sampul buku Manusia dan Peristiwa (foto: blogspot) |
Resensi Buku - Menjadi penulis fiksi bukan
semata menulis karya prosa sedemikian rupa, konflik yang sekompleks mungkin, makna yang sepadat
mungkin, sedetail mungkin, maupun seestetik mungkin. Satu hal yang perlu
diperhatikan pula ialah bagaimana fiksi yang diciptakan bukanlah sekadar fiksi,
melainkan diangkat berdasarkan kehidupan nyata yang cukup panjang dan nyata
yang ditulis sedetail mungkin. Namun, tulisan tersebut dibentuk berdasarkan
kisah nyata, bukan fiksi. Di sisi pembaca, karya tersebut dianggap fiksi.
Begitulah Muhammad Dimyati. Ia
menulis buku Manusia dan Peristiwa.
Bentuknya berupa catatan harian, tetapi pembaca merasakan apa yang ia baca
ialah sebuah karya fiksi. Seperti tertulis di awal berikut, Banjak sudah isi buku tjatatan harian saja
selama masa jang setahun ini, ialah buku peringatan atau kedjadian jang saja
alami sehari-hari. Banjak peristiwa yang hebat dan ngeri, sedih dan suka, jang
masuk dalam buku tjatatan harian saja (halaman 3, Manusia dan Peristiwa).
Muhammad adalah saksi sejarah. Ia
menulis dari masa-masa sebelum kemerdekaan 1945. Seperti apa yang dinyatakan di
awal bahwa catatan dalam buku ini merupakan catatan kesehariannya sejak ia
tinggal di Surakarta (sekarang lebih dikenal sebagai Solo) di kala Hindia-Belanda
berkuasa di Tanah Jawa hingga Hinda-Belanda jatuh pada tahun 1942.
Dari fragmen pengamatannya yang
cukup detail, Muhammad meracik menjadi sebuah catatan yang penuh emosi. Tidak
sekadar catatan biasa, yang mengutamakan kronologi dan peristiwa semata. Ia
juga mengamati dan mencatat bagaimana detail emosi. Misalnya, ia mencatat
keironian kenalannya, Hamzah, yang ia catatkan kehidupannya, seperti harga sewa
rumah tak sebanding dengan apa yang dimiliki Hamzah. Di kampung, Hamzah
memiliki sebidang sawah dan rumah yang sangat layak, tetapi karena situasi
penjajahan Belanda waktu itu, Hamzah harus mengungsi ke luar kampung agar
mendapat keamanan. Rupanya, perpindahan itu justru menyebabkan keironian bagi
Hamzah, karena di tempat pengungsi ia harus menyewa rumah dan keperluan
sehari-hari sulit.
Muhammad Dimyati menulis seperti
menulis fiksi. Ada tokoh, peristiwa dan konflik, dan alur yang jelas.
Tokoh-tokoh yang ia tulisa bukan tokoh fiktif, melainkan kenalannya, temannya,
hingga sahabat-sahabatnya. Peristiwa yang kerap dijadikan sebagai latar ialah
peristiwa penjajahan Belanda tahun 1940-1942. Konflik yang muncul didominasi
oleh konflik sosial-politik, latar penjajahan dengan manusia pribumi.
Paling tidak, membaca Manusia dan Peristiwa akan terbawa ke
lautan peristiwa penjajahan kala Belanda di ambang kejatuhan. Pembaca bisa
menemukan bagaimana detail peristiwa penjajahan kala itu, tidak sekadar
terjajah fisik melainkan juga terjajah mental.
Judul
Buku: Manusia dan Peristiwa
Penulis:
Muhammad Dimyati
Penerbit:
P. N. Balai Pustaka
Cetakan
Kedua: 1964
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.