ARTIKEL PINTASAN

Wednesday, September 17, 2014

Tantangan dalam Penaikan Harga BBM

Antrean SPBU di Namlea padat merayap (Foto: suakailmu.blogspot.com)

Tantangan dalam Penaikan Harga BBM - Bagi sebagian kalangan menginginkan penaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) segera dilakukan demi efisiensi penggunaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Penaikan dianggap langkah paling realistis di tengah ancaman peningkatan deflasi dan pembengkakak dana subsidi tahun depan. Namun, semua ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Artinya, ada segudang tantangan yang siap menanti.
Tantangan tersebut tidak datang dari kondisi keuangan itu sendiri. Tantangan ini merupakan landasan vital terhadap mobilitas masyarakat yang kerap mengonsumsi BBM bersubsidi. Penaikan harga BBM akan menilbulkan perubahan drastis roda ekonomi mikro, inflasi, kesenjangan sosial, PHK, hingga persoalan transportasi umum.
Dari sekian tantangan tersebut, tantangan terbesarnya ialah bagaimana pemerintah mengatasi persoalan moda transportasi umum. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), 2012, menyatakan bahwa terdapat 47% pengguna sepeda motor merupakan konsumen BBM bersubsidi. Sementara sisanya atau 53% merupakan pengguna mobil. Bila diprediksikan bahwa pengguna sepeda motor merupakan kelompok yang paling merasakan terkena dampak, maka ke-47 persen inilah yang berpotensi alih moda transportasi. Pengguna sepeda motor sangat berpeluang berpindah dari pengguna sepeda motor ke pengguna transportasi umum.
Pengguna sepeda motor memiliki alasan rasional dalam perpindahan tersebut, yakni efisiensi. Pengguna sepeda motor bisa jauh lebih hemat apabila menggunakan jasa angkutan umum ketimbang memaksa diri menggunakan sepeda motor. Apabila kenaikan harga premium bersubsidi naik Rp3.000, menjadi Rp9.500, maka pengeluaran bagi pengendara sepeda motor yang menghabiskan tiga liter per hari akan menghabiskan biaya sebesar Rp28.500. Biasanya konsumen premium sebanyak ini merupakan konsumen yang berjarak tempuh cukup jauh. Katakanlah jarak tempuh pengguna sepeda motor tersebut setara dengan tarif angkutan umum sebesar Rp20.000, maka ia akan menghemat Rp8.500.
Alasan lain ialah kenyamanan. Dengan pengeluaran Rp9.500 per liter, perjalanan pengguna sepeda motor belum tentu nyaman. Ia harus berkendara sendiri, menggunakan tenaga sendiri, dan menggunakan kepiawaian sendiri. Tentu akan jauh lebih nyaman jika pengguna sepeda motor tersebut menggunakan transportasi umum. Ia tidak lagi menggunakan tenaga sendiri dan tidak lagi menggunakan kepiawaian sendiri. Bahkan, potensi kecelakaan apabila kedua kendaraan dibandingkan (sepeda motor dan mobil transportasi umum) jauh lebih berisiko
Hal yang mendesak dilakukan pemerintah ialah pembenahan transportasi umum di berbagai daerah, khususnya di daerah-daerah padat penduduk dan mobilitas tinggi. Kota-kota besar dan wilayah industri tergolong sebagai dua kategori tersebut. Kota-kota besar yang dimaksud ialah Aceh, Medan, Batam, Palembang, Padang, Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, dan Makassar. Sementara wiayah industri ialah Karawang, Bekasi, Tangerang, Surabaya, dan lainnya.
Memang beberapa daerah telah memiliki transportasi umum yang dikelola khusus oleh pemerintah setempat, seperti Transjakarta di Jakarta, Bandung Trans di Bandung, dan Transjogja di Yogyakarta. Bila merujuk survey di Yogyakarta, masyarakat Yogyakarta masih enggan beralih dari transportasi pribadi ke transportasi umum dengan alasan ketidakoptimalan pengelola dalam mengelola armada dan jalur (trayek). Survei yang dilakukan mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM), pada 2013, menyatakan bahwa masyarakat umumnya enggan menggunakan Transjogja. Dari 95 responden, secara random, 65 persen responden enggan berpindah ke transportasi Transjogja karena ketidakteraturan jadwal, titik shelter dan waktu yang terbatas, hingga kenyamanan di dalam bus masih belum optimal.
Pemerintah harus segera merancang konsep transportasi umum yang mampu menciptakan kenyaman secara serius, bukan hanya nyaman ruang semata melainkan juga nyaman dalam pengelolaan waktu (jadwal keberangkatan) dan nyaman dalam hal pengelolaan trayek.

Di sisi lain, pemerintah juga harus mampu menekan laju pertumbuhan kendaraan di Indonesia. Dengan rata-rata 2.000 sampai 4.000 unit pertumbuhan pertahun, Indonesia akan menyita energi lebih banyak setiap tahunnya. Tanpa penekanan laju pertumbuhan kendaraan, pemerintah akan terus berkutat pada persoalan kuota BBM bersubsidi dan biaya BBM bersubsidi.

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes