ilustrasi (blogspot) |
Mobil-mobil tersebut dinilai murah
karena berada pada kisaran harga Rp100 jutaan ke bawah. Mobil itu berkemampuan
khusus, dirancang Low Cost Green Car (LCGC). Mobil berjenis ramah lingkungan, sebab proses mesinnya dianggap mampu
mengurangi konsumsi bahan bakar minyak dari proses mesin mobil pada umumnya.
Meski dikatakan murah dan bermodif ramah
lingkungan, belum tentu mobil-mobil tersebut aman dari segi keselamatan
pengguna. Keberadaannya pun dinilai tidak tepat sebab infrastruktur untuk
mobilitas kendaraan belum memadai atau belum cukup untuk menampung. Kontroversi
pun muncul di kalangan internal pemerintah, antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah.
Satu hal yang perlu disadari bangsa ini
atas perilaku penyebaran-masif komoditas seperti “mobil murah” itu adalah
terbentuknya mental konsumtif, suatu dampak psikologi sosial. Pembelian
terus-menerus dan didukung oleh instansi akan berpengaruh terhadap mental
kolektif. Perilaku konsumsi dapat berlangsung begitu cepat, tetapi dampak
mental tersebut terjadi begitu lama.
Sebelum distribusi “mobil murah”, gadget
adalah komoditas yang “ramah” di Indonesia. Suatu survei pasar gadget Asia,
Frost Sullivan, beberapa bulan yang lalu, menyatakan, satu orang Indonesia
berganti gadget setiap tahun. Begitulah Indonesia menjadi “surga” bagi produsen
gadget, hingga mengakibatkan pasar gadget Indonesia berada di peringkat
unggulan se-Asia.
Bahkan, di luar komoditas elektronik,
komoditas pangan dan energi pun belakangan ini telah “terbiasa” datang dari
luar negeri. Di tengah gelimangan sumber daya alam, Indonesia justru
mengonsumsi bahan bakar impor. Di tengah gelimangan tanah, Indonesia justru
mengonsumsi pangan (beras) dari negara tengga (ASEAN).
Bila konsumsi telah didukung oleh
pemerintah, maka dapat dikatakan bahwa negara tersebut merupakan negara
konsumen. Baudrillard menyatakan, konsumsi kolektif tidak akan mengarahkan
masyarakat pada hal-hal kemajuan objektif. Sebab masyarakat telah terkontrol
oleh komoditas yang dikendalikan oleh produsen.
Bagi masyarakat konsumen, nilai
komoditas bukan sekadar nilai. Nilai komoditas menjadi sarana komunikasi dan nilai
pembentukan strata sosial. Nilai fungsional komoditas terabaikan. Secara
berkelanjutan, masyarakat bersaing menunjukkan nilai ekonomi suatu komoditas.
Masyarakat tidak berpikir pada tata kelola pemenuhan kebutuhan (diri dan
keluarga) utama. Akibatnya, yang terjadi adalah mental konsumtif.
Mental konsumtif merupakan suatu mental
yang tidak melebihi batas-batas (kemajuan) produsennya. Masyarakatnya pasif,
tidak inovatif, dan tidak kreatif. Segala langkah bergantung pada langkah
produsen.
Ibarat bisnis narkoba, mental konsumen semakin lama
semakin rusak. Semakin ketergantungan terhadap narkoba, maka semakin buaslah
mengonsumsi narkoba. Konsumen narkoba tidak pernah berpikir melampuai batas
cara berpikir pengedar maupun produsen. Melalui pembandingan ketiga subjek
(pengguna, pengedar, dan produsen), kebebasan hanya dimiliki oleh produsen.
Sementara itu, dua subjek lainnya hanya menjadi subordinasi si produsen.
Sudah dapat dipastikan, apabila mental konsumtif ini
terus berlanjut, bangsa Indonesia tidak pernah menjadi negara kaya. Seumpama
konsumen narkoba, tidak pernah melebihi kekayaan produsen. Negara berpenduduk
260 juta jiwa yang menjadi surga para produsen ini membutuhkan langkah maju dan
kesejahteraan, membutuhkan gagasan-gagasan produktif, bukan pembentukan mental
konsumen.
*dimuat di Harian Pelita
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar Anda di sini. Semoga komentar Anda menjadi awal silaturahmi, saling kritik dan saling berbagi.