Politikus dalam politik

Ada sebuah tulisan, ditulis oleh seorang aktivis buruh, yang menyatakan bahwa masyarakat saat ini, bahkan mencakup mahasiswa, mengalami stigma mengenai politik, khususnya jika mendengar urusan partai. Memang, mahasiswa pun seperti mengalami ketakutan terhadap partai politik.
Bertolak dari hal di atas, seperti sebuah kontradiksi adanya sebuah diskusi sebuah novel Imperium karya Robert Haris. Diskusi tersebut berlangsung di kantor KOMPAS biro Jabar, pada senin 17 November, kemarin. Sebuah diskusi yang kontradiktif karena dalam diskusi tersebut mengambil tajuk “Imperium; Politik, Retorik, Korupsi” Pada realita masyarakat yang tidak simpati pada partai politik, mampukah masyarakat bersimpati pada nilai-nilai politik?
Politik, pada diskusi tersebut pembicaranya adalah F. Budi Hardiman. Beliau seorang pengajar filsafat di STF Driyarkara. Pemaparan beliau lebih mengarah pada filsafat politik. Dikatakan bahwa Cicero mampu mencapai kemenangan politiknya karena satu hal yang tidak dapat terbantahkan adalah “summum bonum”. Summum bonum disebut pula dengan kebaikan tertinggi, pada hal itulah Cicero (tokoh utama dalam novel Imperium) konsistensinya terjaga. Perilaku Cicero yang seperti itu tidak terlepas dari pendirian mazhab Stoa dan mazhab peripatetic. Penjelasan inilah yang dipaparkan oleh F. Budi Hardiman mengenai politik dalam novel Imperium. Ada pula hal yang menarik dari novel itu, yang juga disinggung oleh F. Budi Hardiman, politik tidak akan berguna tanpa filsafat. Dalam hal ini, seorang filsuf sosialis menyatakan bahwa kemiskinan filsafat pada masyarakat akan membawa kesengsaraan.
Retorik, diisi oleh Jalaludin Rahmat, seorang pengajar retorika di Fikom Unpad. Sangat menarik pembicaraan oleh Jalal. Dalam pembicaraannya selalu diselingi anekdot-anekdot serius, maksudnya anekdot yang dilontarkan tidak hanya sekdar anekdot, sehingga peserta mampu melebarkan bibirnya. Beliau menjelaskan pada titik berat akhir kisah hidup Cicero. Sebuah akhir hidup yang tidak bertolak dari novel, tetapi hal itu dapat mencerahkan pembaca novel untuk meneruskan kisah hidup Cicero. Jalal mengatakan bahwa akhir hidup Cicero sangat tragis. Cicero seorang orator, dia mengakhiri hidupnya dengan kepala dipenggal oleh lawan-lawan politiknya. Bahkan yang sangat tragis, lidah Cicero dipaku dengan kepala terpenggal di sebuah dinding. Jalal menambahkan, Cicero merupakan seorang orator terkejam di dunia, karena dalam sidang pernah melontarkan kata-kata kasar. Tragis memang, seorang orator mati dengan alat oratornya dipakukan oleh lawan politiknya.
Korupsi, hadir seorang penasehat KPK sebagai pembicara dalam diskusi tersebut, Suryohadi Djulianto. Pembicaraannya tidak bertolak pada novel, beliau hanya memaparkan pengertian Korupsi, tantangan yang dihadapi KPK, dan konstitusi negara ini mengenai korupsi. Saya kira beliau akan memaparkan secara historis korupsi yang ada di dunia ini serta korelasinya dengan novel Imperium. Dan, peserta dapat mempertimbangkan keadaan Indonesia yang menjadi salah satu negara korupsi terbesar di dunia. Ada hal yang menarik pada pernyataan Suryohadi, yakni “putuskan saja jika pacar kita melakukan korupsi atau bahkan calon mertua kita melakukan korupsi batalkan saja pernikahan”. Sebuah pernyataan yang mengkampanyekan pemberantasan korupsi. Tetapi, ada kerancuan ketika devinisi korupsi adalah perbuatan tidak jujur, merusak, ataupun menyogok. Saya melihat dalam novel Imperium, Cicero pun melakukan korupsi pada sebuah sidang. Dalam sidang tersebut, permainan kecil-kecilan dilakukannya demi mencapai kemenangan atau mengelabui lawannya dalam sidang. Cicero berpura-pura tidur. Dalam hal ini, apakah Cicero tidak melakukan korupsi? Pada realita masyarakat Indonesia pun, masih banyak korupsi. Selama masih ada pola-pola perdangan dengan sistem nilai, korupsi tidak akan pernah habis.

Share this: