Menjadi PKB Menjadi Penerus Cita-cita Leluhur Bangsa - Pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada pertengahan tahun lalu, 2012, Joko Widodo (Jokowi) mampu meraih suara dominan dengan mengalahkan pesaingnya, petahana, Fauzi Bowo. Dari berbagai cara peraihan kemenangan kontestasi politik itu, Jokowi mengedepankan simbol kedaerah sekaligus simbol masyarakat ekonomi menengah-bawah. Jokowi menggunakan baju kotak-kotak sebagai simbol politis dalam kampanye kontestasi tersebut. Alam bawah sadar kultur masyarakat, baik secara sadar maupun tidak sadar, mengakui simbol itu. Simbol itu, motif kotak-kotak, sudah ada di Nusantara sejak sebelum kedatangan bangsa Belanda ke Nusantara. Ada di beberapa tempat, seperti etnis Jawa, etnis Sunda, etnis (nenek moyang) Batak. Berbagai etnis Nusantara kala itu mengartikan motif kotak-kotak sebagai lambang persatuan bangsanya.
Jauh sebelum
kemenangan kontestasi politik itu, sebuah peristiwa persatuan antaretnis dan
antargolongan menjadi asas berdirinya bangsa Indonesia. Ketika masih dijajah
oleh Belanda, tepatnya pada awal 1900-an, muncul gagasan politis dari kalangan
intelektual sebagai upaya independensi bangsa (kemerdekaan secara utuh). Secara
kelembagaan, muncullah ide bangsa mandiri dengan sebutan “Indonesia” yang
dipelopori oleh Perhimpunan Indonesia. Berdasar konsepsi itulah pertimbangan
kultural anggap perlu sebagai penyatuan antaretnis dan antarbangsa di
tengah-tengah banyaknya tahta kerajaan-kerajaan daerah yang telah dikuasai
bangsa Belanda.
Selanjutnya,
pada 28 Oktober 1928 para pemuda di tanah air mengadakan kongres. Tujuannya
merumuskan konsep persatuan antargolongan agar menjadi bangsa yang mandiri
tanpa keterjajahan dan ketergantungan bangsa Belanda. Kongres itu dihadiri oleh
Jong Batak, Jong Sumatramen Bond, Jong Ambon, dan Jong Java. Rumusan mereka
bergulir menjadi pengikraran Soempah Pemoeda. Setelah itulah muncul pembesaran
konsep tersebut, realisasi bangsa Indonesia menuju kemerdekaan. Kemudian
konsepsi itu diresmikan dan mulai diakui bangsa-bangsa luar (negeri) kala
Soekarno dan Hatta membaca Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Dua peristiwa
yang berbeda masa tersebut, sejarah dan kontestasi politik, menandai bahwa
negara Indonesia merupakan media antargolongan, antaretnis, dan antaragama.
Indonesia lahir dari fragmen-fragmen sosial hingga menjadi suatu bentuk
keorganisasian bangsa Indonesia. Secara otomatis pola kultural bangsa ini
merupakan suatu bentuk multikultural. Dimensi kultural beragam sesuai
keberadaan dan keaslian letak maupun sejarah etnis masing-masing.
Dalam
multikultural suatu bangsa terdapat pluralitas. Masyarakatnya terdiri dari
berbagai rupa, baik agama, lokalitas (bersifat batas-batas geografi), hingga
etnis. Masyarakat yang seperti itu dikenal sebagai masyarakat majemuk. Bahasa,
agama (kepercayaan), batas-batas geografi, hingga rupa kebudayaan menjadi
penanda dan perekat keutuhan multikultural. Lantas, kemunculan primodial
(kedaerahan) masing-masing ditengahi oleh suatu objek yang dapat mengakomodasi
tiap-tiap penada tadi. Masyarakat multikultural tidak lagi menggunakan bahasa
ibu (bahasa etnis), melainkan bahasa pemersatu. Masyarakat multikultural tidak
lagi mengedepankan satu agama, melainkan keberagaman agama. Masyarakat
multikultural tidak lagi mengakui batas wilayah sukunya, melainkan telah
menjadi satu kesatuan letak geografis.
Lantas di tengah
kehidupan multikulturalisme seperti itu muncul para pemikir multikulturalisme.
Mereka para pemikir bangsa yang memahami fakta sosial dan sejarah bangsa
Indonesia. Mereka menjaga keutuhan antargolongan dan antaretinis. Nama-nama
tokoh tersebut di antaranya Nur Cholis Majdid, Ulil Abshar Abdalla, Ahmad
Wahib, Amien Rais, Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Nama terakhir
tersebut merupakan tokoh penerus (bisa disebut penjaga) ke-Indonesiaan. Gus Dur
bukan pembawa ide dan gagasan baru bagi Indonesia. Tokoh yang dikenal dengan
sikapnya yang nyeleneh itu kerap menggunakan istilah yang mudah dipahami untuk
menyebut “multikultural”, yakni “kemajemukan”. Gus Dur yang juga ngeyel kala
berada di Kairo melihat spirit masyarakat Indonesia dengan cara pandang
pembaharuan pada masanya, lebih tepatnya setelah dirinya pulang ke Indonesia
dari Baghdad. Bukan hanya multikulturalisme sebagai wacana yang ia gagas,
melainkan juga relisasi atas keberadaan masyarakat yang majemuk, seperti
kebijakan yang dikenang hingga saat ini, yakni pengakuan etnis Tiong Hoa
melalui penetapan hari libur Imlek.
