Tentang Cinta - Kawan, apakah
kita bisa menyimpulkan tentang cinta untuk kemudian dijadikan pelajaran bagi
orang lain yang (akan) menjalani cinta? Itu sulit, kawan! Berbeda orang berbeda
pula cintanya. Berbeda tempat dan waktu berbeda pula kemasan cintanya. Pada
pokoknya, cinta itu urusan psikologis personal. Pengelaman seseorang sudah
barang tentu berbeda, yang kemudian pengalaman inilah yang membentuk bagaimana
ia memahami dan dipahami cinta.
Kawan, apakah
kita bisa memodifikasi tentang cinta agar kemudian menjadi kekuasaan? Itu
sulit, kawan! Cinta tidak serupa ideologi, yang bisa diwacanakan dan
dinarasikan untuk meraih kekuasaan. Cinta pula serupa sekumpulan teori
pengalaman demi penguasaan atau membelenggu tubuh siapa yang kita cintai.
Tentang cinta,
kita hanya bisa pahami ikhtisar dari pengalaman percintaan orang lain. Tapi itu
bukan untuk kita terapkan mentah-mentah selayaknya pembacaan buku-buku tips dan
trik yang sekarang berkembang di toko-toko buku. Ambillah ikhtisar kisah Layla
Majnun. Ambillah ikhtisar pengalaman perempuan lihai Cleopatra. Ambillah
ikhtisar cerita Shakespeare, Romeo dan Juliet. Ambillah ikhtisar pengalaman
cerita Siti Nurbaya. Mungkin orang terdekat kita, ambillah ikhtisar pengalaman
cinta orangtua.
Lalu bagaimana
pandangan tentang cinta dari tokoh-tokoh intelektual? Ada beragam. Ada yang
mengatakan bahwa cinta adalah memberi. Ada yang mengatakan bahwa cinta adalah
sama berdiri sama tegak sama berjalan. Ada yang mengatakan bahwa cinta itu
seperti kita merendahkan diri untuk mengangkat apa yang disebut cinta. Ada yang
mengatakan bahwa cinta adalah kesakitan, yang artinya dengan merasa kesakitan
maka di sanalah cinta itu muncul.
Toh ada saja perempuan
yang tidak suka dengan sikap laki-laki yang tampak lemah. Si perempuan pun tak
mungkin mencintainya. Toh ada saja perempuan yang tidak suka dengan sikap
laki-laki yang bersikap tidak tenang. Si perempuan pun tak mungkin mencintainya.
Toh ada saja laki-laki yang tidak suka dengan sikap perempuan yang gemar gosip.
Si laki-laki pun tak mungkin mencintainya. Toh ada saja laki-laki yang tidak
suka dengan perempuan perokok. Si laki-laki pun tak mungkin mencintainya.
Begitulah sebagainya, selalu ada cara seseorang memandang lawan jenis
kelaminnya.
Loh, apakah
cinta hanya untuk lawan jenis kelamin? Tidak. Cinta bisa kita wujudkan kepada
orang-orang terdekat, seperti keluarga, orangtua, bangsa, negara, agama, hingga
Tuhan. Hanya saja sikap cinta kepada keluarga tentu berbeda dengan sikap cinta
kepada bangsa. Hanya saja sikap cinta kepada orangtua berbeda dengan sikap
cinta kepada agama. Kita perlu memandang dan memahami bagaimana, apa dan siapa
yang kita cintai.
Lantas kenapa
tentang cinta seolah-olah hanya untuk lawan jenis kelamin? Benar, kawan! Cinta
kepada lawan jenis kelamin memang sangat terasa berbeda di diri kita. Cinta
kepada lawan jenis kelamin itu memabukkan. Cinta kepada lawan jenis kelamin itu
menggiurkan. Cinta kepada lawan jenis kelamin itu dinamis dan menggairahkan.
Dinamis berarti didasari gejelok hasrat diri yang menggebu-gebu. Menggiurkan,
berarti muncul kenyamanan diri. Munculnya di saat remaja, saat perubahan fase
remaja ke dewasa, atau saat di awal kedewasaan, suatu fase yang monumental hingga
akan terkenang. Apalagi cinta kepada lawan jenis itu sebagai titik awal menatap
masa depan yang lain. Dari kesendirian menjadi kebersamaan hidup.
Hasrat? Dekat
dengan libido? Berarti menyesatkan? Berarti agama melaknat dan perlu dijauhi?
Berarti cinta sama saja dengan nafsu? Tentu tidak sedemikian buruknya dan tidak
sedemikian dangkalnya pemahaman antara cinta, nafsu, dan agama. Benar memang
bahwa cinta muncul karena ada gelora hasrat, seperti apa yang disinggung
sebelumnya bahwa cinta merupakan urusan psikologi personal. Karena adanya
hasrat, tak jarang memang orang berlebihan mengekspresikan cintanya lewat
cara-cara intim atau ekspresi libidonial. Melakukan ekspresi libido (keintiman)
atau tidak, toh tetap dapat dikatakan cinta. Karena itu, agama membatasi,
secara moral, bahwa cinta sampai berlebih ke soal libido itu salah karena
memunculkan keburukan psikologis dan biologis. Toh di dalam agama (Islam) tidak
ada bunyi sepatah ayat atau hadis pun yang melarang cinta kepada lawan jenis
kelamin. Cinta itu layak dan manusia selama itu berada pada batas-batas moral
yang dianjurkan agama.
Bukannya agama,
seperti Islam, melarang perwadahan cinta? Bukannya pacaran sebagai wadah cinta
itu dilarang? Bukannya Islam itu sudah menganjurkan ta’aruf sebagai jalan menuju
perbuatan mencintai lawan jenis kelamin? Bukannya semua orang yang pacaran itu
melakukan perbuatan (ekspresi) libido? Ta’aruf dan pacaran pada hakikatnya sama
saja, yang membedakan adalah bahasa dan konstruksi sosial terhadap pemaknaan
konotatifnya. Tak ubahnya kata “Ummi” dan “Ibu”. Tak ubahnya kata “Khilafah”
dan “Kepemimpinan”. Selama pacaran itu dijalankan di atas batasan moral
keagamaan, pacaran itu tak jadi masalah. Toh pokok dari “pacaran” dan “ta’aruf”
adalah mengenali hal-hal yang perlu dikenali, memahami hal-hal yang perlu
dipahami di diri orang yang dicintai.
Tentang cinta,
yang jelas, bentuk cinta itu memberi secara ikhlas dan mampu memahami kejiwaan,
kawanku! Yang perlu digarisbawahi juga, semakin kau mencintai semakin kau harus
kuat melupakan orang yang kau cintai.
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.