ARTIKEL PINTASAN

Thursday, January 9, 2014

Media Sosial yang Mendukung Etika (Bag II)




ilustrasi (foto: blogspot)
Selanjutnya muncullah media-media sosial lainnya, yang mampu menjadi populer. Bahkan kepopuleran media-media sosial berikutnya (pasca-Friendster) mampu melebihi kepopuleran Fiendster. Di antaranya, Xanga (1999), Skype (2003), Linkedin (2003), MySpace (2003), Facebook (2004), Flickr (2004), Twitter (2006), Google+ (2011).
Perusahaan penyedia layanan media sosial tersebut menerapkan konsep one to many (satu untuk semua). Kebutuhan komunikasi berkonsep one to many itu dianggap sebagai peluang bisnis yang menggiurkan, sesuai kebutuhan ragawi manusia yang menginginkan informasi secara cepat serta menyebarkan informasi ke berbagai penjuru.
Kelahiran brand-brand media sosial anyar selalu disambut hangat oleh pecinta akun media sosial. Selain wadah komunikasi, ada sisi eksistensi diri. Pun kebutuhan perihal menjalin pertemanan sebanyak-banyaknya. Sifatnya secara massal sesuai konsep one to many tersebut. Sekali mencatat atau mempublish melalui media sosial, puluhan bahkan ribuan teman yang ada di jejaring akun media sosial dapat melihat.

Etika dan Tekno
Interaksi antarindvidu bebas dilakukan di dalam media sosial. Tidak ada batas-batas tertentu. Tidak ada pakem mutlak. Meski di dalam media sosial terdapat ketentuan layanan, yang dicantumkan saat pengguna melakukan pendaftaran akun, aturan tersebut terabaikan saat interaksi sehari-hari (saat pengguna asyik menggunakannya). Buktinya, sampai saat ini masih banyak suatu akun media sosial, seperti di Facebook, berinteraksi “semau gue”. Masih adanya penyebaran foto-foto pornografi di media sosial tersebut. Sering pula ditemui link-link kebohongan publik. Sering pula ditemui caci maki (kata-kata berkonotasi buruk hingga menjatuhkan reputasi atau aib seseorang) terhadap individu maupun kelompok tertentu.
Di lain sisi, masih banyak pula kasus-kasus penipuan yang dilakukan di media sosial. Pun kasus-kasus human traffic, penjualan prostitusi, hingga pencurian manusia (perempuan). Semuanya seakan tanpa batas.
Di salah satu microblogging, misalnya, masih banyak pula akun-akun fiktif. Pertemanan dengan akun fiktif tersebut tentu akan membuat terpedaya atas apa yang disampaikan melalui akun fiktif tersebut. Padahal, keberadaan akun fiktif merupakan sebuah ketakutan si pembuat akun fiktif (admin). Ketakutan itu tentunya menandakan bahwa pengelola (admin) tidak berani mempertanggungjawabkan apa yang ia sampaikan.

Lantas, kebebasan itu memerlukan adanya batas. Sama halnya seperti etika sosial, suatu batas etis yang dapat dituliskan maupun tidak tertulis.

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes