ARTIKEL PINTASAN

Thursday, September 25, 2014

Murid, Matematika, dan Kemampuan Murid


 
ilustrasi (gambar: blogspot)
Murid, Matematika, dan Kemampuan Murid - Maraknya wacana ilmu matematika belakangan ini, yang mucul akibat beda pandangan antara guru dan kakak dari murid guru tersebut, kerap kali membuat saya berpikir tentang siswa masa kini. Benarkah imajinasi murid-murid masa kini terkurung oleh media? Benarkah logika yang terbentuk di dalam diri murid-murid adalah logika instanisme? Mungkinkah murid-murid masa kini tidak lebih baik daripada murid-murid masa lalu? Mampukah murid-murid masa kini menyelesaikan soal-soal yang diberi oleh gurunya? Mampukah murid-murid masa kini berpikir kritis? Mampukah murid-murid masa kini membaca novel-novel serius?
Semua pertanyaan tersebut hanya kekhawatiran belaka. Tentu tidak semua murid demikian. Masih ada satu di antara seratus murid, atau malah satu di antara sepuluh murid, yang gemar membaca novel-novel serius, mampu berpikir kritis, mampu menjawab soal secara sungguh-sungguh dari gurunya. Tentu masih ada murid yang jauh lebih baik daripada murid-murid masa lalu, mampu tidak terjebak pada logika instanisme, maupun mampu keluar dari keterkurungan imajinasi media massa.
Buktinya, seorang murid yang saya ajar dalam kelas private telah membaca tetralogi buruh karangan Pramoedya Ananta Toer. Ia telah membaca novel karang Dan Brown. Ia juga mengaku gemar membaca novel-novel karya Dewi Lestari (Dee).
“Novel Ketika Cinta Bertasbih udah baca? Suka juga gak karya-karya Habiburahman?” suatu ketika saya bertanya kepada anak dosen UII (Yogyakarta) itu. Ia menjawab dengan gelengan kepala.
 Ia salah seorang siswa tingkat lanjutan pertama, kelas IX. Sejak bangku sekolah dasar ia memang gemar membaca buku. Meski telah membaca banyak novel yang demikian, ia mengaku sulit memahami pesan penulis dan memahami konteks sosial di dalam novel. “Di novel Pram aku gak ngerti. Bahasanya berat, tapi ya seneng bacanya,” ujar remaja bernama Muflik tersebut.
Dari pengalamannya membaca, ia paham bahwa dirinya lemah dalam hal memahami makna bahasa (kognisi). Ia menyatakan bahwa memahami makna bahasa membutuhkan pengalaman serta berpikir ekstra. “Nyamanan nyelesaiin soal-soal matematika,” kata dia.

Dari fakta itulah saya menyadari bahwa metode pembelajaran yang baik bagi murid adalah bagaiman menemukan potensi diri murid agar potensi tersebut dikembangkan lebih jauh. Dari wacana ilmu matematika yang belakangan marak itu pula saya paham bahwa penilaian atas jawaban soal-soal tidak mampu menempatkan potensi murid menjadi istimewa bagi murid tersebut.

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes