ARTIKEL PINTASAN

Sunday, November 16, 2008

Tentang Novel Populer di Indonesia


a. Historis
Historis novel populer dimulai pada tahun 1890-an. Berawal dari nama cerita ‘roman medan’. Dikotonom tersebut memiliki unsur-unsur bahasa yang mudah dicerna atau disebut pada saat itu dengan bahasa pasaran. Penulisnya merupakan bukan asli keturunan Indonesia melainkan Cina campuran.
‘Sobat anak-anak’ menjadi karya pertama dalam karya populer yang ditulis oleh Lie Kim Hok. Konsumen karya tersebut terbatas hany dikalangan tertentu saja (Nio Joe Lan, 1962: 9.2) Dikotonomi semula diubah dengan nama Roman Pitjisan.
Konotasi sedikit negatif menjadi interpretasi awal bagi pembacanya.pada saat itu sehingga kurangnya perhatian terhadap sastra populer. Akibatnya para peneliti juga kurang meminati karya-karya sastra populer sebagai bahan objek penelitian. Bahkan satu peilaian negatif untuk karya populer adalah kurang bermutu dalam segi isi.

Dikotonomi antara novel populer dengan novel sastra adalah novel serius dan novel tidak serius. Hal ini dapat dilihat dari isinya. Novel sastra lebih bertendensi terhadap suatu ideologi, sementara novel populer atau novel tidak serius mengalami monoton tema, yakni berada dalam ruang seks, cinta, keluarga, dan problematika sekolah atau kampus. Tetapi memperbandingkan novel populer dengan novel sastra merupakan hal tidak setara dalam nilai estetika. Merki pun estetika relatif dalam penilaian, ada satu kesimpulan yang khusus dalam argumentasi estetika.
Timbulnya permasalahan dari kedua dikotonomi ini seperti memberikan ruang batas terhadap kebebasan penulis. Walau pun mengkaji suatu novel sastra dengan memperbandingkan novel populer tidak secara langsung menempatkan penulis novel populer sebagai penulis yang termajinalkan. Bahkan dalam waktu aktual, novel populer berkembang lebih pesat dari pada novel sastra. Dalam suatu pengkajian karya, hal penjustisan akan muncul melihat secara komprehensif didalam prosesnya.
Dalam historis, novel populer fluktuatif dari tahun ke tahun. Pada tahun 1970-an misalnya muncul karya Ali Topan Anak Jalanan yang menghebohkan penikmat novel. ‘Ali Topan Anak Jalanan” seperti sebuah sihir dari penulisnya, karena mampu mengangkat konotatif novel populer menjadi positif. Sementara pada tahun 1980-an merupakan tahun kejayaan kedua pasca kemerdekaan bagi penulis dan penikmat novel populer dengan hadirnya sebuah karya berjudul ‘Lupus’. Namun seiring dengan waktu, pada tahun 1990-an, novel populer mulai tenggelam. Hal tersebut karena mulai timbulnya televisi-televisi swasta. Memang secara ekonomi, televisi lebih ekonomis dibandingkan karya-karya berupa buku.



b. Novel populer dan pemerintah
Pada masa-masa penjajahan Belanda, banya terbitan-terbitan media cetak mendapat kontroling yang ketat oleh pemerintah. Indikasi hal tersebut dapat terlihat dari munculnya Nota Rinkes. Nota Rinkes berisi tentang aturan penerbitan buku yang netral terhadap agama, berbudi pekerti, menjaga ketertiban, dan tidak berpolitik (Teeuw 1955:57 – 60) Hal ini membuat dunia penulis tidak ekspresif dalam segi kreatifitas penulis, bahkan untuk mencapai eksperimen. Pada zaman itu, Balai Pustaka menjadi legitimator karya-karya sastra, baik novel populer mau pun novel sastra, karya yang ingin didistribusi.
Dan, pada masa orde baru karya-krya yang didistribusi atau pencapaian ke konsumen, semakin ketat ruang geraknya oleh pemerintahan saat itu. Indkasi terlihat dari penangkapan-penangkapan sastrawan, salah satunya adalah Pramoedya Ananta Toer. Karya-karyanya telah melanggar Nota Rinkes. Sementara itu, fiksi populer dengan sengaja dibiarkan oleh pemerintah masa lalu. Bukan saja karena wacana yang diangkat tidak mengganggu status quo, tetapi bahkan memberikan hiburan ringan kepada masyarakat agar melupakan atau lalai dari realitas sesungguhnya. Fiksi populer tidak mengondisikan masyarakat untuk bersikap kritis. Kalau sikap kritis itu ada, hal itu tidak lebih sebagai ajang kompromi secara imajinasi. Pada posisinya yang lain, sastra populer tidak lebih sebagai ajang komoditas belaka, hanya menguntungkan segelintir pemilik modal dan menempatkan penulis sebagai buruh serta masyarakat sebagai pasar
sastra populer cenderung menjual keinginan dan mimpi, masyarakat dieksplitasi untuk mengonsumsi sesuai dengan selera impian yang sedang ngetrend. Dan pada gilirannya yang terjadi adalah bahwa mimpi-mimpi itu tidak lebih sebagai komoditas belaka. Asumsi bahwa sastra populer pada akhirnya tidak lebih sebagai komoditas ini merupakan salah satu keberatan lain terhadap merebaknya sastra populer. Masyarakat hanya dieksploitasi untuk keuntungan dan kepentingan pemilik modal, para penulis tidak lebih sebagai buruh.

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes