Antara Berdasi dan Adaptasi - Pernakah kau
memerhatikan seorang lelaki berdasi yang sedang berjalan sambil memegang buku
atau tas jinjing? Pernahkah kau memerhatikan seorang lelaki berdasi duduk di
sebuah kafe sambil memainkan telasen (telefon layar sentuh)? Jika tidak
melihat, paling tidak visual yang demikian sudah sering kita temui di
film-film.
Kesannya, mereka
tampak cerdas dan kaya. Mereka mahir memainkan peranan di tengah-tengah sosial
ekonomi-politik. Seakan-akan mereka bisa meraih kesuksesan materi karena mereka
pintar mencari celah untuk menambah nilai-nilai ekonomi mereka.
Pernahkah kita
memerhatikan mereka dengan detail. Berapa kopi yang mereka bayar ketika sekali
duduk di kafe yang semakin nginggris namanya semakin mahal harga secangkir
kopinya itu? Berapa harga jam tangan mereka yang mereknya berasal dari Prancis
dengan tanpa gerai-gerai bajakan di Indonesia itu? Berapa harga jas mereka?
Berapa harga celana dan kemeja mereka? Berapa harga kaos dalam mereka? Berapa
harga sepatu mereka? Semakin bermerek mereka akan tampak lebih “eksmud” atau
“elegan”. Berapa kali mereka menaiki taksi dalam seminggu? Berapa kali mereka
makan di resto-resto yang semakin nginggris semakin mahal harganya itu? Berapa
kali mereka perlu berwisata dalam sebulan?
Dulu saya begitu
keras kepalanya memahami pendapatan seseorang. Tanpa kompromi saya memandang
bahwa pendapatan seorang pekerja harus mengikuti UMR/UMK. Itu harga mati. Saya
memandang, itu harga yang tidak bisa ditawar dan sudah pas untuk kebutuhan
hidup. Sudah tidak bisa ditawar-tawar, bahwa itu adalah standar pendapatan.
Absolut.
Suatu kali saya
berbincang dengan seorang teman seprofesi. Dia sudah memiliki empat anak. Dia
bekerja di sebuah media massa cetak nasional, yang berkantor di Kebon Sirih.
Hanya seorang editor. Suatu kali kami berdiskusi di sebuah warung, diskusi
tentang pendapatan dan pengeluaran. Saya berargumentasi berdasarkan ketetapan
normatif, UKM/UMR. Dia menjawab argumentasi saya dengan bijak. “Kau tahu,
pendapatan dan pengeluaran itu soal adaptasi. Penghasilan 10 juta belum tentu
menjamin seseorang itu bisa kaya. Siapa sangka juga kalau ternyata orang-orang
berpenghasilan 3 juta bisa menabung?” kata dia dengan tegas.
Selepas diskusi
itu saya terus berpikir, benarnya UMK/UMR itu absolut dan sudah ketetap yang
harus diikuti? Akhirnya saya menyimpulkan, persoalan UMK/UMR adalah persoalan
ekonomi politik di tataran praktis. Persoal itu diteguhkan lewat ketetapan,
sifatnya hukum. Rasanya tidak bijak memang memandang pendapatan dan pengeluaran
berdasarkan standar hukum tersebut. Kebijaksaan sesungguhnya ada pada diri kita
sendiri. Memulainya dari bagaimana kita memandang diri kita sendiri. “Mampukah
saya beradaptasi dengan penghasilan sekian?” begitu saya bergumam.
Kalau saya
memaksakan hidup seperti seorang berdasi sudah barang tentu saku saya terus
digerogoti. Kalau Anda hidup berpenghasilan tidak melebihi dua kali lipat dari
standar UMK/UMR, sudah barang tentu Anda akan jatuh miskin.
Islam memang
tidak menyarankan kita untuk hidup miskin, tetapi Islam hanya tidak menyukai
orang yang berlebih-lebihan dalam harta.
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.