ARTIKEL PINTASAN

Saturday, January 4, 2014

Dari Sitok ke Ubun-ubun




ilustrasi (foto: blogspot)
Dari Sitok ke Ubun-ubun - Beberapa hari setelah kasus moralitas SS muncul ke publik, karena pengaduan korban ke kepolisian, teman saya, Reza A Ramadhan, pekerja media massa Tempo, bertanya, "Menurut lu gimana Sitok?" Saya hanya menjawab, "Hal biasa."
Biasa di sini berarti nafsu yang ditunjukkan Sitok itu adalah hal biasa. Sitok sebagai manusia, tentu dia punya nafsu. Sitok sebagai kelompok pemikir moralitas, tentu dia punya cara pikir kebebasan moral tersendiri dari pemahamannya itu.
Terkait manusia memiliki nafsu ini, saya teringat perkataan Schopenhauer, bahwa dunia ini merupakan kehendak dan ide. Saya coba telisik literatur soal pernyataan Schopenhauer tersebut. Defenisi "kehendak", menurut Schopenhauer, adalah suatu metafisika yang mampu menggerakkan segala dari apa yang kita anggap ada di dunia. Di dalam kehendak manusia itulah, bagi Schopenhauer, secara filosofis, terdapat hasrat.
Bila dilihat secara psikoanalitik, apa yang dilakukan Sitok adalah upaya merealisasikan libido, realisasi hasrat, atas kehendak tadi. Sitok punya libidinal, sama seperti manusia pada umumnya, yang didasari atas kehendak tadi. Ini tak ubahnya hasrat untuk makan dan sebagainya. Dalam konteks antarjender, hasrat yang muncul adalah hasrat pemuasan tubuh, yang disebut Freud sebagai libido.
Hasrat itu dibatasi oleh moralitas, dalam konteks kehidupan bermasyarakat. Saya tentu harus mengikuti tata nilai masyarakat apabila saya hendak mewujudkan hasrat makan udang lopster, misalnya. Bagaimana saya mendapatkan udang itu, bagaimana saya memasak udang itu, dan lain sebagainya. Hasrat makan udang itu tentunya tak ubahnya hasrat Sitok. Hanya saja, Sitok melupakan nilai-nilai sosial, di mana dia berpijak.
Sebagai pemikir, apalagi bergelut di ranah pemikiran moralitas, sosial maupun kesusastraan, tentu perilaku Sitok bertentangan, antara harapan masyarakat dengan kenyataan. Masyarakat punya cara pikir, bahwa seniman memiliki moralitas yang baik. Begitu masyarakat berharap. Apalagi dunia yang digeluti Sitok adalah dunia "humanisme", nilai-nilai kemanusiaan. Secara harfiah, humanis berati manusiawi, halus, dan berbudaya.
Di situlah letak pertentangan Sitok, yang tak bisa dianggap biasa di tengah hal yang saya anggap biasa tadi. Di tengah-tengah sebagai manusia berhasrat. Entah itu dia pura-pura tak ingin tahu nilai moral di tempat dia berada, entah itu dia mengedepankan ego, entah itu karena punya cara pikir yang kebablasan dalam urusan libidinal, sehingga korban harus melaporkan ke kepolisian atas apa yang dilakukan Sitok kepada korban. Mungkin juga, di kepala, Sitok mengutamakan ubun-ubunnya dibanding pikiran.
Tak lama dari pesan singkat Reza itu, wartawan Bisnis Indonesia, Miftahul Khoer, menulis berita tentang moralitas penyair, dari satu latar saja, latar kehidupan penyair di Bandung. Dosen sekaligus pengamat sosial postmo, Yasraf Amir Piliang, berpendapat, penyair telah memasuki masa dekadensi moral. "Saat ini apa yang bisa diharapkan dari pejabat publik, pemuka agama, bahkan penyair sekalipun?" begitu paparan Yasraf, di Bisnis Indonesia, awal Desember 2013.
Di situ juga tersiar pendapat alumni Sastra Indonesia Unpad (kini Fakultas Ilmu Budaya), Acep Iwan Saidi. "Menurut saya, persoalan kepenyairan adalah persoalan kemanusiaan secara umum," begitu pandangan dosen ITB ini.
Tulisan reportase itu juga mengulas ulang hal yang mirip-mirip yang diterima penyair perempuan Tece (Pradewi TC), atas perilaku penyair laki-laki. Kata perempuan yang saya kenal sebagai pembela kaum perempuan ini, sebagian besar sastrawan mengakui bahwa dalam dunia kepenyairan hal itu biasa terjadi.
Sebagai penutup, saya coba siarkan ulang tulisan Budi Darma, dalam Harmonium, dari judul "Moral dalam Sastra", tepatnya bagian yang saya kutip ini mengenai pemikir yang sadar apa itu humanitat (bhs Prancis). Dengan menyadari keterbatasan hidup, Victor Hugo juga mempunyai pendapat yang sama... Menyatakan bahwa manusia sudah menerima hukuman mati, tanpa mengetahui kapan hukuman mati ini akan dilaksanakan. Sebagai mahluk terkutuk dan dalam keadaan menunggu, manusia tidak mempunyai pilihan lain kecuali berbuat baik.

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes