Felipe Scolari (foto: blogspot) |
Keadaan sering terlihat menyeramkan dan materialistik,
dan bertentang dengan hakekat manusia. ... Bagi manusia, hidup akan menjadi
semudah bernafas, dan semangatnya akan bebas untuk menciptakan dunianya
sendiri. (Tagore)
Pragmatisme - Pragmatisme dan hiburan adalah dua tatanan berpikir
yang berkembang di era kapitalisme saat ini. Seperti apa yang disampaikan
penyair India, di atas, Rabindranath Tagore, bahwa selalu ada sisi yang dapat
dipetik. Selalu ada faedah, berbuah. Tagore menyatakan ironisme gurita sains di
atas kendali kapitalisme, tetapi ia tidak menolak seluruhnya. Tagore selalu
mencari kesesuaian, antara sains dan hakekat manusia. Menjadikan sains dan
praktiknya tidak bertentangan dengan nilai kemanusian, hingga akhirnya Tagore
menerapkan paham itu di sebuah desa di India.
Nilai pragmatisme itu tumbuh pula
di ranah sepak bola. Publik sering menjustifikasi Mourinho adalah pelopor
pragmatisme sepak bola pada era 21. Mourinho selalu menampilkan permainan sepak
bola defensif demi hasil. Pragmatisme, dalam filsafat, bukan hanya soal hasil
dan kebermanfaatan, melainkan nilai kebenaran yang tidak berpijak pada satu
nilai. Tujuan yang demikian ialah pencarian nilai kebermanfaatan, seberapa
fungsionalnya. Maka tak jarang, hasil akhir jadi tolak ukur.
Dari 4 kontestan semifinal, Brasil
adalah tim yang tengah mengedepankan pragmatisme. Di tangan pelatih Felipe
Scolari, Brasil tidak lagi menerapkan "sepak bola samba". Perlahan,
sentuhan samba mulai terasa berkurang sejak Scolari menjadi juru taktik di
Piala Dunia 2002. Hasilnya, Scolari mampu membawa Cafu Cs memegang trofi juara
Piala Dunia yang diadakan di Jepang dan Korsel itu.
Pada Piala Dunia 2006, goyang samba
sama sekali hilang. Bahkan, pada 2010 di Afrika Selatan, Brasil tak cukup
ditakuti tim-tim besar, meski tak ditangani Scolari. Tak ada lagi goyang samba
di lapangan hijau. Tak ada lagi perpaduan hiburan dan hasil akhir yang memuakan
penonton. Kepuasan telah bergeser, hanya mengedepankan kepuasan publik sendiri,
dengan meraih kemenangan. "Di turnamen kali ini cara bermain mereka
(Brasil) mirip cara Eropa bila dibandingkan dengan gaya Amerika Latin,"
papar Dietmar Hamann, seperti dinukil dari situs FIFA.com, Selasa (08/07).
"Saya
tahu mereka ingin terus bermain bertahan. Tapi pada akhirnya kita akan melihat
Brasil menjadi juara dunia. Mereka melakukan segalanya demi negara," kata
pelatih Chelsea, Mourinho, kepada wartawan Yahoo.
Pelatih Kolombia, Jose Pekerman,
merasakan hal itu kala melawan Brasil. Pekerman menyatakan, Brasil kelihatan mengutamakan
gol cepat untuk menggoyahkan mental pemain Kolombia di lapangan. "Kami
tahu bahwa setelah kesulitan melawan Chile, Brasil banyak belajar. Mungkin
Brasil berusaha mencetak gol cepat untuk membuat permainan kami menjadi goyah
dan tidak stabil," kata Pekermen.
Bagi Brasil, goyang samba tidak
lagi menguntungkan. Goyang samba tidak menjamin adanya manfaat yang nyata,
kecuali sekadar menghibur penonton sejagad raya. Lantas, mungkinkah di tangan
Scolari akan menguatkan pragmatismenya kala melawan Jerman. Jika ya, Brasil akan
menjadi finalis di Piala Dunia 2014 ini, serta mengulang sejarah Piala Dunia
2002, mengalahkan Jerman.
Seperti kata Tagore, "Adalah
sebuah hukum kehidupan untuk menghancurkan yang telah mati." Goyang samba
telah mati. Jerman akan menghadapi pragmatisme timnas Brasil.
Jogja, 08 Juli 2014.
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.