ilustrasi (foto: humas-virtual.blogspot.com) |
Memahami Independensi Media - Setelah membaca
persoalan media partisan di dalam opini “Nasib Media Partisan Setelah Pemilu”, Kompas, Rabu (23/04), oleh peneliti
media Ignatius Haryanto, saya sama sekali tidak mendapati pernyataan secara
teks tentang nasib media partisan. Saya kira tulisan tersebut menyuratkan
getirnya atau pahitnya derita media partisan, yang dipandang secara untung
rugi, setelah pemilu berlangsung.
Bukannya saya
tidak setuju dengan konsep independensi media. Namun, bagi peneliti perlu adanya
kehati-hatian dalam penawaran konsep independensi media. Tawaran konsep
independensi tersebut perlu dijelaskan secara detail dan hati-hati. Apakah
independen pandangan (ideologi), independen relasi, atau independen materil. Independen
secara etika (jurnalis) pun tidak cukup untuk menempatkan independensi media,
terkait daya tahan kehidupan suatu media maupun simpati publik terhadap media
tersebut. Menilik keseluruhan dari opini yang bernada sinis tersebut,
penulisnya hanya berpijak pada hal keindependenan ideologi (cara pandang
segolongan orang dalam meraih hasrat kekuasaan).
Beberapa
praktisi media belakangan ini bercerita kepada saya bahwa saat ini mustahil
menemukan media independen. Memang tidak pula dipungkiri, selalu ada pihak-pihak
yang berusaha menjaga independensi melalui cara menjaga jarak. Selalu ada sikap
politis, baik secara kelembagaan, kelompok, keredaksian, hingga personal atau
jurnalis di lapangan. Selalu ada keterkaitan relasi antara pemilik modal suatu
perusahaan media dengan politisi. Dua relasi ini sulit terpisahkan di zaman
gurita kapitalisme seperti sekarang, di mana politisi membutuhkan kapital
(modal) untuk kepentingan kampanye politik dan pemodal (pengusaha) membutuhkan
otoritas politisi dalam membawa kepentingan-kepentingan ekonomi sang politisi
di ranah pertarungan peraturan kenegaraan.
Contoh yang
sempat menghebohkan praktisi media, setahun-dua tahun ke belakang, ialah
pengakuan seorang Goenawan Muhammad (GM) dalam “kedekatannya” dengan Wakil
Presiden Boediono. Ini hanyalah contoh sikap politik dari dalam keredaksian
terhadap dukungan kepada salah seorang pejabat negara (politisi). Contoh
lainnya, tidak sedikit berseliweran isu seputar kedekatan lingkaran pemimpin
negara ini dengan media online mainstream.
Saya juga
berasumsi, berdasarkan cerita para praktisi media, bahwa praktisi media yang
bekerja di ruang redaksi memiliki sikap politik masing-masing selaku warga
negara yang memahami hak politiknya. Namun persoalannya adalah bagaimana mereka
menjaga netralitas antara pekerjaan dengan sikap politik tersebut. Sesuatu yang
cukup sulit dijaga, karena pada praktiknya selalu saja ada yang “terlewatkan”
dari berbagai sudut teknik produksi.
Persoalan modal
pun suatu persoalan independensi lainnya yang patut dikupas. Apakah sejauh ini
perusahaan-perusahaan media benar-benar berdiri dari gelontoran modal pengusaha
semata? Bukankah lingkaran relasi pengusaha seperti itu juga memiliki relasi
dengan para politisi. Sedikit banyaknya, karena relasi itu sifatnya privasi,
tentu publik tidak akan tahu batas kepentingan si pemodal. Bukan tidak mungkin
si pemodal membawa kepentingan politik dari rekannya yang berprofesi politik.
Etika kapital pun
tidak mengharamkan si pemodal menuangkan ide, gagasan, atau pandangan
politiknya. Hal inilah yang dimanfaatkan para pemodal yang sarat kepentingan
(bukan semata kepentingan ekonomi). Hubungan antara pemodal dan pekerja,
ordinat dan subordinat, terbatas oleh “yang kuasa” dan “yang dikuasai”. Hal ini
perlu kiranya menjadi renungan, bahwa perlu adanya batasan atau tata cara
permodalan tertulis di dalam konteks perusahaan media massa.
Dengan mengacu
pada cita-cita independensi, menghasilkan karya jurnalistik yang objektif dan
berimbang, kiranya perlu menempatkan para jurnalis pada bagian kelompok yang
netral dalam ranah hak politik bernegara. Mungkin ini pemikiran yang sulit
diterima para praktisi media, khususnya jurnalis.
Seiring menjaga
cita-cita tersebut, perlu juga perusahaan media di Indonesia dibuka
setransparan mungkin. Artinya, relasi-relasi pemilik perusahaan suatu media
perlu dipublikasikan. Relasi politik (secara kelembagaan), relasi ideologis,
dan relasi pemilik dengan politisi perlu dibukan selebar-lebarnya agar publik
tidak terkecoh. Dengan demikian, publik akan tahu mana media yang ingin
diperdalam secara ideologis maupun emosional. Publik akan memahami dengan
sendirinya media yang ia butuhkan ataupun meninggalkan media yang tidak ia
butuhkan.
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.