ilustrasi penikmat Piala Dunia (foto: Street Art Utopia) |
Indonesia Penikmat Piala Dunia - Setiap perhelatan Piala Dunia masyarakat Indonesia menjadi salah satu negara yang paling antusias. Selain paling antusias, Indonesia juga tak pernah menjadi peserta perhelatan akbar sepak bola ini, kecuali di masa penjajahan Belanda. Pemerintah Indonesia belum melihat hal ini sebagai masalah. Padahal, dari sisi sosial, hal ini merugikan masyarakat Indonesia dan negara secara umum.
Antusiasme tersebut tak lain karena adanya rekayasa sosial. Rekayasa sosial sepak bola disambut positif oleh masyarakat dominan Indonesia. Spanduk-spanduk yang terpasang di ruang publik, iklan-iklan televisi bertema sepak bola, hingga komentar-komentar di linimasa media massa menjadi stimulan masyarakat. Dari apa yang tampak di ruang-ruang publik tersebut lantas memengaruhi kehidupan masyarakat (realitas). Stimulasi pikiran masyarakat dari berbagai dimensi tersebut menyebabkan masyarakat seakan-akan lupa realitasnya sendiri. Hiperrealitas memasuki ranah realitas berupa apresiasi sosial, dari linimasa dan program-program televisi terbawa ke ruang-ruang publik tradisional, seperti warung-warung kopi hingga sekolah.
Ada beragam apresiasi, di antaranya nobar (nonton bareng), pemakaian seragam (jersey) tim nasional yang didukung, opini publik di berbagai ruang, hingga apresiasi negatif seperti perjudian. Demi semangat dukungan, apresiasi bisa seolah-olah harus dilakukan. Tanpa apresiasi, Piala Dunia dianggap seumpama sayur tanpa garam.
Berbagai nilai pun terabaikan, selayaknya pernyataan "sepak bola adalah agama". Nilai moral terabaikan demi perjudian. Nilai tradisi negeri sendiri terabaikan demi melaksanakan nobar, yang jelas-jelas waktu antara negara penyelenggara dan waktu di Indonesia jauh berbeda.
Piala Dunia di Brasil tahun ini, misalnya, antara Indonesia dan Brasil memiliki retan waktu sekitar 10-11 jam. Perbedaan waktu tentu menyebabkan perbedaan jam-jam aktivitas pula. Indonesia memiliki jam aktivitas siang saat di Brasil sedang berada pada jam-jam istirahat. Begitu pula sebaliknya. Masyarakat Indonesia mencari nafkah saat masyarakat Brasil sedang beristirahat (malam). Bila dipaksakan, masyarakat kita mengikuti jam-jam aktivitas Brasil, dampaknya tentu akan buruk pula. Masyarakat Indonesia menjadi minim istirahat, atau tanpa istirahat sama sekali.
Banyak dimensi terganggu. Di antara instansi pemerintah dan swasta, lembaga pendidikan, hingga perputaran ekonomi. Tak sedikit pekerja negeri maupun swasta rela menghabiskan waktu malamnya demi menyaksikan dan mengekspresikan kecintaannya terhadap sepak bola. Pukul berapa pun tayangan sepak bola, mereka siap menyaksikan. Jam istirahat terganggu, sehingga jam reguler kerja tidak optimal. Hasil pekerjaan juga terganggu, tidak optimal.
Gangguan tersebut secara tidak langsung memberi dampak terhadap optimasi perekonomian Indonesia. Kinerja terganggu, sehingga laju ekonomi tidak stabil. Meski dugaan adanya gangguan ini tidak terekspose sama sekali -karena sifat budaya massa lebih menyenangi hal-hal ekspresionis.
Pemerintah harus berani mengambil langkah. Paling tidak, mulai memikirkan hal yang dianggap sepele ini menjadi suatu hal yang perlu dibicarakan. Penikmat Piala Dunia ini tidak jauh menguntungkan negara. Secara kompetitif, negara harus berani mengambil langkah menjadi tuan rumah atau masuk menjadi peserta perhelatan yang kerap memengaruhi bursa saham global itu. Jika tidak, pemerintah harus mengevaluasi tradisi penikmat Piala Dunia ini. Misal, dengan membuat kebijakan otoritatif demi membatasi dampak negatif perekonomian dan kebiasaan masyarakatnya.
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.