Bagi Gus Dur,
kemajemukan tidak hanya diakui, melainkan juga harus diberikan. Dengan
berparadigma humanisme, Gus Dur berpandangan bahwa umat manusia perlu diakui
keberadaanya, baik sebagai sosial-politik maupun sosial-religius. Agama, suku,
paham politik, dan jenis kelamin merupakan fakta sosial yang harus diakui dan
diberikan di dalam kemajemukan tersebut. Sederhananya, menurut pandangan Gus
Dur, manusia adalah mahluk yang berbeda-beeda, sehingga perbedaan (pluralitas)
itu perlu dijaga keutuhannya. Apalagi, hal itu sejalan dengan realitas
masyarakat di Indonesia.
Dapat dipahami
bahwa menjadi Gus Dur maka menjadi Indonesia. Menjadi Gus Dur berarti menjadi
pelopor cita-cita pendiri bangsa Indonesia. Meski gagasan sosial-religius yang
diusung sering mendapat pertentangan, kemajemukan bagi Gus Dur bukanlah
penolakan terhadap realitas masyarakat di Indonesia. Justru sebaliknya, gagasan
kemajemukan Gus Dur sesuai dengan keberadaan (real) masyarakat di Indonesia,
yang dapat ditelusuri dari sisi sejarah Indonesia, letak geografis Indonesia,
dan fakta sosial di Indonesia. Kemajemukan Gus Dur sejalan dengan cita-cita
pendirian bangsa Indonesia, hidup menjadi satu di tengah-tengah kemajemukan.
Gus Dur tidak
menolak keberadaan agama di luar agama yang diakuinya. Ketika menjabat sebagai
Presiden ke-4 RI, Gus Dur tidak sungka-sungkan memplukasi dirinya mendatangi
kelompok kristiani di gereja. Pada masa kepresidenan itu pula dirinya
menetapkan hari raya Imlek sebagai hari libur nasional, sebagai pemberian atas
kemajemukan. Gus Dur juga tidak membenci paham politik Marxisme-Lenisnisme,
dengan mengusung wacana pencabutan TAP MPRS XXV/1966.
Ide dan gagasan
Gus Dur tentu perlu diperluas ke dalam kehidupan masyarakat saat ini. Ide dan
gagasannya perlu disampaikan kepada generasi bangsa. Pembelajaran kemajemukan
Gus Dur adalah upaya pendalaman dan penerusan pemahaman tersebut.
Di tengah
kehidupan politik tentu perlu pula lembaga politik konsiten dan berkelanjutan
dalam upaya pembelajaran ide dan gagasan Gus Dur. Tanpa lembaga politik penerus
kemajemukan Gus Dur, tentu secara otomatis ide dan gagasan itu akan menjadi
“korban” politik. Pada akhirnya tafsir dan penyimpangan akan terjadi. Misalnya,
kemajemukan Gus Dur dapat ditafsirkan menjadi nilai-nilai negatif di tengah
potensi konflik antaretnis, antargolongan, maupun antaragama.
Upaya-upaya
tersebut dapat dilakukan melalui berbagai cara. Salah satunya ialah pengadaan
diskusi publik tentang kemajemukan bangsa Indonesia yang dicetuskan Gus Dur.
Upaya ini sering dilakukan oleh corong politik PKB (Partai Kebangsa Bangsa).
Seperti ungkapan, “Tiada yang lebih tahu tentang suatu rumah kecuali penghuni
rumah itu sendiri.” Begitulah PKB, lembaga politik yang didirikan oleh Gus Dur.
Tiada yang lebih memahami paham-paham Gus Dur kecuali “rumah” Gus Dur itu
sendiri.
Selain melalui bentuk pewacanaan publik, secara
kelembagaan PKB juga telah konsisten merealisasi kemajemukan bangsa. PKB
menjadi tonggak terdepan sebagai lembaga politik yang mengusung dan menjaga
kemajemukan bangsa melalui pengejewantahan ide dan gagasan Gus Dur. Apabila
dekat dengan PKB, maka dekat pula dengan ide dan gagasan Gus Dur tersebut.
Lantas, seperti apa yang telah disinggung di atas, menjadi Gus maka menjadi
Indonesia, demikian pula PKB. Bila dekat dengan PKB, maka dekat dengan
cita-cita leluhur bangsa, persatuan Indonesia.
(NB: Naskah Lomba Esai Harlah PKB 2013)
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.