Murid, Matematika, dan Kemampuan Murid - Maraknya wacana
ilmu matematika belakangan ini, yang mucul akibat beda pandangan antara guru dan
kakak dari murid guru tersebut, kerap kali membuat saya berpikir tentang siswa
masa kini. Benarkah imajinasi murid-murid masa kini terkurung oleh media?
Benarkah logika yang terbentuk di dalam diri murid-murid adalah logika
instanisme? Mungkinkah murid-murid masa kini tidak lebih baik daripada
murid-murid masa lalu? Mampukah murid-murid masa kini menyelesaikan soal-soal
yang diberi oleh gurunya? Mampukah murid-murid masa kini berpikir kritis?
Mampukah murid-murid masa kini membaca novel-novel serius?
Semua pertanyaan
tersebut hanya kekhawatiran belaka. Tentu tidak semua murid demikian. Masih ada
satu di antara seratus murid, atau malah satu di antara sepuluh murid, yang
gemar membaca novel-novel serius, mampu berpikir kritis, mampu menjawab soal
secara sungguh-sungguh dari gurunya. Tentu masih ada murid yang jauh lebih baik
daripada murid-murid masa lalu, mampu tidak terjebak pada logika instanisme,
maupun mampu keluar dari keterkurungan imajinasi media massa.
Buktinya,
seorang murid yang saya ajar dalam kelas private telah membaca tetralogi buruh
karangan Pramoedya Ananta Toer. Ia telah membaca novel karang Dan Brown. Ia
juga mengaku gemar membaca novel-novel karya Dewi Lestari (Dee).
“Novel Ketika
Cinta Bertasbih udah baca? Suka juga gak karya-karya Habiburahman?” suatu
ketika saya bertanya kepada anak dosen UII (Yogyakarta) itu. Ia menjawab dengan
gelengan kepala.
Ia salah seorang siswa tingkat lanjutan
pertama, kelas IX. Sejak bangku sekolah dasar ia memang gemar membaca buku.
Meski telah membaca banyak novel yang demikian, ia mengaku sulit memahami pesan
penulis dan memahami konteks sosial di dalam novel. “Di novel Pram aku gak ngerti.
Bahasanya berat, tapi ya seneng
bacanya,” ujar remaja bernama Muflik tersebut.
Dari
pengalamannya membaca, ia paham bahwa dirinya lemah dalam hal memahami makna
bahasa (kognisi). Ia menyatakan bahwa memahami makna bahasa membutuhkan
pengalaman serta berpikir ekstra. “Nyamanan
nyelesaiin soal-soal matematika,”
kata dia.
Dari fakta
itulah saya menyadari bahwa metode pembelajaran yang baik bagi murid adalah
bagaiman menemukan potensi diri murid agar potensi tersebut dikembangkan lebih
jauh. Dari wacana ilmu matematika yang belakangan marak itu pula saya paham
bahwa penilaian atas jawaban soal-soal tidak mampu menempatkan potensi murid
menjadi istimewa bagi murid tersebut.
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.