibuat dalam teks Yunani-Inggris dari W. R. B. Lamb M.A. Plato: Laches, Protagoras, Meno, Euthydemus, The Loeb Classical Library, London: William Heinemann Ltd, edisi cetakan 1967 (hal. 83).

Lakhes (judul teks asli Yunani) adalah teks yang dihasilkan dari percakapan-percapakan (dialog) antara Lakhes, Nikias, Sokrates (filsuf yang sangat berpengaruh bagi filsuf-filsuf setelahnya seperti Hegel, Heideger, Nietzsche, Marx, Freud, hingga filsuf-filsuf postmodern), dan dua kaum awam. Dialog ini diperkirakan terjadi pada masa 418 SM kemudian ditulis oleh Platon semasa mudanya pada 399-387 SM. Kedua kaum awam tadi mengawali dialog dengan mempertanyakan persoalan mendidik anak kepada Lakhes dan Nukias, dan pada saat itu Sokrates berada di dalamnya yang mendampingi Lakes dan Nukias. Lebih lanjut, dialog pun mengalir membicarakan persoalan pendidikan, khususnya menanamkan pendidikan. Pendidikan dianggap sebagai medium keberanian anak-anak sebelum memasuki fase dewasa dalam menentukan kehidupannya, menentukan kebijakan-kebijakan, menentukan keputusan-keputusan secara mandiri. Seperti adigum “berani karena benar, takut karena salah” yang telah kita kenal sejak di bangku sekolah dasar, pendidikan dijadikan proses pemberian pengetahuan (logos) sehingga kelak dengan pengetahuan anak-anak akan menjadi berani.

Mudahnya, dari pokok buku ini kita akan memahami bagaimana pentingnya keberanian dikonstruksi ke dalam diri dan karakter anak. Pun keberanian dipandang secara filosofis, yang tentunya tidak akan pernah ada habisnya untuk diulas dan diperbincangkan dari masa ke masa dan dari individu ke individu. Jelas bahwa orang yang mengikatkan diri pada disiplin-disiplin semacam itu, maksudnya pelajaran-pelajaran dan latihan-latihan yang bernilai dan sangat terpuji untuk dipelajari dan dipraktekkan ... ia pasti memulainya dengan pelajaran sebagai titik pijaknya (dialog oleh Nikias hal. 92). Karena itu pula, akhir pembacaannya, di dalam buku tidak akan ditemukan titik definitif yang universal. Keberanian bukan universalitas, melainkan kontekstualitas. Keberanian bergantung pada konteks latar, situasi, kondisi, dan materi yang memengaruhi di luarnya (yang lain). Tidak ada definisi universal mengenai apa itu keberanian (aporia). Meski seakan-akan aporia tersebut hanya memberikan kesia-siaan, tetapi kita akan mendapati subtansi keberanian itu sendiri.

Alasan utama saya mengapa keberanian di sini berbeda dengan unsur motivasi dari motivator pop itu adalah (1) teks buku ini pada intinya fokus pada dialog-dialog Lakhes dan Nikias, dan (2) pembahasannya menitikberatkan pada persoalan filosofis. Dengan cara penyajian dialog-dialog –saya pahami secara naratologis dari segi dampak atas cara penyajian cerita- kita sebagai pembaca akan merasakan seperti berada di ruang dialog tersebut. Kita seakan-akan menjadi pendengar dialog yang mengulas persolan keberanian dan pendidikan secara langsung. Karena itulah, meski kita mendengarkan, bukan berarti kita sedang menghadapi ‘pidato’ motivasi yang ditujukan kepada pendengarnya (kita). Tentunya cara ini terkait dengan topik yang dibahas serta tema besarnya yang tidak memungkinkan untuk ditutup dengan suatu kesimpulan definitif yang universal. Definisi diakhirnya hanya aporia yang diserahkan kepada pendengarnya agar dapat menyesuaikan konteks diri masing-masing.

Pada akhirnya kita akan paham bagaimana pendidikan itu menjadi suatu cara meneguhkan kehikmatan kita untuk berbuat dengan ‘syarat’ logos yang kita pahami. Kita akan berani melakukan sesuatu dengan ‘syarat’ pemahaman kita terhadap logos (ilmu pengetahuan).

(resensi ini dimuat di harian Pikiran Rakyat)

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes