Sejarah Haji, Dari Arab hingga Nusantara - Pelasanaan
ibadah Rukun Islam kelima ini dari masa ke masa memang dipandang harus
matang-matang. Bahkan seperti tertera di dalam surah Ali Imran ayat 97,
peribadahan haji diwajibkan bagi umat muslim
yang telah mencapai kesanggupan. Pelaksanaannya membutuhkan kemampuan (isthitha’ah). Tidak hanya kemampuan
secara materi, melainkan juga kemampuan nonmateri, di antaranya kesiapan
mental, kesiapan fisik, dan kesiapan kesadaran. Dengan kesungguhan itu, nilai
haji di tengah lingkup sosial dan pribadi akan menyelaras pula dengan kedekatan
Allah SWT.
Pelaksanaan haji
merupakan bagian dari peribadahan agama samawi (menganut nilai tauhid). Tiga
nabi pemelihara peribadahan ini ialah Nabi Adam, Nabi Ibrahim, dan Nabi
Muhammad. Tradisi ini juga diteruskan bangsa Arab Jahilliyah, dengan memelihara
tradisi dari Nabi Ibrahim sebelum akhirnya dilengkapi oleh Nabi Muhammad. Beberapa nabi lainnya, seperti Nuh, Hud,
Shaleh, dan Syu’aib dikabarkan juga pernah melaksanakan haji ke Baitullah
(halaman 22).
Nabi Adam
merupakan pendiri bangunan Kakbah. Pada Nabi Adam pula dimulainya tata cara
tawaf sebanyak tujuh putaran. Inti dari peribadahan Beliau ialah permohanan
ampun dosa dirinya dan dosa anak cucunya yang datang ke Baitullah. Namun,
secara keseluruhan, tata cara peribdahan yang dilakukan Nabi Adam masih
terbilang sederhana.
Selanjutnya,
setelah bangunan Kakbah tidak utuh, Nabi Ibrahim membangun tepat di bagian
reruntuhan Kakbah. Pada masa Nabi Ibrahim tradisi-tradisi peribadahan mulai
terbentuk. Di antaranya lari-lari kecil antara Shafa dan Marwah, penyempurnaan
tawaf, dan lempar jumrah.
Setelah
menyebarkan seruan pelaksanaan haji atas petunjuk Jibril, pengikutnya terus
menjaga peribadahan tersebut. Setelah
itu, setiap tahun Ibrahim memimpin pelaksanaan ibadah haji dan sepeninggalnya,
pelaksanaan ibadah haji dipimpin oleh Ismail) dan diikuti oleh masyarakat
Jurhum, penduduk Makah (halaman 29).
Sebelum masa
Rasulallah, tradisi itu diteruskan oleh bangsa Arab Jahilliyah. Bangsa Arab
Jahilliyah menjaga tata cara yang ditinggalkan Nabi Ibrahim. Meski begitu,
terdapat pergeseran tradisi di masa-masa peribadahan bangsa Arab Jahilliyah.
Pergeseran tersebut ialah penghitungan bulan Muharram.
Selanjutnya,
Nabi Muhammad meneruskan tradisi tersebut dengan penyempurnaan di beberapa tata
cara peribadahan. Berdasarkan Kitab
al-Hajj wa al-Umrah, Nabi Muhammad kali pertama menerima perintah kewajiban
pelaksanaan haji pada 628 Masehi (6 Hijriah). Perintah itu diturunkan melalui
surah Al-Baqarah ayat 196.
Nabi Muhammad melaksanakan haji berdasarkan manasik
(tata cara pelaksanaan ibadah haji) yang ditetapkan oleh Allah. Sebagian besar
tempat, waktu, dan kegiatan yang terdapat dalam manasik adalah sama dengan
manasik haji Nabi Ibrahim. Persamaan ini bukanlah suatu co-incident, melainkan
suatu yang dikehendaki oleh Allah dan sebagian realisasi doa Ibrahim setelah
selesai membangun Kakbah, di mana Muhammad dari suku Quraisy itu termasuk
keterunannya (halaman 34).
Jauh sebelum
kemerdekaan atau berdirinya Indonesia secara de facto, umat muslim di Nusantara telah melaksanakan haji ke
Baitullah, melakukan perjalanan ke Makah. Seperti kondisi perdagang antarbangsa
pramodern pada umumnya, kepergian umat muslim Nusantara ke Baitullah tidak
semata-mata karena pelaksanaan haji. Pada masa abad ke XVI telah ditemui bangsa
dari Nusantara melakukan kunjungan ke Hijaz, bertujuan melakukan pekerjaan
masing-masing. Mereka yang pergi bukan jamaah haji seutuhnya, malainkan para
pedagang, para utusan dari suatu kerajaan, hingga para penuntut ilmu yang
menghabiskan waktu lama di sekitar Makah dan Madinah.
Sebagian yang
diketahui melakukan kunjungan ke Hijaz tersebut ialah masyarakat Aceh. Hubungan
erat antara Aceh dan Turki Usmani pada 1516 menyebabkan sebagian utusan-utusan
Aceh berlayar ke Turki. Pada perlayaran itulah para utusan melakukan persinggah
ke Hijaz. Hubungan perdagangan yang
lancar antara Aceh dan Turki ditandai dengan adanya armada perdagangan di
Jeddah. Sebuah sumber Venesia melaporkan bahwa pada 1556 dan 1566 terdapat lima
buah kapal dari Aceh yang berlabuh di Jeddah (halaman 106). Namun, belum
dapat diketahui siapa haji pertama kali dari Nusantara pada masa itu.
Salah seorang
yang tercatat melakukan studi di Hijaz ialah Muhammad Yusuf pada tahun
1926-1699 masehi. Di sana, Syaikh Yusuf –begitu ia biasa disebut- mempelajari
ilmu-ilmu agama, seperti fiqh, tasawuf, dan bahasa Arab. Selain belajar di
luar, Syaikh kelahiran Makassar, Kerajaan Gowa, ini juga melakukan studi di
Aceh.
Selain Syaikh
Yusuf, Abdurrauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri as-Sinkili melakukan tujuan studi
ke Arab Saudi, 1615-1693 masehi.
Abdurauf Singkel, lelaki kelahiran Sinkel, ini mengawali studi agama
bersama orangtuanya sendiri. Selanjutnya ia melanjutkan studi di Aceh dan ke
Arab Saudi.
Pada
periode-periode selanjutnya, tepatnya saat Nusantara di bawah kekuasaan
Belanda, pemberangkatan ibadah haji dikendalikan oleh Belanda. Pengendalian
diawali dengan adanya sebuah perjanjian, antara kerajaan Mataram dengan VOC,
1646 masehi. Kuatnya penguasaan di sektor perlayaran, sebagai jalur
transportasi dari Nusantara ke Makah, oleh Belanda menjadi faktor eksternal
umat muslim pada masa itu. Transportasi haji pada masa ini ialah kapal niaga
dan kapal haji.
Pada masa permulaan haji, segala keperluan di Hijaz
diurus sendiri oleh jamaah haji. Sebelum konsulat Belanda didirikan di Jeddah,
jamaah haji langsung ditangani oleh Syaikhatau perwakilan lainnya di Kota
Pelabuhan tersebut (halaman 141).
Pada 1902
mengeluarkan semacam surat edaran politis, Staatsblad van Nederlandch-Indie,
nomor 318. Pasang surut keberangkatan haji di Nusantara semakin diperketat oleh
Belanda. Lembaga-lembaga terkait pelaksanaan haji di Nusantara tidak terlepas
dari pengawasan Belanda. Hal ini menjadi faktor bagi umat muslim di Nusantara
pada masa itu untuk melakukan haji.
Pada masa-masa
jelang kemerdekaan, 1920-an, muncul penilaian dari jamaah haji, bahwa
pelaksanaan haji di Nusantara tidak lebih baik dibandingkan pelaksanaan haji
dari daerah kekuasaan Inggris, seperti Malaysia dan Singapura. Daerah-daerah
yang dekat dari Singapura, seperti Riau, Jambi, Palembang, dan sekitarnya lebih
memlilih pemberangkatan menggunakan kapal Inggris. Sementara daerah lainnya
terpaksa menggunakan kapal Belanda, yang dipandang sangat tidak bagus.
Judul Buku: Historiografi
Haji Indonesia
Penulis: Dr M Shaleh Putuhena
Penerbit: LKiS
Cetakan: Januari 2007
Tebal: 436 halaman
ISBN: 979-25-5264-2
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.