ARTIKEL PINTASAN

Monday, October 7, 2013

Negara Bermental Konsumtif




ilustrasi (blogspot)
Pemerintah telah mengorbitkan peraturan kontroversi. PP Nomor 41 Tahun 2013 tentang Insentif Pajak Penjualan atas Barang Mewah bagi produksi mobil ramah lingkungan. Lantas, sejalan dengan PP tersebut, lahirlah apa yang disebut dengan istilah “mobil murah” di pasaran.
Mobil-mobil tersebut dinilai murah karena berada pada kisaran harga Rp100 jutaan ke bawah. Mobil itu berkemampuan khusus, dirancang Low Cost Green Car (LCGC). Mobil berjenis ramah lingkungan, sebab proses mesinnya dianggap mampu mengurangi konsumsi bahan bakar minyak dari proses mesin mobil pada umumnya.
Meski dikatakan murah dan bermodif ramah lingkungan, belum tentu mobil-mobil tersebut aman dari segi keselamatan pengguna. Keberadaannya pun dinilai tidak tepat sebab infrastruktur untuk mobilitas kendaraan belum memadai atau belum cukup untuk menampung. Kontroversi pun muncul di kalangan internal pemerintah, antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Satu hal yang perlu disadari bangsa ini atas perilaku penyebaran-masif komoditas seperti “mobil murah” itu adalah terbentuknya mental konsumtif, suatu dampak psikologi sosial. Pembelian terus-menerus dan didukung oleh instansi akan berpengaruh terhadap mental kolektif. Perilaku konsumsi dapat berlangsung begitu cepat, tetapi dampak mental tersebut terjadi begitu lama.
Sebelum distribusi “mobil murah”, gadget adalah komoditas yang “ramah” di Indonesia. Suatu survei pasar gadget Asia, Frost Sullivan, beberapa bulan yang lalu, menyatakan, satu orang Indonesia berganti gadget setiap tahun. Begitulah Indonesia menjadi “surga” bagi produsen gadget, hingga mengakibatkan pasar gadget Indonesia berada di peringkat unggulan se-Asia.
Bahkan, di luar komoditas elektronik, komoditas pangan dan energi pun belakangan ini telah “terbiasa” datang dari luar negeri. Di tengah gelimangan sumber daya alam, Indonesia justru mengonsumsi bahan bakar impor. Di tengah gelimangan tanah, Indonesia justru mengonsumsi pangan (beras) dari negara tengga (ASEAN).
Bila konsumsi telah didukung oleh pemerintah, maka dapat dikatakan bahwa negara tersebut merupakan negara konsumen. Baudrillard menyatakan, konsumsi kolektif tidak akan mengarahkan masyarakat pada hal-hal kemajuan objektif. Sebab masyarakat telah terkontrol oleh komoditas yang dikendalikan oleh produsen.

Bagi masyarakat konsumen, nilai komoditas bukan sekadar nilai. Nilai komoditas menjadi sarana komunikasi dan nilai pembentukan strata sosial. Nilai fungsional komoditas terabaikan. Secara berkelanjutan, masyarakat bersaing menunjukkan nilai ekonomi suatu komoditas. Masyarakat tidak berpikir pada tata kelola pemenuhan kebutuhan (diri dan keluarga) utama. Akibatnya, yang terjadi adalah mental konsumtif.
Mental konsumtif merupakan suatu mental yang tidak melebihi batas-batas (kemajuan) produsennya. Masyarakatnya pasif, tidak inovatif, dan tidak kreatif. Segala langkah bergantung pada langkah produsen.
Ibarat bisnis narkoba, mental konsumen semakin lama semakin rusak. Semakin ketergantungan terhadap narkoba, maka semakin buaslah mengonsumsi narkoba. Konsumen narkoba tidak pernah berpikir melampuai batas cara berpikir pengedar maupun produsen. Melalui pembandingan ketiga subjek (pengguna, pengedar, dan produsen), kebebasan hanya dimiliki oleh produsen. Sementara itu, dua subjek lainnya hanya menjadi subordinasi si produsen.
Sudah dapat dipastikan, apabila mental konsumtif ini terus berlanjut, bangsa Indonesia tidak pernah menjadi negara kaya. Seumpama konsumen narkoba, tidak pernah melebihi kekayaan produsen. Negara berpenduduk 260 juta jiwa yang menjadi surga para produsen ini membutuhkan langkah maju dan kesejahteraan, membutuhkan gagasan-gagasan produktif, bukan pembentukan mental konsumen.

*dimuat di Harian Pelita

Share this:

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.

 
Back To Top
Copyright © 2014 Fredy Wansyah. Designed by OddThemes