Pondok Pesantren Kaliopak - Antarrumah
tangga ataupun antartetangga saling mengenal. Meski jarak memisahkan, antara
rumah satu satu dengan rumah yang lainnya, sekitar 100 meter, misalnya, mereka
saling mengenal. Bila berpapasan saling sapa. Bila salah seorang warga melewati
salah satu rumah tetangganya, maka ia memberi sapa dengan cara aba-aba yang
layak. Saat mereka naik motor, bunyi klakson menjadi penanda tersebut.
Di ujung deretan
rumah warga, sebuah bangunan kecil berdiri dekat sungai Kaliopak. Bangunan itu
diisi oleh para santri. Bangunannya terdiri atas satu gedung pemondokan, satu
ruang aula serbaguna, dan satu gedung terbuka untuk pementasan. Sebuah
pesantren berdiri sejak 2006 di sana, Pondok Pesantren Kaliopak.
Sebagian besar
para santri dikenal warga. Mereka saling sapa. Jika para santri melewati
warung, misalnya, maka klakson maupun salam sapa terucap.
Tidak semua
santri selalu berada di pondok itu. Sebagian besar para santri merupakan
mahasiswa. Ada yang kuliah di Universitas Gadjah Mada maupun di Universitas
Islam Negeri (UIN). Sebagian besar mereka merupakan mahasiswa UIN. Mereka yang
masih mahasiswa juga memiliki kos-kosan di dekat kampus.
Selain
mahasiswa, ada pula yang telah bekerja maupun tanpa pekerjaan. “Kalau ditanya
pekerjaan alumni para santri atau para santri itu sendiri, saya sulit menjawab.
Apa itu definisinya saya juga belum temukan,” kata pendiri Pondok Pesantren
Kaliopak, Jadul Maula, saat berbincang di beranda pemondokan, Senin (10/03)
malam.
Saat ada kegiatan
diskusi maupun kegiatan dadakan, Jadul Maula menjelaskan, para santri segera
berkumpul, dari tempat kosan mereka di wilayah perkotaan Yogyakarta ke Pondok
Pesantren Kaliopak. Dalam sepekan, diskusi diadakan 4 kali, dengan beragam tema
dan spesifikasi. Tiga di antaranya merupakan diskusi kajian-kajian ke-Islaman.
Sementara satu lagi merupakan salawatan. “Umumnya di sini mengkaji seni.
Penelahaan Islam dengan pendekatan seni. Salawat itu misalnya, adalah satu
jenis salawatan yang sudah lama ditinggalakan masyarakat Jawa di sini. Salawat
yang menggunakan bahasa Jawa kuno,” kata Jadul Maula.
Penelaahan fiqih
dan akidah di sini, Jadul Maula memeparkan, hanya sekadarnya. Sekadarnya itu
berarti tidak begitu mendalam. Alasannya, keduanya merupakan tindak lanjut dari
aktualisasi para santri, agar para santri mampu mengembangkan diri sendiri.
“Pembahasannya pun tidak merujuk pada satu mazhab,” ucap Jadul Maula.
Pengasuh Pondok
Pesantren Kaliopak ini menekankan, penemuan siapa diri manusia itu sesungguhnya
dan memahami Tuhannya merupakan cara yang perlu diutamakan kepada para santri.
Saat mengomentari bagaimana salah satu partai Islam berdakwah, misalnya, Jadul
Maula menyatakan bahwa dakwah yang benar di dalam agama adalah dakwah yang
mengarahkan umatnya kepada agama.
“Dakwah mereka
mengarahkan untuk ke partai. Tidak pernah ada ajaran Islam menyatakan dakwah
diarahkan ke partai. Hadist yang menyinggung politik ada. Itu tentang bagaimana
memilih pemimpin yang baik. Kalau partai tidak ada,” kata Jadul Maula menjelaskan.
Dengan tuturnya
yang bersahaja, kadang ucapannya tidak begitu jelas, dan pandangannya yang
merendah, Jadul Maula masih menyimpan asa Pondok Pesantren Kaliopak terus
berdiri sampai akhir hayatnya. Meski bangunannya tampak seperti tidak terurus
dan satu sisi mengalami roboh.
“Dalam sejarah
Islam nusantara dulu kan Sunan itu menyiarkan Islam dengan pendekatan seni.
Makanya di sini coba kembali menelaah itu. Kami juga belajar sambil berjalan,
bahasa Inggrisnya learning by doing. Kayak pementasan wayang, tiga malam
suntuk, yang kami adakan dua tahun sekali, mudah-mudah 2015 nanti bisa mentas
lebih dari tiga tempat,” kata pria beristri perempuan asal Cirebon ini.
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.