ARTIKEL PINTASAN

Friday, July 10, 2009

Jatinangor - Pantai Kalapaan

Pantai Kalapaan

Suasana desa. Debu-debu saling kejar. Tetapi, padi-padi di sawah riang menari. Manusia sibuk dengan sibuknya sendiri, dengan sepeda, motor, dan jalan kaki. Lebih sering kulihat manusia di sini menggunakan motor, hingga debu semakin saling kejar.

Kata mereka, saat aku mendapati tepi pantai, waktu menunjukkan sekitar pukul empat sore. Entah dari mana waktu itu berasal. Sampai-sampai semua manusia terpengaruh. Hebat, manusia yang menciptakan waktu, sebab tak satu pun manusia saat ini melepaskan pengaruh waktu. Hidup dengan waktu, mati dengan waktu, bahkan bergerak dengan waktu. Setiap gerak adalah waktu. Ombak di depan sana pun melambai mengucapkan ‘selamat datang’ padaku dengan waktu.

Kadang, ingin aku menjadi ombak, ingin aku menjadi air laut, ingin aku menjadi nelayan itu, ingin aku menjadi matahari. Tapi, itu cuma cerminan aku sebagai manusia.

Angin sepoi-sepoi, yang seorang warga katakan ini adalah pantai Kalapaan desa Patimbang, mengelus-elus tubuhku. Sudah lama aku inginkan suasana ini. Sudah lama aku tak mendapatkan belaian, inilah angin pantai. Aku hirup angin pantai ini dengan sebatang rokok, padahal pemerintah sudah mengingatkan bahaya rokok, bahkan belakangan akan memberikan peringatan melalui gambar di bungkus rokok. Ah, tak peduli aku dengan itu, karena ini pantaiku, pantai milik semua. Duduk di atas batu-batu yang membatasi laut dengan daratan menjadi tempat istirahatku sementara, bersama tas sandang yang penuh.

Sudah. Kulalui kisah di bibir pantai itu. aku beranjak sedikit ke arah daratan, pada sebuah warung dengan plang di depannya ‘Sedia Ikan Bakar’. Akau pesan sepucuk kopi untuk kunikmati dengan mengarah ke lautan luas.

Baru beberapa menit aku hinggap di warung ini, keributan sudah terjadi. Ada apa? Mengapa? Tanya-tanya itu berduel dalam kepalaku.

Ternyata, sepasang belia melakukan mesum di sebuah joglo. Kata seorang yang kutanya, pasangan itu masih berusia 15 tahun dan 14 tahun. Ah, sudahlah. Toh mereka juga manusia. tak seharusnya mereka disalahkan. Hingga pemilik warung pun menyandera motor mereka. Konyol memang. Tapi, setelah bernego, akhirnya pemilik warung hanya menyandera ponsel genggam mereka, dengan alasan agar orang tua mereka datang menemui pemilik warung. Pemilik warung, ketika aku tanya, dia tak ingin warungnya dinodai. Dan, penyanderaan barang itu mengakhiri permasalahan. Pasangan belia pun pergi, tetapi wajah imut si gadis seperti terkurung dalam terali besi. Menangis tanpa berkaca-kaca.

Dan, malam menyambutku pula. Dengan alunan ombak. Siapa sangaka ombak laut masih berteriak? Ketika seabad ke depan, ombak pasti sudah marah.

Dengan sebatang pancing, aku menjadi teman laut pada malam hari. Hingga waktu menjelang subuh. Memancing, memancing, dan memancing di tengah malam. Layaknya pelacur menggembala di tepi jalan. Sambil menghabiskan rokok setengah bungkus, ketika itu, aku pegang ponsel genggam karena tak ingin kulewatkan waktuku dengan sepucuk daun. Tapi sayang, kekuatan energi ponselku tak bersahabat, terputus disaat pembicaraan lewat pesan belum usai. Ayam berkokok, petanda aku dan mang Ejo harus meninggalkan laut. Hanya beberapa ikan yang kami dapat. Dari hasil tanganku hanya seekor ikan, karena aku belum mahir memancing. Kata mang Ejo, memancing tak asal memancing. Dia mengajariku memancing, bahkan dia yang memiliki istri dua menyangkutkan cara memancing ikan dengan memancing perempuan. Kalau sudah terasa dipatok gertak saja sedikit, begitu kata mang Ejo menambahkan. Hentakan atau gertakan itu penting untuk memancing, begitu pula memancing perempuan. Begitulah yang kutangkap dari kata-kata mang Ejo. Sambil meninggalkan laut, aku berpikir bagaimana perempuan mematok?

Pagi dan kopi. Tak kuminta, kopi sudah tersedia. Sepertinya wajahku sudah tersurat bahwa aku adalah kopi. Aku, mang Ejo, dan seorang pemilik warung bercerita tentang desa Patimbang, khusunya warga pesisir pantai Kalapaan. Dimulai pembicaraan lelucon hingga serius.

Desa ini sedang mengalami masalah. Warga pesisir di sepanjang pantai tak memiliki kebebasan hidup. Mereka diikat dengan retribusi. Tindakan aparat pun semena-mena, Bahkan, tanda bukti pembayaran retribusi tidak pernah mereka dapatkan. Itulah salah satu pemicu keresahan warga pantai Kalapaan. Keresahan lainnya adalah uang-uang retribusi setiap rumah / warung di tepi pantai, uang portal (yang dimaksud uang portal adalah uang masuk setiap pengunjung, dengan minimal Rp.2.500,- per kepala), dan uang tahunan dari pemilik warung. “Dipikir-pikir kemana semua uang itu, mas?” Kata seorang pemilik warung kepadaku. Sejak pembenahan pantai Kalapaan tahun 2001, tak pernah terealisasi uang itu, begitu menurut pemilik warung. Janjinya akan membuat jalan menuju pantai dari jalan raya lebih baik. Tetapi, penantian perbaikan jalan oleh warga pantai tak pernah ada. Dan, seorang warga pun resah bila suatu saat nanti mereka akan diusir oleh pemerintah. “Seperti yang di tv-tv itu, mas” Kata seorang warga. Sebab, warga pesisir pantai hidup di tanah pemerintah, bukan tanah pribadi. “Saya gak punya tempat tinggal lagi kecuali di sini” Pemilik warung itu mengeluh. “Saya Cuma modal papan dan paku mendirikan rumah ini, tapi kan setidaknya saya tinggal di negara saya sendiri kan, mas” Tambahnya.

Dengan semangatnya mereka bercerita padaku. Tentang keluh kesah warga pesisir. Sudah sering mereka mendatangi kepala desa setempat, bahkan mereka telah melakukan unjuk rasa ke kecamatan, tapi hasilnya ‘nol’. Malah, belakangan mereka dimintai uang keamanan dari Kapolsek.

**********

Perjalanan ini kututup dengan sehelai daun..

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes