ilustrasi (foto: blogspot) |
Minggu pagi,
sekira pukul 07.00 WIB, tampak cerah. Tidak seperti hari-hari kemarin, hujan
kerap mengguyur kota Jakarta. Jalanan jadi macet, becek, dan kerumuman manusia
berlomba cepat bak kompetisi. Namun tidak Minggu pagi itu.
Perjalanan dari
kosan, Cempaka Putih, menuju lokasi liputan, Masjid Istiqlal, tidak ada
hambatan. Perjalan tidak memakan waktu lama, hanya sekira 20 menit.
Setibanya di
depan gerbang masuk masjid terbesar se-Asia Tenggara, tidak terlihat seorang
wartawan pun menanti liputan. Padahal, sebelumnya, berdasarkan informasi
melalui telepon seluler, wartawan diharapkan kumpul di gerbang masjid sebelah
gereja Katedral. Hanya polisi, bersiap siaga di tepi gerbang.
Guna menghindari
polisi, karena plat motor mati, depan masjid Katedral jadi sasaran parkir. Perlahan
bagai sisa hujan di genting mungkin perhatian pada jarak antara masjid dan
gereja. Dua bangunan yang saling berhadapan. Di trotoar gereja para penjaja
makanan saling bercengkrama satu sama lain. Para pengunjung gereja tampak
ramah. Namun, di seberang, di trotorar masjid, polisi berjaga-jaga.
Selang beberapa
menit para wartawan telah berkumpul di sisi masjid. Mereka duduk menanti
instruksi selanjutnya dari para pelobi, antara tim keamanan Amerika Serikat dan
Kedutaan AS di Indonesia (WNI).
Jelang
kedatangan tamu, John Kerry, para wartawan sibuk mengikuti instruksi pelobi. “Wartawan
yang ada di list saja yang boleh masuk. Kru TV juga cuma kameramen yang bisa
masuk. Selebihnya silakan tunggu di sini saja,” kata pelobi itu, yang setanah
air dengan para wartawan.
Hanya ada 13
wartawan yang boleh masuk meliput kunjungan Menlu AS John Kerry ke Masjid
Istiqlal. Wartawan lainnya, sekitar 6 orang, menunggu di luar masjid.
**
“Lu liputan apa
tadi di masjid Istiqlal?” kata Alfa, seorang aktivis, selepas bermain futsal di
salah satu lokasi futsal Kuningan, Minggu malam.
“Liputan Menlu
AS John Kerry. Tapi gak boleh masuk,” aku menjawab pertanyaan tersebut.
“Lu harusnya
bilang, ‘ini Negara siapa woi. Negara-negara kita, yang susah nyari merdeka
kita, kok masih aja dilarang-larang pejabat asing’. Harusnya dia yang kita
larang,” kata Alfa mengeluh, sembari tersenyum kecil.
“Susah, bro.
Sekuriti Amerika kayak gitu, ketat. Tegas. Gak ada kompromi, beda dengan
masyarakat timur yang cenderung kompromis,” kataku.
Dialog kecil ini
bakal mengusik arti kemerdekaan dan kebebasan bangsa Indonesia. Sejak lama
sebelum kemerdekaan secara defacto
disahkan pada 17 Agustus 1945, perjuangan rakyat di Nusantara kala itu hanya
satu, kebebasan dan kemerdekaan. Bebas dalam arti mandiri menentukan sikap dan
pilihan. Merdeka dalam arti kesejahteraan.
Para wartawan
itu telah mencerminkan alam pikiran sosial bangsa Indonesia tersubordinasi oleh
bangsa Amerika Serikat, meski memang mereka (rombongan John Kerry) tengah
menjalankan tugas keamanan.
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.