ilustrasi (foto: blogspot) |
Selanjutnya muncullah media-media sosial lainnya, yang
mampu menjadi populer. Bahkan kepopuleran media-media sosial berikutnya
(pasca-Friendster) mampu melebihi kepopuleran Fiendster. Di antaranya, Xanga
(1999), Skype (2003), Linkedin (2003), MySpace (2003), Facebook (2004), Flickr
(2004), Twitter (2006), Google+ (2011).
Perusahaan penyedia layanan media sosial tersebut
menerapkan konsep one to many (satu untuk semua). Kebutuhan
komunikasi berkonsep one to
many itu dianggap sebagai
peluang bisnis yang menggiurkan, sesuai kebutuhan ragawi manusia yang
menginginkan informasi secara cepat serta menyebarkan informasi ke berbagai
penjuru.
Kelahiran brand-brand media sosial anyar selalu disambut
hangat oleh pecinta akun media sosial. Selain wadah komunikasi, ada sisi
eksistensi diri. Pun kebutuhan perihal menjalin pertemanan sebanyak-banyaknya. Sifatnya
secara massal sesuai konsep one
to many tersebut. Sekali
mencatat atau mempublish melalui media sosial, puluhan bahkan ribuan teman yang
ada di jejaring akun media sosial dapat melihat.
Etika dan Tekno
Interaksi antarindvidu bebas dilakukan di dalam media
sosial. Tidak ada batas-batas tertentu. Tidak ada pakem mutlak. Meski di dalam media sosial
terdapat ketentuan layanan, yang dicantumkan saat pengguna melakukan
pendaftaran akun, aturan tersebut terabaikan saat interaksi sehari-hari (saat
pengguna asyik menggunakannya). Buktinya, sampai saat ini masih banyak suatu
akun media sosial, seperti di Facebook, berinteraksi “semau gue”. Masih adanya
penyebaran foto-foto pornografi di media sosial tersebut. Sering pula ditemui link-link kebohongan publik. Sering pula ditemui
caci maki (kata-kata berkonotasi buruk hingga menjatuhkan reputasi atau aib
seseorang) terhadap individu maupun kelompok tertentu.
Di lain sisi, masih banyak pula kasus-kasus penipuan yang
dilakukan di media sosial. Pun kasus-kasus human
traffic, penjualan prostitusi, hingga pencurian manusia (perempuan).
Semuanya seakan tanpa batas.
Di salah satu microblogging, misalnya, masih banyak pula
akun-akun fiktif. Pertemanan dengan akun fiktif tersebut tentu akan membuat
terpedaya atas apa yang disampaikan melalui akun fiktif tersebut. Padahal,
keberadaan akun fiktif merupakan sebuah ketakutan si pembuat akun fiktif
(admin). Ketakutan itu tentunya menandakan bahwa pengelola (admin) tidak berani
mempertanggungjawabkan apa yang ia sampaikan.
Lantas, kebebasan itu memerlukan adanya batas. Sama halnya
seperti etika sosial, suatu batas etis yang dapat dituliskan maupun tidak
tertulis.
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.