ARTIKEL PINTASAN

Tuesday, March 23, 2010

Media Masa dan Munculnya Potensi Kekerasan Sosial





media massa (foto: blogspot)
Media Masa dan Munculnya Potensi Kekerasan Sosial


Oleh : Fredy Wansyah

Beberapa minggu belakangan ini wacana terorisme muncul di berbagai media masa, baik itu cetak maupun elektronik.

Penggerebekan oleh aparat terhadap teroris di Aceh dan termasuk penggerebekan yang menim bulkan kematian Dulmatin menjadi berita hangat. Di media cetak wacana ini menjadi headline. Sementara di media elektronik, seperti televisi, menjadi berita-berita terkini yang muncul dalam skala perjam.

Bila melihat metode pemberitaan yang frekuensinya tinggi hingga kontruksi, terlepas dari segi positif maupun negatif, ini akan mengakibatkan ingatan atau komposisi berpikir masyarakat konsumen wacana di media- lebih tinggi dibandingkan dengan wacana-wacana lainnya. Dan, penyeragaman wacana pun berdampak pada kehidupan sosial sesuai konteks industri wacana dalam industrialisasi media masa.

Televisi dan media cetak adalah penyalur wacana terbesar di dunia, apalagi melihat pola konsumerisme di Indonesia yang memudahkan pertumbuhan media cukup significan. Chris Barker menyatakan dalam bukunya, Cultural Studies, televisi adalah bagian dari prakondisi dan konstruksi selektif pengetahuan sosial, pembayangan sosial, yang kita gunakan untuk memersepsi dunia-dunia, realitas kehidupan orang lain, dan secara imajiner merekonstruksi hidup kita. Pandangan terhadap televisi tersebut tidak jauh beda dengan media cetak, yang mengakibatkan adanya rekontruksi sosial. Indikasinya terlihat dari opini-opini di masyarakat yang seragam dan mengacu kepada media masa (televisi dan cetak). Jadi, dengan munculnya wacana terorisme di media masa, opini-opini masyarakat pun berkembang sesuai pemilihan wacana yang dilakukan oleh pelaku industri wacana.

Secara sadar maupun tidak sadar, berkembangnya wacana terorisme akan menimbulkan dan membekas dalam pikiran masyarakat mengenai teror. Dunia teror merupakan salah satu bentuk kekerasan. Sementara teroris dapat digolongkan menjadi dua bagian berdasarkan konteks pelakunya, yakni teror society dan teror negara. Teror society dilakukan masyarakat terhadap suatu kelompok masyarakat itu sendiri. sedangkan teror negara merupakan teror yang dilakukan kelompok terhadap kenegaraan, yang cenderung mengusik kekuasaan.

Teror sebagai kekerasan yang diungkap di media masa justru menimbulkan pengetahuan masyarakat mengenai dunia teror, bagaimana teroris melakukan teror, seperti apa metode meneror, dan apa saja keperluan meneror, serta perangkat-perangkat teroris. Salah satu bentuk nyatanya adalah, sebelum adanya wacana terorisme di media masa kemungkinan terbesar masyarakat belum mengetahui seperti apa cara-cara kekerasan teroris. Subtansi dalam industri wacana adalah distribusi komoditi, dalam hal ini wacana, seluas-luasnya tanpa mengikat dan mempertimbangkan usia konsumen. Sehingga, yang terjadi adalah penyimpangan kelayakan konsumsi wacana. Wacana-wacana kekerasan yang seharusnya tidak dikonsumsi oleh anak-anak usia dini, namun karena hal tersebut mereka dengan mudahnya menerima dan mengonsumsi wacana yang diterima.

Pada skala usia inilah yang menjadi pemicu yang fatal atas distribusi wacana di media masa. Potensi kekerasan yang telah tertanam di benak anak-anak kemungkinan dapat teralisasi ketika usianya dan fisiknya telah mendukung. Sebab, dalam konteks pengarahan wacana dalam kehidupan masyarakat kita tidak disesuaikan dengan kondisi usia. Seorang anak kecil yang mengonsumsi wacana teroris tersimpan dalam benaknya, sementara pengarahan baik dan buruknya terhadap wacana yang diterima. Bebasnya seorang anak menginterpretasi wacana-wacana media masa itulah yang sangat dikhawatirkan akan muncul dan terealisasi dalam bentuk agresi-individu.

Selain dalam skala usia, yang sangat dikhawatirkan adalah pemilihan wacana serta intensitas penyebaran wacana. Semakin tinggi intensitas munculnya wacana teror, semakin besar pula kemungkinan berkembangnya paradigma teror. Maka, wajarlah bila seseorang mudah direkrut oleh teroris untuk masuk ke kelompok mereka sebagai penambah kekuatan masa dalam merusak atau agresifitas terhadap negara. Sebab tidak ada jaminan seseorang menerima wacana di media masa untuk menghindari sikap-sikap yang merugikan dalam kehidupan sosial.

Dalam hal ini perlu diadakannya kelembagaan dalam memantau wacana di media masa sebagai pengarahan konsumsi wacana, khususnya dalam perspektif usia. Namun, kelembagaan ini harus terlepas dengan ikatan kapitalis agar tidak mementingkan subtansi kelembagaan.*** 


dimuat di harian Analisa Medan

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes