ARTIKEL PINTASAN

Tuesday, October 28, 2008

PERMASALAHAN BEM FASA UNPAD

Masalah Kepengurusan BEM FASA UNPAD

Ada beberapa teman saya yang selalu mengutarakan alasannya tidak dapat bekerja maksimal di pengurusan BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa). Salah seorang menjawab “Gua lagi sibuk di Hockey”, dan ada lagi yang menjawab “Ah, udah gak jelas gitu orang-orangnya”. Ada apakah dengan kepengurusan BEM? Apakah ada cinta di dalamnya? Ada apa dengan cinta BEM?
Sebenarnya masalah ini merupakan masalah klasik, sebuah masalah yang harus dituntaskan. Masalah fundamennya itu bukan dari sifat kemalasan si Pengurus, melainkan pengaruh eksternal individu. Masalah yang mendapat predikat ‘ter-‘ adalah dana. Maksud ‘ter’ disini adalah yang paling utama. Semua pasti mengetahui, tanpa adanya dana tidak akan ada kegiatan apapun, karena segalanya sudah mendapat nilai dalam kehidupan kapitalis (sudah muak saya dengan sistem ini!). Segala sesuatu yang menjadi nilai tersebut memberikan batasan kerja atau aplikasi ide. Lihat, sudahkan teralisasikan rancangan-rancangan yang sudah dirancang? Danalah seharusnya yang menjadi permasalahan awal, artinya sudah saatnya mendapatkan perhatian sedini mungkin. Permasalahan itu akan berhubungan dengan birokrat-birokrat kampus, sebab mereka-mereka itu memiliki hak otoritas, sebenarnya hak otoritas tersebut tidak pantas. Dengan membuat kerangka dan structural pengadaan dana, maka kita akan mengetahui dana kita, ya dana kita!, kemandekan dan pengurangan (disebut dengan istilah Korupsi). Seperti mata air dari gunung yang jernih, sampainya air tersebut di kaki gunung sudah keruh, menelusuri aliran air hingga hulu merupakan langkah terbaik untuk mengetahui mengapa air tersebut keruh.
Second place (kata orang bule dan kata mahasiswa-mahasiswa yang sok keinggris-inggrisan) adalah hal penempatan akademik dengan kegiatan kerja BEM. Selain kedua alasan yang di atas, seorang teman saya mengatakan “lagi sibuk kuliah euy, banyak tugas lagi”. Akademik memang hal yang sangat krusial, tidak jauh beda krusialnya dengan masalah dana. Sebab, keberadaan mahasiswa di kampus sebagai seorang yang melakukan kagiatan ilmiah atau disebut dengan akademisi, sehingga kerja-kerja kepengurusan BEM pun harus terabaikan (bukan perilaku yang menyerupai Abay si pengurus BEM itu). Pada situasi ini, mahasiswa memang tidak bisa terlepaskan dengan kegiatan akademik yang diberikan beban tugas banyak. Tapi inilah strategi orang-orang birokrasi itu untuk memberikan kesibukan, sehingga mahasiswa pun tidak sempat mengurusi permasalahan-permasalahan yang sebabkan birokrat kampus, seperti masalah dana tersebut. Dengan begitu, penyelewengan kerja-kerja birokrat pun berjalan dengan mulus, semulus perempuan-perempuan turun dari pelangi (emang pernah ya?). dilemma ini cukup diatasi dengan kepiawaian kita membagi waktu. Waktu yang tersedia pada manusia adalah dua puluh empat jam, apakah ini kurang untuk mengerjakan tugas kuliah, berkegiatan di BEM, pacaran, dan istirahat? Mari kita konkretkan; lima jam menempuh akademik, tiga jam mengerjakan tugas-tugas akademik, dua jam pacaran (kurang? Jangan percaya deh dengan yang namanya pacaran, karena pacaran itu hanya main-main), dan delapan jam istirahat. Jadi, setelah diakumulasikan akan tersisa waktu enam jam dari kehidupan kita satu hari. Maka, dari enam jam tersebut sebenarnya dapat digunakan untuk berkegiatan di BEM sehingga BEM pun dapat berjalan dengan baik.
Penyebab berikutnya adalah missioner. Artinya, banyak mahasiswa-mahasiswa berkecimpung di BEM memiliki misi pribadi. Hal ini diakibatkan adanya kampanye besar-besaran oleh perusahaan, mencari para calon pekerjanya yang pernah bergelut di bidang organisasi. Pada sebuah media masa beberapa waktu lalu, saya membaca bahwa pengalaman organisasi menempati urutan pertama dalam keinginan perusahaan-perusahaan yang mencari calon pekerjanya. Kalau hal ini terus terjadi, penerimaan anggota BEM tahun depan akan semakin banyak dari tahun sebelumnya. Dan mereka yang mencalonkan dalam kepengurusan BEM tersebut hanya menumpang nama, sebagai bukti pengalaman organisasi dalam mencari pekerjaan kedepan. Permasalahan seperti ini akan lebih baik diatasi dengan kajian-kajian Sosiologi, khususnya Sosiologi Sastra karena kita memang mahasiswa sastra (salah satunya Robert Escarpit). Apakah anda memiliki misi seperti ini?
Saya menulis hal ini bukan berarti ingin membeberkan atau pun membuka ‘aib sendiri’, tetapi lebih berkeinginan menuju yang lebih baik. Karena saya sangat khawatir terhadap mahasiswa-mahasiswa Fak. Sastra dalam waktu tiga tahun terakhir, belum ada satu pun karya-karya mahasiswa sastra Unpad yang ‘berkeliaran’ di pasaran. Jika hal ini masih Anda anggap pembeberan aib, mengapa masih ada saja pengurus BEM yang menyamakan kegiatan BEM dengan kegiatan negara?. Padahal, jika Anda mengandaikan BEM adalah sebuah pengurus dalam negara, berarti saya wajar mengutarakan hal ini dalam kenegaraan saya sendiri. Lihat saja pengurus-pengurus negara banyak yang melakukan kritik terhadap realitas negaranya. Dan perlu Anda ingat bahwa BEM bukan negara, apalagi BEM Sastra penuh dengan mahasiswa yang berjiwa prikemanusiaan (nyatanya?)

Share this:

1 comment :

  1. hebat euy......sastra punya sastrawan yang nyasastra banget.....setuju sich dengan yang lw ungkapin, terus bangun sastra denagan karya-karya mu..........

    ReplyDelete

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes