ARTIKEL PINTASAN

Friday, July 10, 2009

Jakarta - Jatinangor

Daun. Ya, dia kusebut daun. Terpaksa aku harus mengondisikan jadwal dari kerumunan, seperti semut yang beriring di atas tanah. Karena aku ingin menjadi batangnya. Dia membuat ‘status’ di dindingnya “Bingung weekend mau kemana”, kurang tambah seperti itulah.
Berawal dari kegiatanku, salah satunya adalah berdiskusi ‘Puisi’ di Langkah. Wahid, Ijul, dan beberapa yang lainnya mempercayakan aku untuk mengisi, maksudnya memandu diskusi itu. Usailah, usailah, usailah. Dalam hatiku geyal-geyol kata-kata itu saat diskusi, sebab aku ingin cepat beranjak untuk mengisi kegiatan lainnya. Malam-malam di sebuah kota Jakarta yang menurut temanku, Gemy Mohawk kota itu tak lagi banyak cinta, hingga dia ingin sirami Jakarta dengan cinta melalui puisi-puisinya. Ya, salah satunya adalah Gemy, dia menjadi pengisi acara untuk mengenang Marsinah. Sebelum aku beranjak, ku katakan pada si ‘kecil’ tapi tak sebanding dengan nyalinya, Alfa (Apa hubungannya dengan Alfamart?), “Kalau aku pacar Marsinah//aku banjiri Indonesia dengan spermaku”.
Tapi, sayang. Aku tak sempat mengisi acara untuk mengisi Marsinah itu. padahal mereka telah memberikan kepercayaan padaku sebagai pembaca puisi. Tibanya ditempat adalah kekecewaan pada bus. Bus itu yang membuat aku telat, memakan waktuku sampai tertinggal bijinya.
Ah, ah, ah, ah. Kubuat jalan sendiri antara hatiku dengan almarhum Marsinah. Maafkan aku sayang, begitu kata dalam hatiku. Aku tak mampu memberikan suaraku.
Malam adalah ketenanganku. Malam yang menidurkan mataku. Malam itu pun aku duduk di bawah patung kehormatan. Patung Indonesiais. Sampai nanti aku berbincang-bincang dengan pejuang baru. Pejuang yang tidak akan menjadi patung pada zamannya. Tak perlu mungkin kusebut namanya. Mereka tetap pejuang, bukan aktivis. Lalu, aku menyerahkan tubuhku kepada waktu, hingga nanti mengeluarkan matahari.
Ya, tak salah aku berpikir seperti itu. Kubelalakkan mata, matahari keluar. Entah siapa dokter yang membantu mengeluarkannya. Pastinya, kehadirannya adalah kehidupan. Kehidupan bagi mahluk hidup. Harapan bagi matahari itu sendiri.
Siang menjadi hujan. Apakah ini yang diinginkan temanku itu, Gemy Mohawk, membanjiri Jakarta? Bukan, dia ingin membanjiri Jakarta dengan cinta, bukan dengan air. Ingin bertemu tapi tak diinginkan, seperti itulah ungkapku saat melihat hujan menangis. Ku pandang dari tepi pintu. Di air itu satu persatu terlihat wajah daunku. Bukan, dia belum menjadi daunku, tapi akan menjadi daunku. Ah, aku ingin sekali bertemu dengan Sujiwo Tejo untuk memainkan materanya agar hujan ini tak berhenti. Sayang, aku tak bertemu semalam dengan budayawan itu. Sebab, aku terlalu lama di jalan menghabiskan waktu. Akhirnya ku telentangkan saja tubuhku di atas badai Jakarta itu. Menunggu reda untuk bertemu teman-temanku lainnya.
Reda, waktu itu dialah yang membangunkan aku. Tak sanggup berdiri, aku masih baringkan tubuh. Namun, suara temanku, Kika, melalui alat canggihku dia menarik tubuhku dari Pisangan hingga Kota Tua. Beberapa kali Kika meneleponku. Lalu, aku beranjak cepat dengan Joko Sumantri. Joko Sumantri adalah salah satu teman yang ku katakan pejuang. Tubuhnyanya besar dililiti oleh keinginan rakyat kecil. Dalam kaca mata yang dipakainya bertulisakan “Sosialismekan Indonesia”. Aku pun berharap begitu.
Aku tiba juga dengan Joko di Kota Tua. Kota yang penuh kenangan, sebab beberapa bulan lalu aku menguji nyali di taman Kota Tua, membacakan puisi di antara keramaian. Berlari-lari pula bersama tim Lenting, seperti berlarinya orang-orang kecil mengejar hak-hak mereka yang kunjung dapat. Di Kota Tua, sebelumnya aku melihat paras kota di dalam busway dihiasi dengan perempuan-perempuan yang sedang mencuci mataku. Tidak, tidak, pikirku saat itu. karena aku harus berdaun dengannya.
Aku bertemu dengan Gemy Mohawk di awal kakiku melangkah di sebuah acara Sastra Reboan. Sastra yang diadakan setiap hari rabu, tapi enatah kenapa waktu itu tidak menandakan hari rabu. Lelaki pejuang itu bertopi hitam. Ada apa dengan topi hitamnnya? Mungkin, aku menandakan hitamnya topi di atas kepala itu adalah hitamnya dunia ini.
Tak berapa lama, tak sempat ku biarkan waktu menggerogoti tubuhku lagi, aku bertemu dengan Kika. Dialah yang menarik aku, mungkin juga salah satu orang yang menarik aku dari kota kecilku, Jatinangor.
Ku curi-curi pemandangan di dalam. Pemandangan sastra. Pemandangan yang ramai dengan penggiat sastra, di dalam Museum Mandiri. Layaknya kota sastra. Aku ingin kota kecilku, juga negara boneka ini riuh dengan sastranya. Jauh sekali dari kenyataan sastra negara boneka saat ini. Padahal beberapa pendiri negara boneka ini adalah penggiat sastra. Salah satunya adalah mas Marco.
Sepertinya Kika mengetahui mataku yang mencuri-curi. Dia mengajak aku masuk ke dalam ruangan. Aku injakkan kaki ke dalam. Oh, hati aku disiram dengan air panas. Meletup-letup melihat para Puan-puan di dalamnya. Di anata ramainya itu, aku mencari cupit-cupit yang mungkin saja terbang di dekatku, agar dia memanah salah satu di antara keramaian itu. sudahlah, cupit itu hanya klise kehidupan. Tak mungkin bisa.
Kakiku membaku tubuh ke tempat peraduan sementara Bamby Cahyadi dan Khrisna P. Mereka berdua tak tahu aku sedang mengintai mereka. Aku cermati gerak-gerik mereka. Mereka menyambutku dengan salam. Salam, salam, dan salam. Apakah salam bisa menyambut kemanusiaan? Ah, biarlah salam terus duduk di kepala manusia-manusia. kini aku bisa berbicara langsung dengan Bamby dan Khrisna. Berbincang tanpa klise, sebab aku dan mereka berbincang mengenai cerpen. Salah satunya adalah cerpenku yang berjudul “Ruang Kosong”. Perbincangan sampai pada perbincangan rencana Khrisna P. yang akan menelurkan bukunya. Disela-sela itu ada garis-garis di dalam tubuhku berdenyut tepat saat hadirnya pembaca puisi yang baru saja beraksi.
Aku keluar dari ruangan itu, mulutku tak bersahabat. Ingin menelan asap-asap rokok. Ah, lebun aku. Tak ada tersisa rokok di kantungku. Tak apa, aku memiliki teman. Aku bisa menghisap rokok. Asap-asap itu menari-nari, seperti tarian tor-tor, tarian yang kurindukan karena sudah beberapa tahun aku tak menyaksikan tarian itu. Tapi, mengapa yang hadir di balik asap itu lelaki berambut panjang? Seharusnya yang menari tor-tor adalah perempuan. Dia lelaki berambut panjang, menempel pula bercak hitam di wajahnya. Apa bercak itu? Mengapa hitam juga, seperti warna topi Gemy Mohawk? Aku kini yakin, dunia ini sudah hitam, maka mereka membuat tanda itu hitam. Lelaki itu bercanda, membuka mulutnya lebar, berfoto ria. Ada apa pula dengan dirinya? Apakah dirinya akan meninggalkan dunia ini? Tak mungkin, dia masih sehat. Oh, dia ternyata Nurudin Ashadi. Dialah seorang penggiat sastra, namanya sudah tertempel di setiap komputer, dan tidak hanya komputer tetapi kertas. Aku ucapkan salam padanya, entah kenapa manusia seperti semut. setiap bertemu selalu bersalam. Tak salah aku menyebut diriku adalah semut.
Modar-mandir, tak ingin tahu kemana ruangku. Di mana pula ruang kosongku. Setelah aku berbincang banyak dengan para penggiat sastra itu. Tiba-tiba, si Abang, ya si Abang, karena dia terlahir dari budaya tor-tor pula. Tapi, aku tak tahu apakah dia merindukan tarian tor-tor juga. Dia yang dulu hadir bersama Putri Sarinande, Dino Umahuk, Yonathan R, di kampusku. Dia yang disebut dengan Sihar Ramses Simatupang. Loh, apa itu simatupang? Aku tak tahu, karena aku juga punya yang lain di namaku, Sihotang. Tapi, itu tak ku lekatkan di namaku. Karena aku Fredy Wansyah, bila di akta disebut Fredy Wansyah Putra.
Malam ini, malam usai pertemuan kecil di ruang sastra reboan, tepat di Kota Tua, aku terpaksa mengejar keinginan. Mengejar si bakal Daunku. Aku tak tahu kalau nanti dia tak jadi daunku, aku mendapatkan suplai klorofil dari mana. Maka, aku bergegas kembali dari perselingkuhanku oleh Jakarta. Jatinangor, aku kembali malam apapun itu. Malam jahat. Ya, malam jahat kusebut, karena aku dipaksa berdiri dari kota Jakarta hingga kota kecil Jatinangor, di dalam bus. Tak apa, karena aku ingin memiliki daun agar tak kering tubuhku.
Malam di tempat peraduanku setelah mengembara ke kota besar kulakukan, adalah bagian dari cintaku untuk Jatinangor.

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes