ARTIKEL PINTASAN

Monday, November 3, 2008

Budaya Masyarakat Indonesia Saat Lebaran




Tidak lama lagi lebaran akan tiba. Lebaran merupakan suatu prosesi keagamaan, yakni agama islam. Momen ini tidak hanya dimiliki oleh umat muslim di Indonesia, melainkan seluruh dunia. Namun, setiap negara memiliki ciri tersendiri sebagai perayaan ‘kemenangan’ tersebut. Salah satu ciri khas perayaan ‘kemenangan’ umat muslim di Indonesia adalah mudik. Ciri khas ini merupakan ciri khas utama, artinya di negara-negara lain yang merayakan idul fitri tidak ditemukan. Ciri lain adalah pembuatan makanan khas (ketupat), berkumpul bersama keluarga, dan ciri yang bersifat konsumtif komoditi makro, yakni baju baru.
Mudik adalah proses kembali ke kampung halaman. Tujuannya tidak jauh berbeda dari esensi idul fitri. Dalam islam, idul fitri adalah momen untuk saling memaafkan, setelah menempuh sebulan penuh saum di bulan ramadhan. Kebiasaan tahunan ini sebenarnya dapat menjadi sebuah seni, seni saling bermaafan. Namun hingga saat ini belum pernah ada yang mengungkap seni pada momen idul fitri.
Awal bulan, syawal, sebagai penyucian diri (penghapusan dosa) dari orang-orang yang dikenal umumnya dan saudara-saudara terdekat khusunya. Dari hal itulah muncul proses mudik sebagai proses kembali ke kampung halaman, karena saudara-saudara terdekat berada di kampung halaman. Pada subtansinya, mudik dikarenakan beberapa faktor, yakni pekerjaan yang ditempuh jauh dari keluarga, transmigrasi, dan menempuh pendidikan. Lebih utama dan banyak terjadi adalah faktor tempat bekerja yang jauh dari keluarga (kampung), sehingga memerlukan tempat tinggal sementara. Dampaknya tidak dapat melepaskan prosesi mudik pada momen yang terjadi setahun sekali tersebut, idul fitri. Fakta dapat kita lihat di beberapa media televisi, para pelaku mudik merupakan Tenaga Kerja Indonesia. Khususnya para TKI dari Malaysia. Mereka berbondong-bondong ingin merasakan hawa kampung halaman setelah beberapa lama ditinggal. Mobilisasi ini merupakan yang terbesar di dunia. Pada tahun ini, Departemen Perhubungan memperkirakan penumpang angkutan umum akan mencapai 16 juta jiwa. Data ini tidak termasuk dengan pemudik yang melakukan mudik dengan kendaraan pribadi.
Seorang budayawan, Jacob Soemardjo, mengungkap bahwa mudik merupakan salah satu tradisi primordial yang di warisi oleh leluhur jawa. Orang-orang yang melakukan tradisi tersebut adalah para petani, dan tradisi ini sudah ada ketika sebelum berdirinya kerajaan Majapahit. Jacob Soemardjo juga menambahkan bahwa tujuan tradisi ini awalnya sebagai prosesi doa bersama dewa-dewa di khayangan untuk memohon keselamatan kampung halamannya. Namun, tujuan prosesi ini mulai menghilang ketika agama islam mulai menyebar di pulau Jawa. Hingga saat ini yang masih bertahan dari prosesi tersebut adalah rutinitas dalam periode tahunan. Karena prosesi mudik pada masa itu juga dalam periode tahunan, tetapi yang membedakan adalah tujuan. Jadi, mudik yang kita ketahui selama ini merupakan salah satu warisan leluhur asli budaya Indonesia.
Selain mudik, ketupat menjadi khas tersendiri dari peryaan ‘kemenangan’ tersebut. Hampir disetiap rumah ketupat dapat ditemui, sebagai hidangan khas, seperti kontruksi bahwa kertupat merupakan menu wajib saat lebaran. Masyarakat tidak melihat harga bahan pokok ketupat tersebut, dalam satu keluarga besar harus mengadakan makan ini, padahal saat-saat menjelang lebaran bahan-bahan kebutuhan pokok termasuk bahan dasar ketupat mengalami lonjakan yang drastis.
Ajaran islam pun sebenarnya tidak mewajibkan pembuatan makanan, khusus pada saat perayaan ‘kemenangan’ tersebut, bahkan untuk pembuatan ketupat sekali pun. Namun, dengan adanya menu khas ini memunculkan kreasi dari masyarakat, ketupat dapat menjadi beberapa makanan yang variatif, diantaranya lontong sayur, ketupat dengan campuran santan, dan ketupat goreng. Jika melihat dari proses pembuatan, ketupat memerlukan kebersamaan dan ketelitian. Kedua hal itu sangat dibutuhkan pada saat pembuatan bungkus ketupat yang terbuat dari daun kelapa muda. Tanpa ketelitian akan menghasilkan bungkus yang tidak efektif sehingga dapat merusak ketupat itu sendiri pada saat dimasak.
Ada satu hal yang paling menarik selain kedua hal di atas, yakni pola konsumtif yang berlebihan. Pada saat perayaan kemenangan seperti diwajibkan untuk memakai pakaian baru. Namun sekali lagi, hal ini seperti adanya kontruksi yang ada dalam kepala masyarakat Indonesia. Padahal, budaya leluhur pun tidak pernah mewarisi hal ini.
Pola konsumtif pada pakaian tersebut dapat terlihat secara kasat mata, di setiap pasar-pasar yang menjual pakaian dan tempat-tempat lainnya ramai di kunjungi oleh para para konsumen saat menjelang idul fitri. Bahkan hal ini merupakan pola konsumtif pakaian terbesar setiap tahunnya di Indonesia.
Ironis, jika ketiga hal ditas dikaitkan dengan posisi ekonomi masyarakat Indonesia saat ini. Dari ketiga hal tersebut memiliki satu kesamaan, ketiga hal yang bersubtansi pada konsumtif, terlepas dari komoditi pemerintah atau pun perorangan. Islam sejatinya mengajarkan penganutnya untuk hidup sederhana. Tetapi sangat jauh dari esensi ajaran islam, masyarakat Indonesia yang dominan islam, masyarakat setiap tahunnya selalu mengalami peningkatan pola-pola konsumtif, khusunya pada saat lebaran. Dalam hitungan Departemen Perhubungan, tahun ini diperkirakan penumpang angkutan umum meningkat sekitar 6,14% dari tahun kemarin. Masih dalam ‘urusan’ mudik, pada tahun ini Dephub memperkirakan para pelaku mudik yang menggunakan motor meningkat sekitar 18,08% dari tahun kemarin. Padahal dalam sudut pandang ekonomi seharusnya masyarakat Indonesia mulai menurun daya beli, hal ini disebabkan dengan peningkatan harga-harga kebutuhan bahan pokok serta kelangkaan bahan bakar (gas elpiji dan minyak tanah).

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes