Tantangan dalam Penaikan Harga BBM - Bagi sebagian kalangan menginginkan penaikan harga Bahan Bakar
Minyak (BBM) segera dilakukan demi efisiensi penggunaan Anggaran Pendapatan
Belanja Negara (APBN). Penaikan dianggap langkah paling realistis di tengah
ancaman peningkatan deflasi dan pembengkakak dana subsidi tahun depan. Namun,
semua ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Artinya, ada segudang
tantangan yang siap menanti.
Tantangan tersebut tidak datang dari kondisi keuangan itu sendiri.
Tantangan ini merupakan landasan vital terhadap mobilitas masyarakat yang kerap
mengonsumsi BBM bersubsidi. Penaikan harga BBM akan menilbulkan perubahan
drastis roda ekonomi mikro, inflasi, kesenjangan sosial, PHK, hingga persoalan
transportasi umum.
Dari sekian tantangan tersebut, tantangan terbesarnya ialah
bagaimana pemerintah mengatasi persoalan moda transportasi umum. Berdasarkan
data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), 2012, menyatakan bahwa
terdapat 47% pengguna sepeda motor merupakan konsumen BBM bersubsidi. Sementara
sisanya atau 53% merupakan pengguna mobil. Bila diprediksikan bahwa pengguna
sepeda motor merupakan kelompok yang paling merasakan terkena dampak, maka
ke-47 persen inilah yang berpotensi alih moda transportasi. Pengguna sepeda
motor sangat berpeluang berpindah dari pengguna sepeda motor ke pengguna
transportasi umum.
Pengguna sepeda motor memiliki alasan rasional dalam perpindahan
tersebut, yakni efisiensi. Pengguna sepeda motor bisa jauh lebih hemat apabila menggunakan
jasa angkutan umum ketimbang memaksa diri menggunakan sepeda motor. Apabila
kenaikan harga premium bersubsidi naik Rp3.000, menjadi Rp9.500, maka
pengeluaran bagi pengendara sepeda motor yang menghabiskan tiga liter per hari
akan menghabiskan biaya sebesar Rp28.500. Biasanya konsumen premium sebanyak
ini merupakan konsumen yang berjarak tempuh cukup jauh. Katakanlah jarak tempuh
pengguna sepeda motor tersebut setara dengan tarif angkutan umum sebesar
Rp20.000, maka ia akan menghemat Rp8.500.
Alasan lain ialah kenyamanan. Dengan pengeluaran Rp9.500 per liter,
perjalanan pengguna sepeda motor belum tentu nyaman. Ia harus berkendara
sendiri, menggunakan tenaga sendiri, dan menggunakan kepiawaian sendiri. Tentu
akan jauh lebih nyaman jika pengguna sepeda motor tersebut menggunakan
transportasi umum. Ia tidak lagi menggunakan tenaga sendiri dan tidak lagi
menggunakan kepiawaian sendiri. Bahkan, potensi kecelakaan apabila kedua
kendaraan dibandingkan (sepeda motor dan mobil transportasi umum) jauh lebih
berisiko
Hal yang mendesak dilakukan pemerintah ialah pembenahan
transportasi umum di berbagai daerah, khususnya di daerah-daerah padat penduduk
dan mobilitas tinggi. Kota-kota besar dan wilayah industri tergolong sebagai
dua kategori tersebut. Kota-kota besar yang dimaksud ialah Aceh, Medan, Batam,
Palembang, Padang, Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, dan
Makassar. Sementara wiayah industri ialah Karawang, Bekasi, Tangerang,
Surabaya, dan lainnya.
Memang beberapa daerah telah memiliki transportasi umum yang
dikelola khusus oleh pemerintah setempat, seperti Transjakarta di Jakarta,
Bandung Trans di Bandung, dan Transjogja di Yogyakarta. Bila merujuk survey di
Yogyakarta, masyarakat Yogyakarta masih enggan beralih dari transportasi
pribadi ke transportasi umum dengan alasan ketidakoptimalan pengelola dalam
mengelola armada dan jalur (trayek). Survei yang dilakukan mahasiswa
Universitas Gadjah Mada (UGM), pada 2013, menyatakan bahwa masyarakat umumnya
enggan menggunakan Transjogja. Dari 95 responden, secara random, 65 persen
responden enggan berpindah ke transportasi Transjogja karena ketidakteraturan
jadwal, titik shelter dan waktu yang terbatas, hingga kenyamanan di
dalam bus masih belum optimal.
Pemerintah harus segera merancang konsep transportasi umum yang
mampu menciptakan kenyaman secara serius, bukan hanya
nyaman ruang semata melainkan juga nyaman dalam pengelolaan waktu (jadwal
keberangkatan) dan nyaman dalam hal pengelolaan trayek.
Di sisi lain, pemerintah juga harus mampu menekan laju pertumbuhan
kendaraan di Indonesia. Dengan rata-rata 2.000 sampai 4.000 unit pertumbuhan
pertahun, Indonesia akan menyita energi lebih banyak setiap tahunnya. Tanpa
penekanan laju pertumbuhan kendaraan, pemerintah akan terus berkutat pada
persoalan kuota BBM bersubsidi dan biaya BBM bersubsidi.
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.