Politik Uang (Foto: Pemiluindonesiaku.blogspot.com) |
Serangan Fajar Pileg 2014 - Sambil menyetir,
tulang (paman) saya memberitahu bahwa siang tadi ada seorang kenalan datang ke
rumah. “Ada orang nawarin uang tiga puluh ribu untuk nyoblos si anu, tapi KTP
kita ditahan. Dia kasih jatah dua, untuk nantulangmu juga, jadi enam puluh ribu
kan,” kata si tulang dengan nada khas Bataknya, Selasa (08/04), Siantar.
“Terus tulang
ambil kan?” aku bertanya memastikan.
“Gaklah. Masa
Cuma tiga puluh ribu KTP kita ditahan juga,” kata si tulang mengeluh.
Si tulang terus
bercerita bagaimana maraknya bagi-bagi uang sehari jelang pemilihan legislatif
(pileg). Dari yang terkecil sampai yang besar. “Di tempat tulang rata-rata
seratus ribu paling banyak dibagikan,” kata si tulang, yang mencoblos di daerah
Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun.
Sehari setelah
pencoblosan, saya berkunjung ke sanak saudara lainnya, di Pematang Asilum,
Bangun, Simalungun, Sumatera Utara. Tak jauh berbeda dengan cerita si tulang,
beberapa sanak saudara juga menuturkan bahwa bagi-bagi uang jelang pencoblosan
atau biasa disebut serangan fajar sangat masif. “Ada malah pengurusnya yang
ikut main, bagi-bagiin uang,” kata paman saya, Kamis (10/04).
“Di Siantar
ngeri juga. Dapat kabar katanya di sana rata-rata dapat 200 ribu per kepala.
Malah datangnya ke rumah-rumah. Kan ngeri,” kata si paman bercerita.
Begitulah
cuplikan serangan fajar pileg 2014 kemarin. Meski informasi serangan fajar
pileg 2014 seperti itu tidak saya alami langsung, ini mengindikasikan betapa
mengerikan pelaksanaan demokrasi di Indonesia dalam konteks politik modern saat
ini. Serangan fajar pileg 2014 ini atau bagi-bagi uang sogokan untuk mencoblos
seseorang calon di lembar pencoblosan menandakan demokrasi saat
ini telah dipasung oleh uang. Demokrasi tidak berdasarkan suara atau sikap
politik yang murni dari pikiran sendiri.
Berdasarkan
temuan Indonesia Corruption Watch (ICW), ada 313 kasus politik uang, dari
pantauan di 15 provinsi. Temuan terbesar terjadi di Banten, 36 kasus. Pihak ICW
menyatakan, suara rakyat bahkan dibeli seharga Rp5.000. Ada pula masyarakat
yang dijanjikan akan diberi Rp2 juta setelah pencloblosan.
Apakah ini tata
cara berdemokrasi, lebih tepatnya demokrasi liberal yang ditanamkan pemimpin
saat ini? Saya teringat pernyataan Ignas Kleiden, bahwa demokrasi memang bukan
sistem yang baik tetapi paling tidak terbaik dari sistem yang ada.
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.