ilustrasi (foto: blogspot) |
Batas - Belakangan ini
semakin tinggi pendidikan seseorang tidak menjamin pemahaman tentang batas.
Adapula pendidikan justru dijadikan sebagai legalitas untuk mempermainkan
batasan. Artinya, semakin berpenidikan level tinggi ia semakin mudahnya mempermainkan
batasan.
Kita bisa lihat
bagaimana caleg-caleg gagal tidak mengetahui batas kegagalan mereka. Tidak
sedikit caleg gagal bertindak “abnormal”, aneh, atau tabu. Tentu kebanyakan
caleg yang lolos ke pemilihan legislatif kemarin ialah caleg berpendidikan,
mengenyam pendidikan tingkat SMA – Doktor. Ada saja caleg gagal yang tidak
mengetahui batasa seperti itu berlatar pendidikan sarjana.
Berbeda lagi
soal pengurus lembaga pendidikan, sebuah lembaga (semestinya) dihuni
orang-orang terdidik, justru melakukan tindakan asusila atau pelecehan terhadap
anak-anak. Pelakunya, pengurus lembaga pendidikan, mengabaikan batas antara
pengurus dan peserta didik.
Di tingkat
internasional, polemik Israel dan Palestina adalah contoh kesekian dari
banyaknya contoh persoalan perbatasan negara, selain Indonesia dengan Malaysia.
Israel, negara yang dihuni oleh golongan Yahudi, justru bersikap agresif
terhadap Palestina. Padahal, Yahudi dikenal sebagai bangsa yang mengutamakan
akal, salah satu elemen penting di dalam pendidikan.
Lantas
pertanyaan dasar muncul, apakah kesalahan pendidikan kita hingga buah
pendidikan kita mengabaikan cara pikir memahami batas. Kita lupa batasan
sebagai individu terhadap orang-orang di sekitar kita. Kita mengabaikan batasan
relasi dan perempuan yang bukan siapa-siapa kita. Kita mengabaikan batasan
bermasyarakat di tengah kehidupan bernegara. Politisi mengabaikan batasnya di
tengah kehidupan bernegara. Pengusaha mengabaikan batas antara materi yang
layaknya direnggut dan materi yang tak layak direnggut. Suatu negara
mengabaikan batas negara. Anak lupa batas kepada orangtua. Dan sebagainya, dan
sebagainya.
Batas adalah
memahami apa, siapa, dan bagaimana. Seseorang memahami mana “yang layak” dan
mana “yang tidak layak”. Batas tidak melulu jarak, lebih dari itu. Jarak
hanyalah posisi memahami siapa keakuan. Dengan memahami “mana batas” dan mana
“yang bukan batas” berarti kita memahami siapa aku, kita, mereka, dan alam
semesta ini. Itu artinya, batas tida selalu bermakna jauh. Batas bisa pula
berarti dekat, bahkan melekat.
Batas yang
dekat, sangat dekat, itu seperti hubungan manusia dengan Tuhannya. Islam
mengajarkan, kedekatan Allah dengan umatnya lebih dekat dari urat nadi umat
manusia tersebut.
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.