Monolog Burung
Pak Lurah
“Inilah monoteater, yang disajikan di tengah-tengah
antara pileg dan pilpres. Monoteater ini bisa jadi sarana refleksi kita sebelum
memutuskan pencoblosan pilpres nanti.”
Monolog Burung Pak Lurah - Pernyataan suara
perempuan dari mikrofon itu menandakan permulaan sajian monolog (bagi mereka
pementasan ini disebut “monoteater”, yang berarti gabungan antara monolog dan
teater) berjudul Burung Pak Lurah.
Lampu-lampu di arena penonton dipadamkan, diganti dengan lampu-lampu sorot yang
mengarah ke panggung.
Di panggung tiga
sangkar burung tergantung di masing-masing sisi. Satu di sisi kanan panggung,
tengah panggung, dan kiri panggung. Sementara di lantai sisi kanan panggung
terdapat empat kursi dan satu papan persegi. Di sisi sebelahnya, kanan,
terdapat meja dan satu kursi di depan meja dan satu kursi di balik meja. Di
meja itulah sang aktor memulai aktingnya, selaku lurah.
Sang Lurah
berada pada masa transisi. Masa jabatannya akan habis. Ia memutuskan kembali
maju untuk pemilihan lurah periode berikutnya. Ia melakukan cara-cara yang
menurutnya bisa memuluskan rencana ia menjabat sebagai lurah pada periode
selanjutnya.
Sang Lurah pergi
ke dukun. Melakukan ritual-ritual mistis. Baginya, cara mistis tersebut
merupakan doa. “Saya ini tidak melakukan perbuatan kotor. Saya Cuma berdoa
seperti ini,” kata Sang Lurah sebelum bersemedi, sesuai perintah sang dukun
yang ia temui. Semedi dilakukan setelah Sang Dukun memberi ritual kepada Sang
Lurah, di mana Sang Lurah mendapati transfer energi dari sang dukun.
Sehari setelah Idul
Adha, pemilihan lurah dilangsungkan. Sebelumnya, di kala perayaan Idul Adha,
Sang Lurah memberikan cermah dan ungkapan-ungkapan syukur kepada masyarakat
yang memilihnya. Atas ritual dan berbagai interaksi Sang Lurah kepada
masyarakat, akhirnya ia terpilih kembali menjadi lurah.
Masalah muncul
ketika Sang Lurah mengunjungi kekasih gelapnya. Sejatinya, Sang Lurah telah
memiliki istri dan seorang anak. Namun, istri dan seorang anak tersebut
hanyalah “keterpaksaan sosial” belaka. Anak tersebut bukanlah anak kandungnya,
melainkan anak dari orang lain. Di balik istri dan anak itulah Sang Lurah
menyimpan kekasih gelap sejenis. Sang Lurah mencintai sesama jenis.
Kekasihnya, yang
tak lain adalah anak dari sang dukun yang memberi ritual mistis tadi, merasa
cemburu atas sikap Sang Lurah kepada bapak kekasihnya tersebut. Keduanya
berselisih pandangan. Masalah menjadi ruwet ketika Sang Lurah mendapati
istrinya berselingkuh dengan lelaki lain. “Kamu tidak tahu apa, saya ini maju
jadi lurah lagi untuk mengumpulkan biaya kita hidup di Belanda. Dengan begitu,
kita bisa hidup bersama di Belanda,” ujar Sang Lurah kepada kekasih gelapnya.
Sang Lurah
kepalang emosional. Sangkar-sangkar burung dihancurkannya. Kursi-kursi ia
campakkan. Terlebih kepada burung-burung yang ada di sangkar, Sang Lurah sangat
membenci burung yang selama ini ia pelihara dengan baik. “Kamu burung tidak
berguna. Kurang apa aku memelihara kamu, menjual telur-telurmu untuk kubelikan
makanan. Dasar asuh!” teriak Sang Lurah kepada burung di sangkar, dengan bahasa
Jawa.
*Monolog ini
dipentaskan di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosoemantri UGM, Kamis 8 Mei 2014.
Pukul 19.00 WIB.
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.