ARTIKEL PINTASAN

Monday, May 5, 2014

Batas




ilustrasi (foto: blogspot)
Batas - Belakangan ini semakin tinggi pendidikan seseorang tidak menjamin pemahaman tentang batas. Adapula pendidikan justru dijadikan sebagai legalitas untuk mempermainkan batasan. Artinya, semakin berpenidikan level tinggi ia semakin mudahnya mempermainkan batasan.
Kita bisa lihat bagaimana caleg-caleg gagal tidak mengetahui batas kegagalan mereka. Tidak sedikit caleg gagal bertindak “abnormal”, aneh, atau tabu. Tentu kebanyakan caleg yang lolos ke pemilihan legislatif kemarin ialah caleg berpendidikan, mengenyam pendidikan tingkat SMA – Doktor. Ada saja caleg gagal yang tidak mengetahui batasa seperti itu berlatar pendidikan sarjana.
Berbeda lagi soal pengurus lembaga pendidikan, sebuah lembaga (semestinya) dihuni orang-orang terdidik, justru melakukan tindakan asusila atau pelecehan terhadap anak-anak. Pelakunya, pengurus lembaga pendidikan, mengabaikan batas antara pengurus dan peserta didik.
Di tingkat internasional, polemik Israel dan Palestina adalah contoh kesekian dari banyaknya contoh persoalan perbatasan negara, selain Indonesia dengan Malaysia. Israel, negara yang dihuni oleh golongan Yahudi, justru bersikap agresif terhadap Palestina. Padahal, Yahudi dikenal sebagai bangsa yang mengutamakan akal, salah satu elemen penting di dalam pendidikan.
Lantas pertanyaan dasar muncul, apakah kesalahan pendidikan kita hingga buah pendidikan kita mengabaikan cara pikir memahami batas. Kita lupa batasan sebagai individu terhadap orang-orang di sekitar kita. Kita mengabaikan batasan relasi dan perempuan yang bukan siapa-siapa kita. Kita mengabaikan batasan bermasyarakat di tengah kehidupan bernegara. Politisi mengabaikan batasnya di tengah kehidupan bernegara. Pengusaha mengabaikan batas antara materi yang layaknya direnggut dan materi yang tak layak direnggut. Suatu negara mengabaikan batas negara. Anak lupa batas kepada orangtua. Dan sebagainya, dan sebagainya.
Batas adalah memahami apa, siapa, dan bagaimana. Seseorang memahami mana “yang layak” dan mana “yang tidak layak”. Batas tidak melulu jarak, lebih dari itu. Jarak hanyalah posisi memahami siapa keakuan. Dengan memahami “mana batas” dan mana “yang bukan batas” berarti kita memahami siapa aku, kita, mereka, dan alam semesta ini. Itu artinya, batas tida selalu bermakna jauh. Batas bisa pula berarti dekat, bahkan melekat.

Batas yang dekat, sangat dekat, itu seperti hubungan manusia dengan Tuhannya. Islam mengajarkan, kedekatan Allah dengan umatnya lebih dekat dari urat nadi umat manusia tersebut.

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes