Di Balik Kegagalan Partai Berbasis Agama - Saat ini partai
politik berbasis Islam berada pada dua sisi mata uang. Di satu sisi
mempertaruhkan nilai-nilai keagamaan. Di sisi lain mempertaruhkan nilai politik
berkarakter kapitalistik. Mungkin pula hal ini yang menyebabkan koalisi yang
dihuni banyak partai Islam tak mampu mengalahkan koalisi yang dihuni satu
partai Islam.
Dua nilai itu
pula yang menjadi nilai pembeda kedua koalisi. Seperti apa yang telah dilakukan
oleh partai-partai berbasis agama Islam pada pilpres 2014 kemarin. Pada salah
satu kubu koalisi pendukung calon presiden terdapat empat partai berbasis agama
Islam, yakni Partai Keadilan Sosial (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP),
Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Bulan Bintang (PBB). Semestinya
koalisi ini berkomunikasi masif perihal nilai-nilai keagaman, namun yang
tersampaikan ke publik justru transaksi politik antarpartai. Meski tidak
eksplisit dan tidak terpublikasi, beberapa kali salah satu kader dari salah
satu partai tersebut mengakui adanya transaksi politik.
Di sisi lain, di
koalisi seberang, terdapat satu partai berbasis agama lainnya, yakni Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB). Pada koalisi ini partai berbasis agama terkena dampak
strategi komunikasi yang diterapkan tim koalisi, yakni tidak menyatakan
transaksi politik. Namun, konteks ekonomi kapitalisme seperti saat ini sudah
barang tentu berdampak pada tatanan politik praktis. Ibarat pandangan populis
umumnya, tidak ada makan siang gratis.
Transaksi
politik tersebut tentu berdasarkan nilai-nilai kapitalisme-neoliberal saat ini.
Suatu tindakan haruslah menguntungkan. Suatu perbuatan haruslah memiliki nilai
lebih. Kapitalisme berprinsip pada nilai lebih (added value) atas nilai
komoditas, sehingga perilaku partai seperti itu dipahami jauh dari perjuangan
(akomodasi) keagamaan.
Kapitalisme
merusak moralitas dan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan demi pencapaian nilai
lebih tadi. Dalam moral, misalnya, seperti dinyatakan Camile Paglia, dalam
esainya yang berjudul "How Capitalism Can Save Art", bahwa
kapitalisme global saat ini menyebabkan kecenderungan seni pada kemolekan tubuh
perempuan yang tereksploitasi. Namun yang terpenting, dalam konteks partai
politik, kapitalisme tidak ramah pada nilai-nilai kemanusiaan dan tidak
mengenal apa yang disebut dengan keikhlasan (tanpa nilai material).
Sudut sisi
lainnya, partai berbasis agama harus bertanggung jawab atas nilai keagamaan
yang diusung. Agama merupakan wadah kemanusiaan yang bersifat transendental.
Agama menjaga hubungan baik ke-Tuhanan melalui pintu kebaikan sesama manusia.
Agama pula yang mengajarkan nilai-nilai tanpa nilai material (keikhlasan).
Agama berarti
tidak kacau atau tenteram. Agama lahir dari situasi kekacauan sosial dengan
tujuan mulia pembebasan masyarakat dari keterbelakangan, ketidakadilan, dan
kejahatan (batil). Sementara misi transenden agama ialah pencapaian berpikir
secara luas terhadap dunia hingga mencapai yang lebih tinggi dari dunia
(ilahiah).
Di sinilah letak
pertentangan partai berbasis agama. Pada satu sisi mengusung nilai-nilai
kemanusiaan hingga nilai-nilai transenden, namun di sisi lain partai harus
memosisikan sebagai partai modern yang mengusung bentuk-bentuk transaksional.
Tentu
pertentangan ini menjadi pekerjaan rumah (PR) para politisi (kader partai).
Apakah partai berbasis agama masih terus mengusung nilai "dua sisi mata
uang" ini atau merumuskan konsep praktik politik yang mengedepankan
nilai-nilai agama. Apakah partai berbasis agama melakukan transaksi politik
dalam pengusungan koalisi atau mengedepankan kolektivitas bangsa dan masyarakat.
Apakah partai terus menggerus nilai tambah atau mampu bertindak ikhlas.
Dengan demikian,
wajar apabila masyarakat berpandangan sinis(me) terhadap partai berbasis agama.
Masyarakat umumnya menempatkan nilai keagamaan, bukan identitas partai sebagai
alat kekuasaan demokrasi kapitalistik. Apabila masyarakat melihat suatu partai
lobi sana lobi sini dalam penjajakan koalisi, ini artinya masyarakat berharap
bagaimana nilai keagamaan terimplementasi dengan baik dan efektif. Semoga
pemilihan presiden pasca-Pilpres 2014 ini partai berbasis agama tidak terjebak
pada praktik transaksional politik agar partai memiliki "nilai jual"
yang baik (efektif) di tengah-tengah dominasi masyarakat beragama ini.
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.