BBM Terbatas, Pertaminaku Malang - Mungkin bagi sebagian orang judul tulisan ini terkesan provokatif.
Namun, bagi masyarakat enonomi menengah ke bawah judul ini mewakili pikirannya.
Salah seorang warga di Yogyakarta, Selasa (26/08),
mengutarakan, Bahan Bakar Minyak (BBM) terbatas di SPBU karena Pertamina tidak
jelas. "Di daerah mulai langka, termasuk mulai langka di Yogya. Bos
Pertamina baru ngundurin diri," kata dia yang berprofesi sebagai pedagang
warkop.
Selain menyoroti perusahaan negara tersebut, dia juga
menyoroti kinerja pemerintah. Dia menyayangkan, di akhir jabatan Presiden SBY
malah terjadi krisis BBM di SPBU. "Ujian buat Jokowi ya di awal dia jadi
presiden," imbuh dia.
Boleh saja warga tidak menyukai Pertamina dan kinerja
pemerintah akibat kebijakan pembatasan BBM bersubsidi di SPBU sehingga terjadi antrean
ular di tiap-tiap SPBU. Untuk membeli maksimal Rp25.000 bensin, warga harus
mengantre selama 1,5 - 2 jam. Sebelumnya, pada saat situasi penjualan lancar,
warga hanya membutuhkan waktu 5-10 menit. Artinya, warga harus mengubah pola
waktu keseharian mereka.
Warga juga harus rela menyediakan waktu dua jam hanya untuk
mengantre. Tentu dalam perubahan pola waktu tersebut warga harus mengorbankan
waktu lainnya. Misal, waktu kumpul keluarga atau waktu istirahat. Tidak mungkin
waktu kerja mereka korbankan karena akan berdampak buruk terhadap produktivitas.
Perkirakan saja dalam sehari seseorang menghabiskan waktu lima jam bersama keluarga.
Artinya, akibat pembatasan BBM ia hanya menyisakan tiga jam untuk keluarga.
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang bersifat
kekeluargaan. Filosofi kekeluarga itu menandakan bahwa keluarga adalah kelompok
terbaik. Dengan demikian tentu warga enggan waktu bersama keluarga tersita.
Mengetahui situasi antrean panjang itu, beberapa pihak
terkait mencoba bersuara. Entah suara itu diaplikasi atau tidak, hanya pemerintah,
anggota dewan, dan pejabat lembaga Pertamina yang memiliki wewenang. Kepala
Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Andy Noorsomeng, seperti
diwartakan Kompas, Selasa (26/08), menyatakan,
strategi penyaluran BBM bersubsidi perlu diubah secara ideal, seperti mengubah
pengendalian secara per orang bukan pada outlet.
Merespon situasi ini, Presiden terpilih pada Pilpres 2014,
Joko Widodo, merencanakan strategi efektivitas anggaran. Anggaran yang semula
untuk subsidi akan dialihkan ke sektor lain. "Sudah berkali-kali saya
sampaikan, (disalurkan) kepada usaha-usaha produktif, kepada sektor produktif
yang berhubungan dengan masyarakat bawah," kata dia.
Boleh jadi kebijakan itu lebih baik. Tetapi, yang jelas
kebijakan itu akan berdampak pada ekonomi makro. Biaya distribusi kebutuhan
akan meningkat. Akibatnya, beban akan dilimpahkan pada harga komoditas.
Akhirnya, masyarakat jugalah yang menerima beratnya harga pembelian komoditas.
Seperti diketahui, beberapa waktu lalu pemerintah menetapkan pembatasan
(pemangkasan) kuota BBM bersubsidi karena beban anggaran untuk subsidi BBM
telah membengkak. Rata-rata tiap daerah dipangkas 5% dari sebelumnya. Kini
kuota BBM subsidi hanya 46 juta kiloliter. "Sekarang pokoknya dipatok.
Terserah caranya mau sabtu-minggu (puasa beli BBM subsidi), rabu wage, jumat
kliwon, pokoknya 46 juta kiloliter," kata Menkeu Chatib Basri pada Juni
lalu.
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.