ARTIKEL PINTASAN

Monday, April 5, 2010

Mengedepankan Komunitas Film Independen

Mengedepankan Komunitas Film Independen




“Film bisa menceritakan kegelisahan kita sebagai anak muda.” Begitulah Riri Riza menegaskan, yang dimuat di sebuah buku berjudul A to Z About Indonesian Film oleh Ekky Imanjaya, tentang hubungan suatu film dengan anak muda.

Ada dua hal penting mengenai relevansi kutipan di atas dengan kondisi perfilman saat ini. Pertama, bahwa film-film yang beredar di masyarakat tidak lagi menggambarkan suatu kegelisahan. Kedua, anak muda sebagai sineas muda selayaknya menjadi garda terdepan dalam perkembangan perfilman Indonesia.

Peredaran film di bioskop-bioskop saat ini, maksudnya adalah filmnya, sangat mengkhawairkan. Kekhawatiran ini bisa saja menjadi titik awal kemunduran perfilman Indonesia, seperti tahun 90-an yang mengalami stagnasi pada tema. Sama halnya dengan tema-tema film yang beredar di bioskop-bioskop saat ini bertema horor, kisah-kisah picisan yang pop, dan bahkan tema-tema seksualitas. Lalu, menghubungkan dengan hal pertama di atas, apakah film-film seperti ini merupakan refleksi kegelisahan?

Menghasilkan film yang bermutu tinggi (berkualitas) dan bernilai astetik yang tinggi beserta sisi artifisialnya, yang berada pada tataran idealisme pencipta film, dalam hal ini adalah sineas muda, merupakan perkembangan perfilman Indonesia sebagai salah satu wujud persaingan yang akan dipertimbangkan isinya. Dengan mempertimbangkan kesejarahan perfilman, pertimbangan aspek sosial, dan estetik, bahkan kelayakan artifisialnya, maka dari itu perkembangan film Indonesia ada di tangan sineas muda kita. Melalui peringatan hari Film Nasional yang diadakan pada 30 Maret, sineas muda mulai merefleksikan situasi perfilman di Indonesia demi membangun kualitas dan standaritas film yang bermutu dalam peredaran sebuah film di masyarakat.

Bila kedua hal di atas dikaitkan dengan melihat potensi SDM (Sumber Daya Manusia), kurang tepat jika kita tidak memiliki SDM. Mengenai institusi pendidikan yang menangani bidang perfilman kita masih jauh tertinggal dibandingkan India yang memiliki 30 institusi pendidikan dan Filipina 7 institusi pendidikan. Meskipun pengetahuan sinematografi dan menganai hal pembuatan film yang berkualitas tidak harus berada di jalur formal, karena bisa saja kelompok-kelompok yang membidangi film mengadakan diskusi-diskusi, membentuk ruang-ruang seminar, maupun workshop mengenai film dan pembuatan film. Apalagi film-film yang diciptakan oleh komunitas-komunitas independen kini telah berkiprah di persaiangan internasional. Jumlah komunitas film independen ini pun tidak sedikit.

Industri film memang meredupkan kreatifitas kelompok independen tersebut. para pelaku industri film telah menguasai peredaran film-film di bioskop, hingga hasilnya kesempatan masuk ke publik yang lebih luas tidak didapati. Kadang memang sulit menegaskan komunitas independen harus ke ruang insdustri film, bersaing dengan industrial-industrial film yang telah mapan. Karena, tidak sedikit komunitas tersebut yang memiliki idealisme sehingga harus berdiri secara independen disebabkan tidak inginnya mereka bersentuhan dengan industri film yang beresiko pada pelunturan idealisme.

Dan, cara-cara komunitas independen seperti inilah seharusnya yang diapresiasi publik. Bukti nyata, film-film mereka telah mampu bersaing di kancah internasional. Idealisasi mereka pun tetap terjaga, bahkan kreatifitas yang diciptakan dalam membuat film jauh berbeda dengan film-film pasaran saat ini, baik dari segi tema, artifisial, maupun pesan atau nilai yang terkandung di dalamnya. Maka bukanlah hal yang tepat bila mengatakan film-film yang dihasilkan oleh mereka merupakan suatu hal alternatif, karena dengan mengatakan seperti itu berarti tidak ada pandangan yang menyetarakan dengan industrial-industrial yang telah mapan. Bahkan, dengan hal seperti itu seolah-olah film dari kreatifitas kelompok independen yang didominasi oleh sineas-sineas muda tersebut dinomorduakan daripada film-film yang beredar di bioskop-bioskop (layar lebar) yang dihasilkan oleh pelaku-pelaku film bertendensi industrialisasi perfilman.

Dengan situasi perfilman Indonesia seperti saat ini sineas muda yang berada di ruang komunitas independen harus mampu mengambil kesempatan dalam persaingan. Sejarah perfilman Indonesia pun telah menyiratkan kepada kita bahwa stagnasi perfilman akan muncul bila tema jauh dari kreatifitas, dan persinggungan dengan sosial yang diangkat melalui pesan dalam sebuah film tidak lagi mengisyaratkan kegelisahan sosial itu sendiri. hingga pada akhirnya film hanya menjadi nilai jual yang utuh tanpa pertimbangan artifisial sebuah film. Situasi sosial dan politik pun sebenarnya layak diangkat menjadi tema film disaat kekisruhan politik saat ini. Maka, yang kita butuhkan saat ini adalah kemunculan film-film hasil komunitas independen atau film-film yang estetis terhadap kehidupan sosial. Bukan hanya film-film berjenis hiburan semata yang harus “dipasarkan” ke masyarakat.







Fredy Wansyah
Mahasiswa Sastra Indonesia Unpad

Dimuat di Tribun Jabar (31 Maret 2010)

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes